Ketua MRP kesal Jokowi tak pernah singgahi Kantor MRP

Majelis Rakyat Papua
Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib. - Jubi/Yance Wenda

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib merasa kesal karena Presiden Joko Widodo sudah 13 mengunjungi Papua tanpa pernah menyinggahi Kantor Majelis Rakyat Papua. Hal itu membuat Jokowi tidak mengetahui apa aspirasi orang asli Papua, termasuk aspirasi orang asli Papua terkait revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Timotius Murib menyatakan Kantor MRP merupakan honai orang asli Papua, karena MRP merupakan lembaga representasi kultural yang resmi dibentuk negara. “Sudah 13 kali Jokowi kunjungi ke Papua, tapi tidak pernah injak di honai orang Papua di  MRP. Jokowi itu orang baik, seharusnya datang di honai ini, agar kami sampaikan aspirasi kami, tapi itu tidak terjadi,” kata Murib di Kota Jayapura, Kamis (28/10/2021).

Read More

Karena tidak pernah menyinggahi Kantor MRP, Jokowi dinilai tidak memahami aspirasi orang asli Papua, termasuk dalam perubahan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua). “Saya sebagai Ketua MRP sangat kesal. Coba Jokowi datang singgah di honai, kapan kami tunggu, agar kami bisa duduk bicara dan aspirasi ini bisa dibangun kembali, dari sabang sampai Matahari terbuat,” ujar Murib.

Baca juga: MRP dan DPR Papua berperan penting dalam perencanaan anggaran

Ia sendiri telah merasa tak berdaya, karena proses perubahan UU Otsus Papua mengabaikan ketentuan Pasal 77 UU Otsus Papua. Murib menegaskan aspirasi orang asli Papua telah diabaikan dalam proses perubahan UU Otsus Papua.

”Kebijakan yang diambil, semua itu kebijakan pusat, tidak ada campur tangan rakyat Papua sebagaimana yang seharusnya. Aspirasi rakyat Papua [dalam] membangun di Tanah Papua tidak jalan, menurut MRP karena semua itu kebijakan  dari pusat,” kata Murib.

Ia menilai hasil revisi UU Otsus Papua juga gagal menjawab problem benturan pengaturan antara UU Otsus Papua dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah). Padahal, benturan hukum kedua aturan itulah yang menjadi salah satu penyebab Otsus Papua tidak efektif.

“Jadi para Bupati itu mereka lebih cenderung menjalankan UU Pemerintahan Daerah ketimbang UU Otsus Papua. Itu persolan yang sangat serius, yang dimana seharusnya MRP serta pemerintah duduk bersama dan bicara evaluasi. Tetapi [hal itu] tidak terjadi,” ucapnya.

Baca juga: MRP minta 20 ribu lowongan kerja di smelter Freeport dikhususkan bagi orang Papua

Ketua Kelompok Kerja Agama MRP, Helena Hubi ia mengatakan keengganan Jokowi menyinggahi Kantor MRP itu seakan-akan menunjukkan negara ini tidak mengakui keberadaan MRP sebagai honai orang asli Papua. Keengganan Jokowi itu juga tercermin dalam cara berbagai aparatur pemerintah pusat berinteraksi dengan MRP.

“MRP itu ada, tapi kami sebagai lembaga seakan-akan tidak ada di mata pemerintah. Contoh, saat kami membuat Rapat Dengar Pendapat evaluasi Otsus Papua di Wamena, teman-teman [anggota MRP] disandera dan dipulangkan [kembali ke Jayapura]. Seakan kami MRP  bukan lembaga [yang dibentuk undang-undang,” kata Hubi.

Hubi merasa keberadaan MRP lebih seperti alat pelengkap dan formalitas keberadaan Otsus Papua.  “[Mungkin] di mata pemerintah pusat  MRP hanya lembaga pelengkap atau lembaga untuk mendiamkan kami orang asli Papua. Berbagai pernyataan dikeluarkan MRP, tapi tidak pernah kami berhasil [ditanggapi]. Tidak pernah kami diakui oleh Jakarta. Jadi kami sangat menyesal sekali, kenapa MRP ini ada,” ujar Hubi. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply