HUT ke 76 TNI AU, Lanud Sila Papare gelar donor darah massal.
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi-Dalam rangka HUT TNI AU yang ke 76, menggelar aksi donor darah massal. menargetkan 174 pedonor untuk mendapatkan 250 kantong darah. ” Kita belum tahu berapa banyak darah yang sudah terkumpulkan. Untuk PMI kabupaten saat ini masih terkendala persediaan darah A dan B,” kata Kepala unit donor darah (UDD) kabupaten. Jayapura, Yeri Mandang, Kamis (31/3/2022) Kata Yeri, permintaan di PMI kabupaten itu ada banyak. Sementara persediaan sangat kurang. Baca juga: Persediaan darah menipis, PMI Nabire butuh dukungan semua pihak “Paling itu ada 7-10 kantong darah perhari dan paling banyak permintaan itu darah O,” ucapnya. Paling langka di Kabupaten Jayapura adallah persediaan golongan darah A. Permintaan paling tinggi itu golongan darah A dan B. Namun itu pun sesuai permintaan dan juga tergantung pedonor., ” ujarnya Sampai saat ini ada masyakarat yang belum paham cara mendonorkan darah. “Kesadaran warga untuk melakukan donor darah masih kurang, biasanya dari instansi-instansi yang melakukan bakti sosial, kalau donor suka rela itu tertentu saja,” ujar Mandang. Mayor. Kes. Dr. Yudhitya, dr kesehatan Lanud Silas papare, Sampai dari kegiatan itu pihaknya mendapatkan 130 kantong darah. “Kita melibatkan banyak orang, ada Basarnas, TNI , Lantamal, dan juga bekerja sama dengan TNI AU. Dan kita juga bekerja sama dengan PMI kabupaten Jayapura. ,” ucap Yudhitya.(*) Editor: Syam Terrajana
MRP: Benahi dulu kabupaten, baru bicara pemekaran provinsi di Tanah Papua
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib menyatakan pemekaran Provinsi Papua maupun Provinsi Barat belum perlu dilakukan, karena hasil pemekaran kabupaten masih memerlukan banyak pembenahan. Murib menyatakan seharusnya pemerintah pusat membenahi kabupaten/kota di kedua provinsi, sebelum kemudian memekarkan kedua provinsi itu. Hal itu dinyatakan Timotius Murib pada Rabu (30/3/2022). Ia menilai rencana pemerintah pusat memekarkan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat tidak didasarkan kepada indikator yang jelas. “Pada prinsipnya [pembentukan] Daerah Otonom Baru atau DOB itu baik, Namun, untuk Papua, itu masih belum. Itu alasan MRP menolak pemekaran [dan pembentukan] DOB,” kata Murib. Baca juga: Ribuan Rakyat Lanny Jaya tolak Otsus dan rencana pemekaran Provinsi Pegunungan Tengah Murib menyatakan sudah ada banyak kabupaten di Papua yang dimekarkan untuk membentuk sejumlah kabupaten baru. Menurutnya, jumlah kabupaten di Papua sudah mencukupi, dan tidak perlu ditambah lagi. Ia menyatakan kabupaten yang telah ada seharusnya dibenahi dulu. “Pemekaran Provinsi Papua dan [pembentukan Provinsi] Papua Barat sudah cukup. Kabupaten dan kota yang telah ada [di kedua provinsi] perlu dibangun dengan baik, terutama [agar manfaat pembentukan kabupaten baru dirasakan] kalangan Orang Asli Paua,” kata Murib. Murib menyatakan pemekaran provinsi di Tanah Papua bisa dilakukan kapan saja, akan tetapi ia menilai saat ini bukanlah saat yang tepat untuk membentuk provinsi baru di Tanah Papua. “Pemekaran itu kapan pun bisa dilakukan, namun tidak untuk saat ini, sehingga MRP menolak DOB,” jelasnya. Baca juga: Petisi Rakyat Papua serukan aksi nasional tolak pemekaran Papua dan Otsus Murib juga mempertanyakan argumentasi yang menyatakan pemekaran wilayah akan mempercepat proses pembangunan di Papua. Ia justru menyoroti banyaknya kewenangan Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang tidak dapat dijalankan, karena dianggap bertentangan dengan berbagai aturan sektoral. Ia menegaskan benturan aturan yang menyebabkan Otsus Papua tidak dapat berjalan harus dibenahi dahulu sebelum pemerintah pusat memekarkan provinsi di Tanah Papua. “Provinsi Papua dan Papua Barat itu perlu dibenahi dulu, [terutama benturan kewenangan Otsus Papua dengan] aturan sektoral. Itu perlu dibahas pemrintah pusat dan daerah, [kedua pihak seharusnya] duduk bicara,” jelasnya. Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa Nusantara Papua dan Papua Barat, Unas G Tabuni mengatakan ada banyak pembenahan provinsi dan kabupaten/kota yang harus dilakukan sebelum pemerintah pusat membentuk provinsi baru di Tanah Papua. Baca juga: Bertemu MRP, BEM Uncen serahkan pernyataan sikap menolak pemekaran Papua “Bereskan dulu provinsi dan kabupaten yang ada sekarang. Masing-masing tetapkan Peraturan Daerah bahwa Bupati dan Wakil Bupati harus anak daerah sendiri, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus anak daerah sendiri, pegawai negeri sipil dan kepala dinas harus anak daerah sendiri. [Setelah pemekaran seharusnya] tidak boleh ada tambahan TNI/Polri di Tanah Papua,” jelasnya. Tabuni menyatakan dari sisi jumlah penduduk Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat tidak layak dimekarkan. “Jangan paksakan keadaaan [untuk] kepentingan diri sendiri. Penduduk Papua juga tidak memenuhi syarat untuk dimekarkan. Jangan jual nama rakyat Papua. Kami mengecam keras para elit politik yang kehilangan akal sehat dan paksakan pemekaran,” ujarnya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Suni Lake Garden dan BNI gelar donor darah massal
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Suni Lake Garden Hotel & Resort dan BNI bekerja sama menggelar donor darah massal di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Papua, Selasa (29/3/2022). Donor darah massal itu menambah cadangan darah Palang Merah Indonesia atau PMI Kabupaten Jayapura. “Kami lihat ada kebutuhan banyak darah yang belum terpenuhi, sehingga kami melakukan kegiatan sosial ini,” kata Marketing Communication Suni Garden Lake Hotel & Resort, Glory Norotumilena di Sentani, Selasa. Menurut Glory, donor darah massal itu tidak hanya melibatkan karyawan kedua perusahaan, namun juga pegawai sejumlah instansi lainnya. “Kami undang TNI dan juga instansi yang sudah pernah bekerja sama. Undangannya terbuka untuk umum, siapa saja boleh bergabung,” ujarnya. Baca juga: Stok darah PMI Kabupaten Jayapura cukup Kepala Unit Donor Darah Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Jayapura, Yeri Mandang menyatakan pihaknya berharap akan ada lebih banyak pihak yang menggelar donor darah massal. “Kami harapkan partisipasi dari berbagai dalam menunjang kami dalam ketersediaan stok darah, guna memenuhi permintaan rumah sakit, terutama yang ada di Kabupaten Jayapura,” kata Yeri, Selasa(29/3/2022). Ia berharap donor darah massal dapat diselenggarakan berbagai pihak secara berkala. Menurut Yeri, donor darah massal sangat membantu PMI Kabupaten Jayapura untuk memenuhi kebutuhan darah di Kabupaten Jayapura. “Kami berharap ada kerja sama seperti itu, agar ketersediaan darah tetap terpenuhi. Ini juga bagian dari edukasi agar masyarakat mau melakukan donor darah,” kata Yeri. Ia menyatakan PMI Kabupaten Jayapura selalu siap untuk diundang pihak lain yang ingin menyelenggarakan donor darah massa. “Untuk target, kami menyesuaikan, tergantung dari pendonor yang disediakan panitia,” katanya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Stok darah PMI Kabupaten Jayapura cukup
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Kepala Unit Donor Darah Palang Merah Indonesia Kabupaten Jayapura, Yeri Mandang mengatakan stok darah untuk kebutuhan donor di wilayahnya mencukupi. Ia menyatakan Palang Merah Indonesia atau PMI Kabupaten Jayapura telah membuka pelayanan 24 jam bagi masyarakat yang membutuhkan donor darah. “Untuk sementara cukup karena ketersediaan ada dari hasil kegiatan yang kami lakukan. Akan tetapi, kadang tidak ada [persediaan darah],” ujar Yeri di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Papua, Selasa (29/3/2022). Menurutnya, Markas PMI Kabupaten Jayapura selalu terbuka dan siap menerima pendonor darah. “Di markas [PMI] itu ada petugas yang jaga satu kali 24 jam. Ada yang mendonorkan darah secara sukarela [dan rutin]. Juga ada yang donor darah pengganti,” ucap Yeri. Baca juga: Cadangan darah PMI Papua Barat terbantu aksi sosial Kejati Yeri menyatakan jumlah pendonor darah di Unit Donor Darah PMI Kabupaten Jayapura tidak terlalu banyak. “Dalam satu hari itu ada yang [donor, namun kadang] juga tidak ada sama sekali. Jadi, kami banyak mendapat stok darah dari kegiatan [donor darah] yang kami lakukan,” ucapnya. PMI Kabupaten Jayapura juga melakukan kerja sama dengan berbagai pihak yang mau mengundang PMI menyelenggarakan kegiatan donor darah di luar Markas PMI. Menurutnya, persyaratan untuk mengundang PMI membuat kegiatan donor darah di luar markasnya tidak banyak. “Kalau ada pihak swasta atau pihak mana saja yang mau [menyelenggarakan kegiatan donor] darah, tinggal menyurati PMI saja. Nanti kami dari PMI akan menyesuaikan dengan waktu kami, karena ada banyak [pihak] menyurat,” jelasnya. Baca juga: Persediaan darah menipis, PMI Nabire butuh dukungan semua pihak Unit Donor Darah PMI Kabupaten Jayapura kadang juga menyelenggarakan kegiatan donor darah di luar Kabupaten Jayapura, ataupun di lokasi yang jauh dari Sentani. “Kita juga melakukan aksi donor sampai ke kabupaten lain seperti di Keerom. Kami juga menyelenggarakan kegiatan donor darah di Nimbokrang, Perusahaan Sinar Mas di Lere, dan di beberapa tempat lainnya,” ujarnya. Yeri berharap masyarakat memahami pentingnya donor darah dari berbagai informasi yang tersedia di media massa maupun brosur PMI. “Kami sosialisasi melalui radio, televisi, brosur, agar masyakarat itu tahu kalau donor darah itu penting,” ucapnya. Salah satu warga Kabupaten Jayapura yang mendonorkan darahnya, Anun menuturkan bahwa donor darah baik buat kesehatan.”Donor darah itu baik, cuma cara sosialisasi saja yang kurang. Kalau ada sosialisasi yang baik, stok darah tidak akan kekurangan. Masyarakat banyak yang belum tahu tujuan donor darah,” kata Anun. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Masa sidang pertama 2022 ditutup, anggota MRP akan kunjungi 5 wilayah adat di Papua
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Majelis Rakyat Papua atau MRP pada Selasa (29/3/2022) mengelar rapat pleno di Kota Jayapura, dalam rangka penutupan masa sidang pertama tahun 2022. Rapat pleno pada Selasa itu dipimpin Ketua MRP, Timotius Murib. Timotius Murib menyatakan setelah MRP menutup masa sidang pertama 2022, para anggota MRP akan menjalani masa reses dan mengunjungi lima wilayah adat di Papua. “Pimpinan dan anggota MRP akan melakukan perjalanan atau reses ke lima wilayah adat,” kata Murib, Selasa. Menurutnya, Kelompoik Kerja (Pokja) Adat, Pokja Perempuan, dan Pokja Agama MRP telah merumuskan program kerja masing-masing untuk tahun 2022. “Ketiga Pokja itu telah melaksanakan program kerja tahunan [mereka], ini kami pleno penutupan masa sidang pertama,” ucapnya. Baca juga: Bertemu MRP, BEM Uncen serahkan pernyataan sikap menolak pemekaran Papua Murib menjelaskan masa reses dan perjalanan para anggota MRP di lima wilayah adat itu dilakukan untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. “Nanti anggota MRP akan melihat dan mendengar langsung aspirasi dari masyakarat kami di lima wilayah adat. Pimpinan dan anggota akan melakukan perjalanan itu selama tujuh hari,” kata Murib. Ia menyebut ada sejumlah rekomendasi dari hasil evaluasi kinerja MRP pada triwulan pertama 2022. Salah satu rekomendasi itu adalah advokasi kewenangan Otonomi Khusus Papua pasca Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru) yang dinilai banyak mengurangi kewenangan khusus Pemerintah Provinsi Papua, Majelis Rakyat Papua, dan DPR Papua. “Rekomendasi triwulan pertama itu advokasi terhadap [perubahan pengaturan kewenangan khusus dalam] UU Otsus Papua Baru. Menurut MRP, [UU Otsus Papua Baru] berisiko merugikan hak Orang Asli Papua,” ujar Murib. MRP sendiri telah mengajukan permohonan uji materiil atas UU Otsus Papua Baru di Mahkamah Konstitusi, dan perkara itu tengah disidangkan. “Tanggal 28 Maret 2022, Hakim Konstitusi mendengar saksi ahli dari pemerintah dan DPR RI. Kemudian ada sidang ke tujuh, nanti pada 10 April 2022, di mana hakim juga akan mendengar saksi ahli dari pemerintah dan DPR RI,” kata Murib. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Polisi akan menindak pengendara yang ugal-ugalan
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Jayapura akan menertibkan para pengendara di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Papua. Polisi akan menindak setiap pengendara yang ugal-ugalan di jalan raya. Hal itu dinyatakan Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Jayapura, Iptu Baharudin Buton di Sentani, Senin (28/3/2022). Menurutnya, pengendara yang ugal-ugalan di jalan raya Sentani telah meresahkan masyarakat. “Kami sudah memberitahu ke anggota, untuk selalu menyosialisasikan kepada anak-anak di sekolah, juga kepada guru-guru di sekolah. [Kami] akan melakukan pendekatan kepada orang tua [untuk mengingatkan anak mereka tidak ugal-ugalan di jalan raya],” kata Baharudin. Baca juga: Awas, knalpot racing dan motor bodong di Sentani bakal dirazia Baharudin berharap para orangtua dapat mendidik anaknya agar memahami aturan berlalu lintas yang baik. “Pengawasan yang paling dekat itu adalah orangtua yang ada di rumah,” ujarnya. Ia menegaskan polisi akan memberi sanksi tegas kepada setiap pengendara yang ugal-ugalan di jalan raya. “Pertama kami akan melakukan teguran kepada mereka. Kami akan memanggil orangtuanya untuk melakukan pengawasan. Jika orang yang sama melakukan pelanggaran yang sama, akan ditilang,” kata Baharudin. Salah satu warga Sentani, Santy mengaku takut melihat aktivitas anak muda yang berkendara di jalan raya. “Anak muda sekarang seperti tidak terkontrol. Masih memakai seragam sekolah lalu angkat-angkat ban di jalan raya. Itu sangat membahayakan,” ujarnya. Ibu dua anak itu berharap para orangtua tidak melepaskan tanggung jawab mendidik anak yang berkendara di jalan raya. “Bukan melarang, itu hak mereka. Cuma, ketika balap [di jalan raya, lalu] terjadi kecelakaan, siapa yang nanti pusing dan rugi? Pasti orangtua kan. Sebelum terjadi, nasihati anak baik-baik. Saya sayang sekali melihat anak-anak itu berani lakukan itu di jalan raya,” ujarnya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Awas, knalpot racing dan motor bodong di Sentani bakal dirazia
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Jayapura akan melakukan razia untuk menertibkan para pengguna kendaraan berknalpot racing yang bising dan kendaraan bermotor yang tidak dilengkapi dokumen. Razia itu dilakukan untuk meningkatkan kenyamanan para pengguna jalan raya selama masa ibadah puasa Ramadhan. Hal itu dinyatakan Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Jayapura, Iptu Baharuddin Buton di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Senin (28/3/2022). “Kami akan menertibkan knalpot racing, kemudian kami akan melakukan sweeping,” kata Baharuddin. Selain menertibkan pengendara motor yang memakai knalpot racing, razia kendaraan bermotor itu dilakukan untuk memburu kendaraan yang tidak dilengkapi dokumen. “Sweeping tujuannya untuk menekan kasus pencurian kendaraan bermotor di Kabupaten Jayapura,” ujar Baharudin. Baca juga: 4 tahun berdiri, YNCI diharapkan jadi pelopor keselamatan berlalu lintas Ia menyatakan pihaknya akan bekerja sama dengan Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) Kepolisian Resor Jayapura untuk menekan kasus pencurian kendaraan bermotor. “Reskrim [bekerja dengan] cara hunting, kami bekerja dengan cara sweeping, mendeteksi nomor rangka dan mesin,” kata Baharudin. Warga Sentani, Panus Yikwa mendukung rencana polisi menertibkan pengendara motor yang memakai knalpot racing itu. Alasannya, suara knalpot racing memang bising dan mengganggu ketenangan warga. “Knalpot [racing] ribut kayak [mesin] chainsaw rusak. Coba keamanan [tertibkan] mereka boleh. Mereka ini mengganggu sekali, apalagi kalau sudah [berkendara] masuk kompleks, ribut sekali,” ujar Yikwa. Yikwa sendiri berharap penertiban lalu lintas di Sentani dilakukan secara berkala, bukan hanya dilakukan menjelang hari besar keagamaan. “ “Penertiban itu harus terus menerus. Di jalan besar, kalau sudah balap-balap, itu bisa mencelakakan orang lain juga,” ujarnya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Mahasiswa Papua di Gorontalo menolak rencana pemekaran Papua
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Papua Indonesia Papua yang tengah berkuliah di Provinsi Gorontalo menyatakan penolakan mereka atas rencana pemekaran Provinsi Papua. Mereka juga meminta pemerintah menghentikan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terus terjadi di Papua. Hal itu dinyatakan dalam unjuk rasa yang mereka lakukan di Gorontalo pada Rabu (23/3/2022) lalu. Mereka menolak rencana pembentukan Daerah Otonom Baru di Papua. “Terutama [pembentukan] Provinsi Papua Tengah yang notabene adalah produk Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang dipaksakan Jakarta,” kata Koordinator Lapangan aksi itu, Timiles Yoman dalam keterangan pers tertulisnya, Kamis (24/3/2022). Yoman menyatakan kebijakan pemekaran Provinsi Papua dan pembentukan provinsi baru di Tanah Papua dibuat pemerintah pusat untuk menjadi basis perluasan satuan teritorial aparat keamanan. “[Pemekaran] membuat pintu buat invasi militer, transmigrasi, investasi asing, dan perluasan budaya barat ke Papua,” kata Yoman. Baca juga: Bertemu MRP, BEM Uncen serahkan pernyataan sikap menolak pemekaran Papua “Ketika pemekaran akan ada Kodam, Kodim, batalion, Polda, dan perluasan basis militer lainnya. Militer adalah pelaku kekerasan terbesar di Papua.Kita bisa lihat sampai hari ini 67 ribu pengungsi tercipta di Nduga, Pegunungan Bintang, Puncak, Intan Jaya, dan Yahukimo di Papua, dan Maybrat di Papua Barat,” ujarnya. Ia menyatakan pemekaran Papua juga akan memperparah peredaran minuman beralkohol, prostitusi, perjudian. “Melihat kebijakan negara Indonesia, elit nasional dan lokal cenderung tanpa pertimbangan sudut pandang orang Papua tentang pemekaran Papua yang akan menjadi berbagai wilayah,” ucapnya. Yoman menyatakan kebijakan pemekaran itu berseberangan dengan pandangan masyarakat Papua. “Faktanya orang Papua melihat dari dua provinsi, Papua dan Papua barat. Pemerintah Indonesia sudah banyak menciptakan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua, sampai perdetik ini di beberapa kabupaten masih terjadi operasi militer besar-besaran. Hingga saat ini, belum ada penyelesaian secara baik,” ujarnya. Baca juga: Dewan Gereja Papua tolak rencana pemekaran provinsi di Tanah Papua Yoman menyatakan konflik bersenjata di Papua terus meluas dan membuat warga sipil mengungsi. “Banyak warga masyarakat dari Kabupaten Nduga, Puncak Intan Jaya, Maybrat, dan Yahukimo sedang mengungsi dari negerinya sendiri,” ujarnya. Dalam unjuk rasa itu, Yulimina Timipa membacakan 12 tuntutan mahasiswa Papua di Gorontalo, termasuk permintaan agar pemerintah mengakhiri konflik di Papua. Para pejabat pemerintah pusat juga diminta berhenti melakukan manuver politik untuk memekarkan Provinsi Papua. Para elit politik Papua juga diminta berhenti mememinta pemekaran Provinsi Papua. Selain menuntut prostitus ditutup, para mahasiswa itu juga menuntut pemerintah menarik pasukan organik dan non organik aparat keamanan. “Kami juga meminta elit politik di Papua mencabut surat terkait perizinan pertambangan Blok Wabu.” Baca juga: Mahasiswa Papua di Jember berdemonstrasi menolak pemekaran Papua Para mahasiswa juga meminta aparat keamanan berhenti merepresi demonstrasi menolak rencana pemekaran Provinsi Papua. Mereka mengecam penanganan demonstrasi menolak pemekaran di Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo, yang menimbulkan bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan dan menyebabkan dua demonstran meninggal dunia. Pemerintah Indonesia diminta segera memberi akses kepada Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa dan jurnalis asing untuk berkunjung ke Papua. Rektor Universitas Cenderawasih dan pimpinan perguruan tinggi lain di Papua iminta memberikan ruang demokrasi bagi mahasiswanya. Pemerintah Indonesia juga diminta menjalankan proses hukum terhadap para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Tanah Papua sejak 1961. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Pemalangan Jalan Sentani – Depapre tidak halangi anak bersekolah
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Jalan raya yang menghubungkan Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, dengan Pelabuhan Tol Laut Depapre di Kabupaten Jayapura telah diblokade warga dengan kayu palang sejak Rabu (23/3/2022). Pemalangan yang dilakukan untuk menuntut pemerintah memperbaiki jalan yang parah itu. Pemalangan itu dinyatakan tidak menghalangi akses anak pergi bersekolah. Hal itu dinyatakan Koordinator Sentani – Depapre 105A, Agustinus Nasa. “Untuk anak sekolah, nanti ada solusi bagi mereka. [Untuk] anak sekolah, mereka tetap jalan, karena mereka harus ikut ujian sekolah. Kami cuma menutup akses kendaraan yang lewat di jalan ini untuk stop dulu, sampai ada pemerintah yang turun,” jelas Agustinus. Jalan raya penghubung Sentani – Depapre itu berstatus jalan provinsi. Akan tetapi Pemerintah Provinsi Papua tak kunjung memperbaiki jalan yang telah rusak parah bertahun-tahun. Bahkan, peresmian Pelabuhan Tol Laut Depapre yang dibangun pemerintah pusat pun tak lantas membuat jalan itu diperbaiki. Baca juga: Pemerintah jangan saling lempar tanggung jawab perbaikan jalan Sentani – Depapre Warga telah berulang kali berunjuk rasa meminta Pemerintah Kabupaten Jayapura memperbaiki jalan itu. Akan tetapi, Pemerintah Kabupaten Jayapura menyatakan tidak berwenang memperbaiki jalan itu, karena jalan itu berstatus jalan provinsi. Pada Rabu, ribuan warga turun ke jalan dan menuntut pemerintah segera memperbaiki jalan tersebut. Mereka memasang kayu palang untuk memblokade arus lalu lintas di jalan itu, dan menyatakan kayu palang itu baru akan dibuka jika pemerintah memastikan kapan jalan itu diperbaiki. Baca juga: Jalan Sentani- Depapre belum dikerjakan, ribuan warga masyarakat Moi -Tanah Merah turun ke jalan Salah satu warga, Abigael mengatakan pemalangan itu tidak boleh menghambat anak pergi ke sekolah. “Ada sebagian anak-anak itu sekolah di kota [Sentani]. Jadi, jangan mereka terkena dampak dari pemalanggan itu,” ucapnya. Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan (STAKP) Burere Sentani, Erli Yoman menuturkan pemalangan jalan raya Sentani – Depapre itu membuat ia kesulitan pergi ke kampus. “Kemarin itu tidak ada yang ke kampus, soalnya mobil tidak ada, yang ada motor [saja], tapi tidak ada yang kasih tumpangan. Jadi dosen bilang nanti belajar melalui [aplikasi] Zoom saja,” ujarnya Yoman berharap pemalangan jalan itu tidak akan berlangsung lama. “Soalnya kami biasa pakai mobil, karena kami tidak ada motor. Mau Zoom kalau keuangan pas-pasan, [tidak cukup untuk] beli paket data internet,” kata Yoman.(*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Bertemu MRP, BEM Uncen serahkan pernyataan sikap menolak pemekaran Papua
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM Universitas Cenderawasih menemui pimpinan Majelis Rakyat Papua di Kota Jayapura, Kamis (24/3/2022). Dalam pertemuan itu, BEM Universitas Cenderawasih menyerahkan pernyataan sikap resmi mereka untuk menolak rencana pemekaran Provinsi Papua. Rombongan BEM Universitas Cenderawasih (Uncen) yang mendatangi Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) itu dipimpin Ketua BEM Uncen, Salmon Wantik. Mereka diterima oleh Ketua MRP, Timotius Murib. Wantik menyatakan rakyat Papua tidak pernah meminta pemekaran Provinsi Papua. Menurutnya, wacana pemekaran Provinsi Papua untuk membentuk sejumlah provinsi baru itu justru dipaksakan pemerintah pusat di Jakarta, dengan meminjam tangan elit politik Papua. Baca juga: Dewan Gereja Papua tolak rencana pemekaran provinsi di Tanah Papua “Para Bupati dan pejabat elit politik lain, stop minta pemekaran. Rakyat tidak pernah berikan mandat kepada mereka untuk meminta pemekaran Provinsi Papua. Kami mengutuk mereka yang jalan minta pemekaran itu [dengan] mengatasnamakan Orang Asli Papua yang telah mati dan atas nama Tanah Papua ini,” kata Wantik saat beraudiensi dengan MRP. Wantik menyatakan berbagai pemekaran wilayah yang pernah dilakukan di Tanah Papua tidak membawa kesejaheraan bagi Orang Asli Papua. Pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di Tanah Papua justru dinilai Wantik berdampak negatif bagi Orang Asli Papua. Hal itulah yang menyebabkan berbagai pihak bersuara untuk menolak rencana pemekaran Provinsi Papua. “Lapisan masyarakat Papua bersama mahasiswa masih konsisten melakukan kampanye menolak DOB. Karena pemekaran merupakan peluang bagi trasmigrasi, peluang bagi investasi asing. [Itu] realita objektif yang telah berlangsung lama, bahkan menjadi pengetahuan umum bagi rakyat Papua. Kebijakan Jakarta yang sedang mengupayakan pemekaran [bertemu] siasat elit Papua [yang] mencari kuasa. Pembahasan usulan DOB oleh DPR RI mengabaikan kritik publik [terhadap rencana pemekaran Papua,” kata Wantik. Baca juga: Mahasiswa Papua di Jember berdemonstrasi menolak pemekaran Papua Wantik menyatakan ada banyak data yang menunjukkan bahwa Orang Asli Papua telah menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri, antara lain karena pemekaran wilayah yang semakin mendorong migrasi orang dari luar Papua. Bahkan, Otonomi Khusus (Otsus) Papua gagal mencegah migrasi besar-besaran itu. “Banyak data yang mununjukkan bahwa Orang Asli Papua menjadi minoritas di atas tanah sendiri, sekalipun ada Otonomi Khusus Papua. Oleh karena itu, kami menilai Otonomi Khusus Papua telah gagal. Otonomi Khusus dan pemekaran adalah satu paket kebijakan politik pembangunan yang tidak pro rakyat Papua. Tanah dan hutan Papua diambil alih atas nama pembangunan, pertanian, hingga perkebunan kelapa sawit. Hasilnya memicu transmigrasi spontan tak terkendali di Tanah Pарua,” kata Wantik. Ia juga mengkritik pemekaran wilayah yang selalu diikuti dengan penambahan satuan teritorial TNI dan Polri di Tanah Papua. Pos TNI dan Polri terus bertambah banyak dan meluas, yang pada akhirnya justru memperluas wilayah konflik di Papua. “Apa untungnya pemekaran bagi orang Papua, jika pemekaran mengabaikan hak orang asli Papua? Maka dari itu, kami bersama rakyat Papua menolak segala paket [kebijakan pemekaran] yang ditawarkan,” kata Wantik. Baca juga: Dimakamkan di pinggir jalan, Yakob Meklok dan Esron Weipsa jadi simbol menolak pemekaran Papua Wantik menyerahkan pernyataan resmi BEM Uncen itu kepada Ketua MRP, Timotius Murib. Pernyataan itu juga memuat tuntutan BEM Uncen kepada pemerintah untuk menarik pasukan organik dan non organik dari sejumlah kabupaten yang dilanda konflik bersenjata, yaitu Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Puncak Jaya, Puncak, serta Kabupaten Maybrat di Provinsi Papua Barat. BEM Uncen juga menolak paket kebijakan Otsus Papua Jilid 2. BEM Uncen mendorong pemerintah pusat untuk melihat akar persoalan Papua dari perspektif Orang Asli Papua, dan bukan memaksakan cara pandang Jakarta untuk melihat akar masalah Papua. BEM Uncen menyatakan pemerintah harus berhenti mengeluarkan berbagai perizinan yang mengeksploitasi sumber daya alam di Papua, dan meminta pemerintah Indonesia memberi akses kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengunjungi Papua. Selain itu, BEM Uncen juga meminta Jakarta menggelar referendum sebagai solusi demokratis untuk menyelesaikan konflik Papua. Baca juga: KNPB bantah tuduhan polisi terkait demo tolak pemekaran Papua di Dekai Dalam audiensi bersama BEM Uncen itu, Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan pihaknya telah melakukan banyak hal untuk menyelamatkan tanah dan Orang Asli Papua. Akan tetapi, berbagai upaya MRP itu dihambat banyak pihak. “Kita mau lakukan Rapat Dengar Pendapat [Evaluasi Otsus Papua] dihadang, sampai ada anggota kami yang diborgol [polisi]. Ada pejabat yang tidak terima MRP melakukan Rapat Dengar Pendapat itu,” kata Murib. Murib menyatakan wacana pemekaran Provinsi Papua terus muncul karena ada kepentingan sejumlah Bupati yang telah dua kali menjabat dan tidak bisa mencalonkan diri lagi. “Soal pemekaran, itu kepentingan para elit Papua, para Bupati yang sudah berkahir masa jabatan mereka,” ucap Murib. Murib menyatakan MRP juga telah bersikap tegas atas langkah pemerintah pusat dan DPR RI yang secara sepihak membahas dan mengundangkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua Baru). Murib menyatakan banyak perubahan kewenangan dalam UU Otsus Papua Baru yang justru memperlemah upaya penyelamatan tanah dan orang Papua. “Masalah hari ini bukan saja soal Orang Asli Papua yang ditembak mati, tapi [juga] soal tanah. Banyak masalah tanah di Papua ini. Besok-besok, tidak lagi para ondoafi yang [mengatur masalah tanah], [yang] berkuasa nanti, semua negara yang atur,” ucap Murib.(*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Pemerintah jangan saling lempar tanggung jawab perbaikan jalan Sentani – Depapre
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Para warga yang ikut berdemonstrasi pada Rabu (23/3/2022) untuk menuntut perbaikan jalan raya penghubung Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura dan Pelabuhan Tol Laut Depapre meminta pemerintah di berbagai tingkatan jalan berhenti saling melempar tanggung jawab perbaikan jalan yang rusak parah itu. Para warga mengaku sangat dirugikan dengan kondisi jalan yang rusak parah. Salah satu warga asal Tanah Merah, Linda Demeto meminta para pemangku kepentingan pemerintah dalam urusan jalan raya berhenti saling melempar tanggung jawab soal perbaikan jalan raya Sentani – Depapre. Menurutnya, karena para pemangku kepentingan urusan jalan saling melempar tanggung jawab, jalan raya yang rusak parah itu tak kunjung diperbaiki. Jalan raya penghubung Sentani – Depapre itu berstatus jalan provinsi. Akan tetapi Pemerintah Provinsi Papua tak kunjung memperbaiki jalan yang telah rusak parah bertahun-tahun. Bahkan, peresmian Pelabuhan Tol Laut Depapre yang dibangun pemerintah pusat pun tak lantas membuat jalan itu diperbaiki. Baca juga: Sopir trayek Sentani – Depapre merugi karena jalan yang rusak parah Warga telah berulang kali berunjuk rasa meminta Pemerintah Kabupaten Jayapura memperbaiki jalan itu. Akan tetapi, Pemerintah Kabupaten Jayapura menyatakan tidak berwenang memperbaiki jalan itu, karena jalan itu berstatus jalan provinsi. Warga seperti Linda Demeto merasa pemerintah di berbagai tingkatan saling melempar tanggung jawab untuk memperbaiki jalan Sentani – Depapre. “Jalan ini sudah rusak bertahun-tahun, dari sejak saya masih kecil hingga saat ini. Pemerintah tolong jawab apa yang menjadi aspirasi kami,” ujarnya. Menurutnya, jalan yang rusak parah itu membuat para ibu yang akan berbelanja ke pasar atau bekerja terhambat. “Kami sangat mengeluh dengan kondisi jalan yang berlubang [di mana-mana]. Bahkan sampai pernah terjadi kecelakaan,” ujar Demeto pada Rabu. Baca juga: Jalan Sentani- Depapre belum dikerjakan, ribuan warga masyarakat Moi -Tanah Merah turun ke jalan Demeto waktu warga terbuang gara-gara jalan yang rusak membuat waktu tempuh pengguna jalan Sentani – Depapre sangat lama. “Dari Waibron mau ke kota saja harus keluar subuh, [karena perjalanan] memakan waktu 1 jam. Padahal kalau jalan itu bagus, [seharusnya] hanya memakan waktu 20 menit saja. Apalagi saudara-saudara kami yang di Tanah Merah,” katanya. Demeto berharap penderitaan orangtua beserta dirinya yang harus menggunakan jalan yang rusak parah dan berbahaya itu tidak berlanjut ke anak-cucunya. “Apa yang tong rasakan cukup sudah di kami saja. Jangan lagi di tong punya anak-anak dan cucu, kasihan,” ujar Demeto. Warga lainnya, Erika juga mengeluhkan kondisi jalan yang rusak parah itu. Erika menuturkan kondisi jalan Sentani – Depapre saat itu seperti kondisi jalan itu pada tahun 1970-an. “Jalan ini dari saya masih kecil sampai sekarang masi tetap sama, dari [saya] masih perawan sampai perawan hancur, [jalan] masi rusak,” guraunya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Sopir trayek Sentani – Depapre merugi karena jalan yang rusak parah
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Jalan raya yang menghubungkan Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, dan Pelabuhan Tol Laut Depapre di Kabupaten Jayapura, Papua telah berulang kali dikeluhkan warga. Kini, para sopir trayek Sentani – Depapre juga mengeluhkan kondisi jalan provinsi yang rusak parah itu. Mereka menyatakan merugi karena kondisi jalan yang rusak parah. Koordinator Sopir Trayek Sentani – Depapre 105A, Agustinus Nasa mengatakan jalan raya penghubung Sentani – Depapre telah rusak sejak lama, namun Pemerintah Provinsi Papua tak kunjung memperbaiki jalan itu. Menurutnya, ia dan para sopir trayek Sentani – Depapre lainnya tidak memiliki pilihan selain menggunakan jalan yang rusak parah itu. “Sudah tidak ada jalan lain. Jadi, kami terpaksa gunakan jalan itu pulang-balik, walau ada kendala yang kami rasakan,” kata Agustinus, Rabu (23/3/2022). Baca juga: Jalan Sentani- Depapre belum dikerjakan, ribuan warga masyarakat Moi -Tanah Merah turun ke jalan Agustinus menuturkan warga pengguna jalan itu telah berulang kali berunjuk rasa untuk menuntut jalan itu diperbaiki. Demikian pula para sopir angkutan barang dan angkutan umum yang menggunakan jalan itu. Karena jalan itu tak kunjung diperbaiki, warga dan para sopir kembali berunjuk rasa pada Rabu. “Hari ini, kami, masyakarat Tanah Merah dan Moy kompak turun jalan. Demonstrasi ini sudah berulang kali kami lakukan, ini yang ketiga kalinya [kami berdemonstrasi] di tempat yang sama. Kalau sampai belum ada keputusan, maka jalan [akan dibarikade dengan] dipalang [dan]. [Barikade itu] tidak bisa dibuka, kecuali jika pemerintah resmi menyampaikan jalan itu akan diperbaiki,” kata Agustinus. Ia menyatakan kondisi jalan yang rusak berat itu mempengaruhi pendapatan para sopir barang dan sopir angkutan umum trayek Sentani – Depapre. Jalan yang rusak berat membuat para sopir harus berkendara dengan pelan, sehingga mereka hanya bisa jalan dua rit (perjalanan bolak-balik) per hari. “Karena jalan rusak kami dalam satu hari hanya [bisa jalan] dua [rit]. Itupun kami paksakan. Bensin saja kami harus isi 10 liter, [namun] satu kali jalan kami hanya mendapat uang Rp 65 ribu. Lalu kami mau dapat penghasilan berapa? Seharusnya kami jalan empat sampai lima rit per hari,” kata Agustinus. Baca juga: MRP pertanyakan perbaikan jalan Sentani- Depapre Salah satu warga pengguna jalan Sentani – Depapre, Nelius Bano juga mengeluhkan kondisi jalan yang rusak parah yang tak kunjung diperbaiki Pemerintah Provinsi Papua itu. “Jalan itu ada di dalam kota, bukan jauh dari kota, tapi belum juga diperbaiki. Kenapa [badan jalan] yang [ada di] dalam kota harus diaspal berlapis-lapis padahal jalan masih bagus?” kata Nelius Bano membandingkan. Bano menyatakan jalan rusak parah itu sudah menyebabkan sejumlah kecelakaan yang membahayakan warga. Jalan yang rusak parah juga membuat waktu tempuh pengguna jalan menjadi lama. “Yang jadi korban itu tidak hanya karena kecelakaan, tapi korban waktu juga. Sudah begitu, kalau hujan becek. Kalau musim panas, berdebu. Lengkap sudah penderita yang kami rasakan,” ucapnya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Dewan Gereja Papua sesalkan diamnya pejabat daerah ketika masyakarat sipil ditembak
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Dewan Gereja Papua (DGP) meminta kepada Kapolda dan Pangdam untuk menghentikan segala tindakan represif kepada rakyat yang menyampaikan aspirasi di muka umum dalam bentuk apapun. Dewan Gereja prihatin dengan tindakan TNI-Polri yang menembak para pendemo yang menolak Otonomi Khusus dan pemekaran Provinsi baru, di Dekai, Yahukimo pada Selasa, 15 Maret 2022. Keprihatinan juga disampaikan karena pejabat daerah hanya diam saja, ketika masyarakat sipil ditembak. “Tindakan represif tersebut mengakibatkan dua orang mati tertembak, delapan orang mengalami luka tembak; tiga orang kritis, dan lima orang rawat jalan, dua orang ditahan di Polres Yahukimo,” kata Presiden GIDI, Pdt. Dorman Wandikbo, ketika menjawab pertanyaan wartawan Jubi, pada Selasa (22/3/2022). Ruang demokrasi ditutup rapat sehingga rakyat yang menjadi korban. “Kami dewan gereja juga bertanya, rakyat menolak pemekaran wilayah itu bukan baru kali ini dan pada tahun 2013 gubernur Papua, MRP, DPR Papua, gereja dan masyakarat sudah tolak,” jelas Dorman. Dewan gereja juga menyesalkan pejabat daerah baik Bupati dan DPR yang tidak melihat situasi di daerahnya masing-masing. “Kami dewan gereja sangat menyesal pemimpin daerah yang Orang Papua, tapi tidak melihat hal ini dengan baik. Ketika masyarakat menyampaikan aspirasi, bupati-bupati harus temani dan didiskusikan, ini bukan masalah Yahukimo. Ini masalah Papua,” jelasnya Menurut Dorman, orang atau daerah yang mengerti akan menyampaikan aspirasi dengan damai dan aman. “Bagi yang lain yang sudah mengerti tentang situasi Papua, jalan damai dengan baik, lalu hanya terjadi kekacauan di suatu Kabupaten ini sangat keliru sekali,” tutur Wandikbo. Sementara itu presiden Baptis West Papua Pdt. DR Socratez Sofyan Yoman juga mengatakan, pemekaran itu ada syaratnya, lalu kenapa harus dipaksakan. “Jumlah penduduk harus jelas, jumlahnya sedikit kok pemekaran harus ada, harus ada kriteria-kriteria pemerintah yang jelas , baik SDM, SDA, dan wilayah,” ucap Socratez. Sejak Papua masuk ke pangkuan NKRI, semua diatur oleh militer. “Penguasa sipil diatur oleh militer mereka harus begini dan begitu, mereka juga takut sebagai manusia (*) Editor: Syam Terrajana
Dewan Gereja Papua akan terus bersuara bagi umat tertindas, tanpa syarat
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Dewan Gereja Papua, akan terus bersuara bagi umat yang tertindas, bagi umat yang lemah dan bersuara, meski akhirnya ditembak mati. “Gereja tidak punya tentara dan badan eksekutif dan legislatif, ini murni suara gereja,” jelas Pdt. Dr. Benny Giay, mewakli Dewan Gereja Papua. Pernyataannya itu terkait peristiwa bentrok antara demonstran tolak pemekaran Papua dan aparat keamanan di Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo, pada Selasa (15/3/2022) lalu, yang mengakibatkan dua demonstran tewas diterjang peluru aparat. Kata Giay, dalam kesatuan negara republik Indonesia ini ada lima sila yang mengatur. Dia mempertanyakan apakah kelima sila itu sudah dijalankan dengan baik di Papua. “Kita berharap kepada pihak-pihak terkait, jika sila pertama sudah dibuang atau di hapus tidak apa, mari kita pakai Alkitab dan adat istiadat orang Papua, jadikan itu pijakan untuk bicara,” ujar Giay. “Gereja ada itu untuk memberikan penguatan, membuka hati nurani, tapi kalau hati nurani tidak ada, itu berarti pemimpin berbuat otoriter, sudah tidak ada lagi sila pertama dan kedua, ini tanda-tanda negara mengalami kehancuran,” Sementara itu Presiden Baptis West Papua, Pdt DR Socratez Sofyan Yoman mengatakan, pihaknya akan terus menyuarakan persoalan kemanusiaan di Papua, terus menerus dan tidak pakai syarat. “Wujud di dalam gereja ini harus disampaikan, baik kesamaan derajat, dan demi kedamaian sesama dan martabat manusia. Kami akan selalu bersama umat Tuhan,” ucapnya. “Dalam moncong senjata pun kami akan bicara. Karena gereja adalah benteng pertahanan terakhir, semua benteng telah runtuh, Gereja melindungi semua orang tanpa terkecuali , tanpa batas suku, ras dan agama, karena kasih Kristus ada di situ,” Yoman.(*) Editor: Syam Terrajana
Dewan Gereja Papua apresiasi langkah Dewan HAM PBB surati Indonesia
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Dewan Gereja Papua mengapresiasi langkah Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Dewan HAM PBB yang mengirimkan surat permintaan klarifikasi kepada pemerintah Indonesia terkait situasi HAM di Papua. Dewan Gereja Papua meminta pemerintah Indonesia berhenti menyangkal terjadinya berbagai pelanggaran HAM di Tanah Papua. Hal itu dinyatakan Dewan Gereja Papua dalam keterangan pers di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Papua, Senin (21/3/2022). “Kami mengapresiasi surat permintaan klarifikasi kepada pemerintah Indonesia yang disampaikan oleh para Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia dalam Bidang Penghilangan Paksa, Penyiksaan, dan Pengungsian. Demikian juga surat pernyataan terbuka Dewan HAM PBB pada Februari 2022 sehubungan dengan penyiksaan kepada tujuh orang anak di Kabupaten Puncak,” kata Presiden Gereja Baptis Papua, Pdt Socratez Sofyan Yoman saat membacakan pernyataan resmi Dewan Gereja Papua. Yoman menyatakan Dewan Gereja Papua berharap Dewan HAM PBB menindaklanjuti upaya klarifikasi itu dengan berkunjung ke Tanah Papua. “Kami mendesak Dewan HAM PBB untuk berkunjung ke Tanah Papua, supaya melakukan investigasi secara langsung dan menyeluruh atas situasi Hak Asasi Manusia di Tanah Papua,” kata Yoman. Baca juga: Dewan Gereja Papua tolak rencana pemekaran provinsi di Tanah Papua Dewan Gereja Papua menyatakan mengutuk sikap pemerintah Indonesia yang terus menyangkal adanya berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua. Dewan Gereja Papua menyatakan sangkalan Indonesia itu tidak memperbaiki situasi HAM Papua, dan kasus kekerasan baru justru terus bermunculan. “Selama 59 tahun, kami menyampaikan kekecewaan, kesedihan, kemarahan kami atas sikap pemerintah Indonesia yang tidak jujur dan objektif dalam menjawab pertanyaan dari para Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia, tentang situasi Hak Asasi Manusia di Tanah Papua. Kami mengutuk sikap pemerintah Indonesia melalui Kementrian Luar Negeri yang terus-menerus menyangkal fakta adanya pembunuhan kilat, penyiksaan, pengungsian dan penghilangan yang dilakukan TNI/Polri terhadap umat Tuhan di Tanah Papua,” kata Yoman. Dewan Gereja Papua menyampaikan keprihatinan yang mendalam dan turut berduka cita kepada keluarga tujuh orang anak yang menjadi korban penyiksaan di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, pada 22 Februari 2022, terlebih salah satu anak itu, Makilon Tabuni meninggal dunia. Dewan Gereja Papua juga menyampaikan rasa duka citanya untuk keluarga dua demonstran yang meninggal dunia dalam demonstrasi tolak pemekaran Provinsi Papua di Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo pada 15 Maret 2022 lalu, yaitu Yakob Meklok dan Esron Weipsa. Baca juga: Dewan Gereja Papua: Tarik pasukan dan pulangkan pengungsi dulu, baru dialog Rasa duka cita yang sama disampaikan Dewan Gereja Papua kepada keluarga dan kerabat delapan pekerja PT Palapa Timur Telematika yang tewas ditembak kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, pada 2 Maret 2022. “Kami juga menyampaikan turut berduka cita yang mendalam kepada keluarga delapan korban,” kata Yoman. Menurut Yoman, Dewan Gereja Papua melihat adanya berbagai upaya Negara untuk menyelesaikan konflik di Papua, termasuk dengan mendorong pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dewan Gereja Papua juga terus mengikuti upaya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM RI mengajukan beras kasus Paniai Berdarah 2019 ke Kejaksaan RI, maupun gagasan dialog Papua yang disampaikan Komnas HAM. Meskipun begitu, Dewan Gereja Papua juga mengkritisi gagasan dialog yang dilontarkan Komnas HAM RI itu. Dewan Gereja Papua menilai proses menuju dialog itu harus diawali dengan penarikan tambahan pasukan TNI/Polri di Papua, serta pemulangan puluhan ribu warga sipil yang mengungsi karena konflik bersenjata di Papua. Baca juga: MRP mengapresiasi laporan ahli HAM PBB, sebut fakta tak bisa disembunyikan lagi “Kami menilai [dialog] harus diawali dengan langkan penarikan militer dari Tanah Papua, termasuk menghentikan penambahan pasukan. Untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Tanah Papua, kami tetap konsisten mendesak dilakukannya dialog antara pemerintah Indonesia dengan United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP. [Itu] seperti yang telah di lakukan pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka dalam penyelesaian konflik Aceh,” kata Yoman. Dewan Gereja Papua menyampaikan terima kasih mereka kepada berbagai pihak yang terus menyuarakan situasi HAM dan konflik di Tanah Papua. Dewan Gereja Papua meyakini persoalan Papua hanya bisa diselesaikan dengan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang peduli atas nasib Orang Asli Papua. “Kami menyampaikan terima kasih kepada semua umat dan pemimpin Gereja, politisi, tokoh adat, akademisi, media massa di Indonesia, Melanesia, Asia, Pasifik, Australia, Aotearoa-Selandia Baru, Uni Afrika, Karibia, Uni Eropa, Amerika Serikat yang telah menjadi Simon dari Kirene, berjalan bersama kami memikul salib Bangsa Papua. Salib yang kami pikul masih berbeban berat.Jalan yang kami lalui masih tertatih-tatih, penuh duri di tubuh kami. Karena itu kami tetap membutuhkan solidaritas dan dukungan seluas-luasnya,” kata Yoman. Baca juga: PBB serukan buka akses kemanusiaan mendesak ke Tanah Papua Dalam forum yang sama, Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt Dorman Wandikbo mempertanyakan peranan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM RI untuk memperbaiki situasi HAM di Papua. Wandikbo juga mempertanyakan Komnas HAM RI yang tiba-tiba melontarkan wacana dialog untuk menyelesaikan masalah Papua. Wandikbo menyatakan Komnas HAM RI seharusnya juga bersuara menyikapi rencana pemerintah memekarkan provinsi di Tanah Papua, dan berbagai rencana TNI/Polri untuk menambah satuan teritorial di Tanah Papua. “Komnas HAM punya kewenangan untuk menolak pemekaran. Komnas HAM juga punya kewenangan untuk menarik operasi militer, dan menarik pasukan non organik. Hal itu yang Komnas HAM [harus] lakukan,” ujarnya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Dewan Gereja Papua tolak rencana pemekaran provinsi di Tanah Papua
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Dewan Gereja Papua menolak rencana pemekaran provinsi di Tanah Papua. Pembentukan provinsi baru di Tanah Papua dinilai Dewan Gereja Papua akan mempermudah eksploitasi sumber daya alam Papua dan semakin memarjinalkan Orang Asli Papua. Hal itu dinyatakan Dewan Gereja Papua dalam keterangan pers di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Papua, Senin (21/3/2022). “Kami terus memprihatinkan tren meningkatnya jumlah migrasi orang Indonesia masuk ke Tanah Papua. Dalam kurun waktu 59 tahun Indonesia menduduki tanah dan manusia di Tanah Papua, dari waktu ke waktu orang Papua terus semakin tersisih dan termajinalkan di atas tanah mereka sendiri,” kata Presiden Gereja Baptis Papua, Pdt Socratez Sofyan Yoman saat membacakan pernyataan resmi Dewan Gereja Papua. Yoman menyatakan jumlah Orang Asli Papua di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat saat ini mencapai 2,3 juta jiwa. Padahal, Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah penduduk Provinsi Papua hasil Sensus Penduduk 2020 mencapai 4,3 juta jiwa, sementara jumlah penduduk Provinsi Papua Barat hasil Sensus Penduduk 2020 mencapai 1,134 juta jiwa. Baca juga: Dewan Gereja Papua: Tarik pasukan dan pulangkan pengungsi dulu, baru dialog Yoman menyatakan pertambahan penduduk di Papua sangat tinggi, karena tingginya migrasi penduduk Indonesia ke Tanah Papua. Ia menyatakan pada tahun 1971 jumlah penduduk Indonesia di Tanah Papua 36.000 jiwa, dan jumlah Orang Asli Papua 887.000 jiwa. Hasil Sensus Penduduk 2000—yang dilakukan sebelum ada Otonomi Khusus Papua dan pemekaran provinsi serta kabupaten/kota di Tanah Papua—menunjukkan jumlah penduduk di Tanah Papua mencapai 1,66 juta jiwa. Data hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan jumlah penduduk Provinsi Papua telah berlipat menjadi 2,83 juta jiwa, sementara jumlah penduduk Provinsi Papua Barat mencapai 760,42 ribu jiwa. “Pemekaran kabupaten/kota maupun provinsi di Tanah Papua telah menjadi senjata ampuh pemerintah dalam melakukan politik penguasaan dan pendudukan di Tanah Papua. Akibat pembangunan dan pemekaran selama 59 tahun, aspek ekonomi dan sosial budaya Orang Asli Papua diambil alih dan dikuasai warga migran dari Indonesia. Mereka juga mulai masuk menguasai dalam politik parlemen dan pemerintahan di Tanah Papua. Saat ini, dari 42 kabupaten/kota di Tanah Papua, 14 kabupaten/kota telah dikuasai kelompok warga migran dari Indonesia,” kata Yoman. Baca juga: Dimakamkan di pinggir jalan, Yakob Meklok dan Esron Weipsa jadi simbol menolak pemekaran Papua Dewan Gereja Papua menyatakan pembentukan Provinsi Papua Barat dan berbagai kabupaten baru di Tanah Papua telah dijadikan alasan bagi TNI/Polri untuk membentuk satuan teritorial baru di Tanah Papua. Dewan Gereja Papua juga menyoroti pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III yang berpusat di Timika, ibu kota Kabupaten Mimika. “Selain itu pusat-pusat militer baru telah dibangun dan terus dipersiapkan. TNI merencanakan pendirian setidaknya 31 Kodim baru di Maluku dan Papua selama tahun 2020-2021. Berangkat dari pernyataan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, akan ada penambahan Kodim baru di wilayah Kodam Kasuari di Provinsi Papua Barat, dan Kodam Cenderawasih di Provinsi Papua. Polri juga merencanakan penambahan Polda, Polres, Polresta, juga pasukan Brimob di Tanah Papua,” kata Yoman. Dewan Gereja Papua meminta Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, Badan Intelijen Negara dan Komisi II DPR RI untuk menghentikan semua manuver rencana politik pemekaran provinsi untuk membentuk empat provinsi baru di Tanah Papua. Dewan Gereja Papua menyatakan rencana pemekaran itu dipaksakan dan tanpa aspirasi rakyat Papua. Baca juga: Anggota DPD asal Papua sebut Papua tidak butuh pemekaran Kami meminta supaya Gubernur, para bupati dan wali kota se-Tanah Papua, dan berbagai [pemangku] kepentingan seperti pihak universitas, akademisi di Indonesia dan di Papua, tokoh masyarakat Papua, tokoh pemuda Papua, tokoh perempuan, dan juga lembaga swadaya masyarakat yang menjalankan agenda politik Jakarta untuk segera menghentikan semua manuver dan upaya pemekaran Provinsi di Tanah Papua,” kata Yoman. Dewan Gereja Papua juga meminta Kepala Kepolisian Daerah Papua maupun Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih untuk menghentikan segala tindakan represif kepada rakyat yang menyampaikan aspirasi penolakan Otonomi Khusus dan pemekaran provinsi di Tanah Papua. Yoman menyatakan pihaknya menyesalkan cara aparat keamanan menangani demonstrasi menolak pemekaran di Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo pada 15 Maret 2022. “Sekali lagi kami menyaksikan tindakan aparat TNI-POLRI yang sewenang-wenang dalam menghadapi warga sipil yang melakukan demonstrasi damai menolak pemekaran propinsi baru di Dekai, Yahukimo pada tanggal 15 Maret 2022. Tindakan represif tersebut mengakibatkan dua orang mati tertembak, delapan orang mengalami luka tembak dan tiga [diantaranya] kritis, serta dua orang ditahan di Polres Yahukimo,” kata Yoman. Baca juga: Kunjungi Komnas HAM, MRP bahas revisi UU Otsus Papua dan pemekaran Dalam forum yang sama, Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt Dorman Wandikbo mempertanyakan peranan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM RI untuk memperbaiki situasi HAM di Papua. Wandikbo juga mempertanyakan Komnas HAM RI yang tiba-tiba melontarkan wacana dialog untuk menyelesaikan masalah Papua. Wandikbo menyatakan Komnas HAM RI seharusnya juga bersuara menyikapi rencana pemerintah memekarkan provinsi di Tanah Papua, dan berbagai rencana TNI/Polri untuk menambah satuan teritorial di Tanah Papua. “Komnas HAM punya kewenangan untuk menolak pemekaran. Komnas HAM juga punya kewenangan untuk menarik operasi militer, dan menarik pasukan non organik. Hal itu yang Komnas HAM [harus] lakukan,” ujarnya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Dewan Gereja Papua: Tarik pasukan dan pulangkan pengungsi dulu, baru dialog
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Dewan Gereja Papua pada Senin (21/3/2022) menyampaikan seruan moral atas situasi terkini Papua, termasuk wacana dialog Papua yang dilontarkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM RI. Dewan Gereja Papua menilai proses menuju dialog itu harus diawali dengan penarikan tambahan pasukan TNI/Polri di Papua, serta pemulangan puluhan ribu warga sipil yang mengungsi karena konflik bersenjata di Papua. Hal itu dinyatakan Dewan Gereja Papua dalam keterangan pers di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Papua, Senin. “Kami menilai [dialog] harus diawali dengan langkan penarikan militer dari Tanah Papua, termasuk menghentikan penambahan pasukan,” kata Presiden Gereja Baptis Papua, Pdt Socratez Sofyan Yoman saat membacakan pernyataan resmi Dewan Gereja Papua. Dewan Gereja Papua mencatat pemerintah pusat terus menambah pasukan TNI/Polri di Tanah Papua. Dewan Gereja Papua menyatakan pengiriman pasukan TNI/Polri dari luar Papua ke Tanah Papua telah menambah eskalasi konflik bersenjata di Papua, dan menimbulkan berbagai kasus kekerasan baru. Dewan Gereja Papua menyatakan pengiriman tambahan pasukan itu terjadi sejak 2019, dan diperkirakan ada lebih dari 10 ribu pasukan tambahan yang ditempatkan di Tanah Papua untuk menjalankan operasi keamanan. Baca juga: Komnas HAM RI belum tentukan siapa saja yang berdialog, fokus turunkan angka kekerasan “Kebijakan operasi militer terhadap Tanah Papua yang dimulai sejak Desember 2018 di Kabupaten Nduga, dan semakin meningkat pasca aksi Rasisme 2019, telah menciptakan konflik di enam wilayah yang distigma sebagai Daerah Rawan Konflik, yaitu Kabupaten Puncak Papua, Intan Jaya, Maybrat, Distrik Suru-Suru di Kabupaten Yahukimo, dan Distrik Kiwirok Kabupaten Pegunungan Bintang. Konflik kekerasan antara TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB masih terus berlangsung sampai saat ini. Akibat dari konflik itu, sekitar 60.000 warga sipil mengungsi ke wilayah terdekat, termasuk ke negara tetangga Papua Nugini,” kata Yoman. Dewan Gereja Papua berpandangan proses menuju dialog juga harus didahului pemulangan puluhan ribu warga sipil dari berbagi kabupaten yang dilanda konflik bersenjata. “Kami mendesak pemerintah untuk mengembalikan pengungsi lokal yang berjumlah lebih dari 60.000 orang ke kampung-kampung mereka masing- masing,” kata Yoman. Yoman menyatakan Dewan Gereja Papua juga telah mendapatkan informasi atau laporan berbagai kasus penyiksaan yang di lakukan oleh TNI/Polri. Situasi itulah yang membuat Dewan Gereja Papua berpandangan penarikan tambahan pasukan di Tanah Papua mendesak untuk dilakukan sebagai langkah awal menuju dialog. Baca juga: PAHAM Papua: Komnas HAM RI tidak punya mandat untuk gelar dialog Jakarta – Papua “Kami juga menerima laporan penyiksaan, pembunuhan kilat dan penghilangan paksa yang dialami umat, termasuk para hamba Tuhan di Ndugama, Intan Jaya, Pegunungan Bintang oleh personil TNI/Polri. Beberapa fasilitas milik warga jemaat maupun milik gereja telah diambil oleh pasukan TNI/Polri. Kami terus menyaksikan dan meratapi sengsara dan penderitaan jemaat kami di pedalaman Papua khususnya di enam wilayah yang telah kami sebutkan,” kata Yoman. Dewan Gereja Papua juga menyatakan dialog Papua harus diawali dengan penghentian proses hukum terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, dua aktivis HAM yang mengkritisi keterlibatan purnawirawan dan perwira tinggi militer dalam bisnis tambang di Papua. Penetapan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti sebagai tersangka pencemaran nama baik Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan itu dinilai bisa berdampak terhadap pembela HAM lain yang juga mengadvokasi situasi HAM di Papua. Dewan Gereja Papua menyatakan Komnas HAM RI harus meraih dukungan dan melibatkan masyarakat sipil untuk menggelar dialog Papua. Jika dialog dipaksakan tanpa ada dukungan dari masyarakat sipil, Dewan Gereja Papua menilai lontaran dialog dari Komnas HAM RI itu hanya proyek pencitraan untuk mengalihkan opini publik dan masyarakat internasional terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua. Baca juga: Benny Wenda : Komnas HAM tak punya kapasitas, dialog sudah terjadi di MSG dan PIF “Apabila tidak ada dukungan dari masyarakat sipil, kami menilai [wacana dialog itu] cara untuk mengalihkan opini publik dari sorotan dunia internasional terhadap pemerintah Indonesia terkait pelanggaran HAM di Papua. Kami juga menilai langkah Komnas HAM itu ditempuh dalam rangka politik pencitraan Negara Indonesia,” kata Yoman. Dalam forum yang sama, Presiden Gereja Injili di Indonesia, Pdt Dorman Wandikbo mempertanyakan langkah Komnas HAM RI yang secara tiba-tiba melontarkan wacana dialog Papua. Wandikbo menyatakan selama ini Komnas HAM RI terlihat diam, lalu saat Pemerintah Indonesia disoroti masyarakat internasional tiba-tiba muncul wacana dialog Papua. “Selama ini Komnas HAM di mana.? Banyak kasus yang sudah ada, yang terjadi di tanah Papua,” kata Wandikbo. Wandikbo kembali menegaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab memulangkan 60 ribu Orang Asli Papua yang mengungsi karena konflik bersenjata di berbagai wilayah. Ia menyatakan Komnas HAM RI harus mengurus pemulangan para pengungsi itu sebelum menjalankan proses dialog. “Sebelum melakukan dialog itu, Komnas HAM harus kembalikan 60 ribu pengungsi yang masih ada di luar itu ke kampung mereka masing-masing,” katanya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Mahasiswa asal Yahukimo menolak pemekaran Papua dan minta Brimob ditarik dari Dekai
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Mahasiswa asal Kabupaten Yahukimo, Papua, yang tengah berkuliah di Kota Jayapura menyampaikan pernyataan sikap mereka menyikapi bentrokan antara demonstran tolak pemekaran Papua dan aparat keamanan di Dekai, ibu kota Yahukimo, yang terjadi pada 15 Maret lalu. Mereka meminta semua pasukan Brimob ditarik keluar dari Yahukimo. Hal itu disampaikan para mahasiswa asal Yahukimo pada Jumat (18/3/2022). “”Pasukan Brimob yang diturunkan ke Kabupaten Yahukimo itu harus segera dikembalikan, jangan buat masyakarat trauma,” kata Soleng Soll selaku koordinator lapangan umum para mahasiswa Yahukimo di Kota Jayapura, Jumat. Para mahasiswa Yahukimo di Kota Jayapura menegaskan unjuk rasa menolak rencana pemekaran Provinsi Papua pada 15 Maret 2022 lalu adalah unjuk rasa damai. Unjuk rasa itu menjadi kacau dan berakhir dengan bentrok karena aparat keamanan represif terhadap demonstran. Baca juga: Polda Papua: Aktivitas masyarakat di Kota Dekai berangsur normal Ketua kelompok mahasiswa asal Yahukimo di Kota Jayapura Yanis Sol mengatakan para mahasiswa Yahukimo juga menolak rencana pemekaran Provinsi Papua untuk membentuk Daerah Otonom Baru (DOB). Yanis mengatakan para mahasiswa khawatir pembentukan DOB akan menambah dan memperluas kejahatan aparat terhadap rakyat Papua. “Rakyat di Yahukimo yang sudah sadar, [mereka] mengelar aksi damai pada tanggal 15 Maret 2022 [sebagai] bentuk protes terhadap segelintir orang yang dipasang oleh [pemerintah] pusat yang inin melanjutkan [pembentukan] DOB. Maka, setiap warga masyarakat Yahukimo menyatakan sikap untuk menolak [DOB],” kata Yanis. Pada 15 Maret 2022 lalu, terjadi demonstrasi menolak rencana pemekaran Provinsi Papua terjadi di Dekai. Awalnya, unjuk rasa itu berlangsung dengan damai dan tertib, dan para demonstran bergantian menyampaikan aspirasi mereka menolak rencana pembentukan DOB atau provinsi baru. Para demonstran dan polisi juga sempat bernegosiasi, ketika demonstran meminta polisi menghadirkan anggota DPRD Yahukimo untuk menerima aspirasi mereka. Baca juga: POHR sebut situasi HAM di Papua semakin buruk Sejumlah narasumber yang dihubungi Jubi menuturkan bentrokan antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan terjadi setelah seorang polisi yang membawa kamera mengambil gambar para pengunjuk rasa. Sejumlah pengunjuk rasa memprotes hal itu. Protes itu berlanjut menjadi adu mulut antara demonstran dan polisi, lalu terjadi pelemparan batu. Polisi kemudian menembakkan gas air mata, membuat massa kacau. Dalam kekacauan itu, Yakob Meklok dan Esron Weipsa tertembak peluru tajam dan meninggal dunia. Yakob Meklok meninggal dunia karena luka tembak di bawah ketiak kanan. Sementara Esron Weipsa meninggal karena luka tembak di punggung kiri. Selain itu, ada tiga orang lain yang menjadi korban terluka dalam bentrokan tersebut. Mereka adalah Briptu Muhammad Aldi (luka di bagian kepala), Itos Hitlay (luka tembak di paha kiri), dan Luki Kobak (luka tembak di paha kanan). Peristiwa itu memicu amuk massa yang membakar sejumlah roku dan kantor pemerintah di Dekai. Baca juga: Komnas HAM Papua lakukan investigasi tewasnya 2 demonstran di Yahukimo Yanis menyatakan cara aparat keamanan menangani unjuk rasa menolak rencana pemekaran Provinsi Papua di Dekai menunjukkan bahwa pemenuhan kebebasan berekspresi di Papua jauh dari jaminan kebebasan berekspresi yang dinyatakan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). “Sesuai Pasal 28E UUD 1945, orang berhak menyampaikan pendapat di muka umum, secara lisan dan tertulis. Rakyat Yahukimo melakukan aksi demontrasi untuk menolak pemekaran, namum [justru] terjadi bentrokan antara massa aksi dengan pihak keamanan, hingga menewaskan dua warga, dan sejumlah orang lain masih dirawat di rumah sakit,” kata Yanis. Yanis menyatakan mahasiswa adalah agen perubahan dan kontrol sosial. Mereka merasa prihatin dengan bentrokan yang terjadi di Dekai itu. “Kami mahasiswa Yahukimo dengan penuh menolak DOB. Kami mendesak agar Kapolres Yahukimo dicopot, dan pelaku penembakan massa demonstran diadili. Kami minta Polda Papua segera menarik pasukan tambahan di Dekai, dan kami menolak Operasi Damai Cartenz,” kata Yanis. Yanis menyatakan pihaknya juga meminta polisi tidak menangkap penanggung jawab demonstrasi menolak pemekaran Papua di Dekai, dan berhenti menangkapi warga Dekai yang ikut dalam demonstrasi itu. “Kami mendeklarasikan tanggal 15 Maret sebagai Hari Yahukimo Berdarah,” ujarnya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Elit politik Papua bertanggung jawab atas rencana Jakarta mekarkan Papua
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib menyatakan elit politik Orang Asli Papua turut bertanggung jawab atas rencana Jakarta memaksakan pemekaran Provinsi Papua. Hal itu dinyatakan Timotius Murib di Kota Jayapura, Selasa (15/3/2022). “Hal itu harus dicatat oleh pemerintah pusat dan para elit di Papua. Pemekaran yang didesak itu kesalahannya ada di para elit politik Orang Asli Papua. Kalau orang Jakarta itu pihak kedua [saja]. Menurut pandangan MRP, itu [kesalahan] para elit politik, para Bupati,” kata Murib saat menjawab pertanyaan Jubi, Selasa. Murib menyatakan MRP sebagai lembaga representasi kultural Orang Asli Papua (OAP) tetap bersikap bahwa rencana pemekaran Provinsi Papua harus ditunda. Murib menyesalkan para elit politik di Papua yang terus datang ke Jakarta untuk meminta Provinsi Papua dimekarkan, karena mereka juga paham kalau Provinsi Papua belum layak dimekarkan. Baca juga: Demo tolak pemekaran di Dekai berakhir bentrok, 2 pengunjuk rasa dilaporkan meninggal dunia “Pemekaran itu kunci-kuncinya seperti apa terhadap orang Papua, itu sebenarnya [mereka] pernah tahu. Tapi mereka paksa untuk minta pemekaran. MRP minta agar DOB ditunda, bukan dibatalkan, tapi ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan,” kata Murib. Murib menyatakan pihaknya memiliki sejumlah alasan untuk terus meminta pemerintah pusat menunda rencana pemekaran Provinsi Papua. “Penundaan itu maksudnya kita benahi dulu semua regulasi Otonomi Khusus yang ada. Kemudian [membenani] regulasi lain yang berbenturan dengan [kewenangan] Otonomi Khusus. Itu yang harus diperbaiki, dan semua pihak harus terlibat. Kalau sudah bagus, baru bicara pemekaran di kemudian hari, setelah kelayakan DOB dilakukan,” kata Murib. Murib juga menanggapi pernyataan Forum Kepala Daerah Wilayah Tabi, yang meliputi Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, dan Kabupaten Mamberamo Raya. Ia mengajak para bupati wilayah itu bersama-sama mengevaluasi mengapa pembentukan kabupaten hasil pemekaran terdahulu tidak membawa kesejahteraan bagi OAP. “Saya pikir apa yang disampaikan oleh Bupati ini adalah aspirasi terdahulu [yang sempat] disampaikan masyarakat pro pemekaran. Sebagai bupati, dia harus tahu bahwa di kabupaten pemekaran yang [sudah] ada saja tidak memberikan manfaat yang baik kepada OAP. Kita bicara dulu regulasi Undang-undang Pemerintahan Daerah, baru kita bicara baik-baik [tentang] pemekaran,” kata Murib. Baca juga: Kapolda Papua sebut 2 pengunjuk rasa yang meninggal karena luka tembak Murib menegaskan permintaan MRP kepada pemerintah pusat untuk menunda rencana pemekaran Provinsi Papua justru sejalan dengan moratorium pemekaran wilayah yang diberlakukan Presiden Joko Widodo di seluruh Indonesia. Jika ingin konsisten dengan kebijakan itu, demikian menurut Murib, seharusnya pemerintah pusat tidak memaksakan pemekaran Provinsi Papua. Salah satu warga Kota Jayapura, Mama Erika menilai rencana pemekaran Provinsi Papua adalah kepentingan para elit. Erika menyatakan orang Papua memiliki pengalaman terhadap pemekaran wilayah terdahulu yang tidak terbukti berhasil menyejahterakan OAP. Ia khawatir pemekaran provinsi hanya akan memperderas arus migrasi orang dari luar Papua. “Kita punya anak-anak yang honorer saja belum diangkat, sampai sempat honorer ada demo. Jangan buka pemekaran, nanti orang dari Jakarta, Surabaya, Yogyakarta dan daerah lain yang datang kerja, dan kita hanya jadi penonton,” ujar Mama Erika. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
MRP dan Komnas Perempuan bekerja sama lindungi perempuan di daerah konflik
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Majelis Rakyat Papua atau MRP dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan menandatangani Nota Kesepahaman kerja sama untuk mengadvokasi kasus kekerasan terhadap perempuan Papua. Nota kesepahaman itu ditandatangani di Kota Jayapura, Selasa (15/3/2022). Menurut Ketua MRP, Timotius Murib, Nota Kesepahaman MRP dan Komnas Perempuan itu berjangka waktu tiga tahun. “Hari ini MRP melakukan MoU dengan Komnas Perempuan. Kerja sama itu untuk mewujudkan advokasi bagi ibu dan anak, terutama yang berada di daerah konflik,” kata Murib pada Selasa. Menurut Murib, Nota Kesepahaman kedua lembaga itu sangat penting. “Itu sangat penting untuk melakukan perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan terhadap ibu dan anak Orang Asli Papua di daerah konflik. Seperti di Kiwirok, Intan Jaya, Nduga, Puncak, dan daerah konflik lainnya,” kata Murib. Baca juga: Kunjungi Komnas HAM, MRP bahas revisi UU Otsus Papua dan pemekaran Ia menjelaskan MRP telah membentuk tim hak asasi yang nantinya juga akan bekerja sama dengan Komnas Perempuan dalam melakukan pelayanan dan advokasi hak perempuan dan anak di daerah konflik. “Sangat penting untuk melakukan satu kerja sama, supaya kerja-kerja kami memberi dampak terhadap perlindungan perempuan dan anak,” kata Murib. Murib menyatakan kerja sama MRP dan Komnas Perempuan itu juga akan menjangkau masalah penanganan ribuan warga sipil yang mengungsi karena konflik bersenjata di sejumlah wilayah. “Kerja sama Komnas Perempuan itu akan memberikan dampak, terutama [dalam] pelayanan kepada para pengungsi daerah konflik. Konflik berdampak [kepada] perempuan dan anak, [mereka] kehilangan segala sesuatu,” ujarnya. Baca juga: Sidang gugatan UU Otsus: kuasa hukum MRP hadirkan 4 saksi, DPRP tidak hadir Menurut Murib, MRP ingin memberikan proteksi kepada perempuan dan anak di wilayah konflik. “Contohnya ada masyarakat yang dari daerah konflik pindah ke daerah lain, itu harus diperhatikan oleh MRP. Bagaiman korban itu bisa mendapatkan makan, minum, pendidikan, dan kesehatan. Itu adalah kerja kongkrit yang akan dilakukan MRP,” ucapnya. Ia menjelaskan MRP telah membentuk sejumlah tim untuk mengunjungi para warga sipil yang mengungsi karena konflik bersenjata. “Tensi konflik makin meningkat, sehingga kami akan bergandengan tangan dengan berbagai pihak. MRP juga akan mengajak Pemerintah Provinsi Papua untuk lebih memperhatikan perlindungan [bagi perempuan dan anak di wilayah konflik] itu,” ujarnya. Murib juga berharap pemerintah bisa segera memulangkan para warga sipil yang mengungsi. “Pemerintah setelah memulihkan daerah [dapat] mengembalikan mereka ke daerah asal atau kabupaten masing-masing. Itu menjadi tugas MRP, untuk melakukan diskusi dengan pihak pemerintah daerah,” ucap Murib. Baca juga: Selama 2021, LBH Papua tangani 57 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan pihaknya merasa mendapatkan penghormatan karena bisa bekerja sama dengan MRP untuk memajukan perlindungan bagi perempuan dan anak Orang Asli Papua. “Salah satu pekerjaan rumah kami adalah memastikan Peraturan Daerah Khusus No 1 tahun 2011 [bisa berlaku efektif] untuk pemulihan perempuan asli Papua [yang menjadi] korban kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan itu melalui Peraturan Gubernur Papua,” katanya. Andy menyatakan pihaknya mengapresiasi upaya MRP untuk berkoordinasi dengan Gubernur. “Dalam waktu dekat kami berharap [hal itu] bisa tercapai. Kami juga berharap yang kerja sama itu dapat membantu perumusan arah dan agenda strategis untuk pemenuhan perlindungan terhadap perempuan dan anak Orang Asli Papua,” ujarnya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
KSU Kingmi Zaitun gelar Rapat Anggota Tahunan
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Koperasi Serba Usaha Kingmi Zaitun menggelar Rapat Anggota Tahunan ke-3 di Kota Jayapura, Rabu (9/3/2022). Rapat Anggota Tahunan itu diikuti sekitar 100 orang peserta. “Sesuai Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, maka Koperasi Serba Usaha Kingmi Zaitun melakukan rapat hari ini,” kata pendiri Koperasi Serba Usaha (KSU) Kingmi Zaitun, Marius Yeimo. Yeimo menjelaskan KSU Kingmi Zaitun didirikan untuk melayani anggotanya, yang sebagian besar berpenghasilan kecil. “Sebagian besar jemaat berpendapatan minimal, pegawai hanya beberapa saja,” kata Yeimo. Baca juga: Kemenkop UKM akui koperasi bermasalah sangat ganggu keadilan masyarakat KSU Kingmi Zaitun antara lain melakukan kegiatan usaha simpan pinjam bagi anggotanya. Kegiatan simpan pinjam itu telah berlangsung sejak 2016, dan telah mendapatkan pengakuan dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil, Menengah Kota Jayapura. Para anggota KSU Kingmi Zaitun yang memiliki usaha tertentu mendapatkan pendampingan agar dapat mengembangkan usahanya. “Hal itu semacam baru, karena orang Papua itu bergantung hidup dari alam dan hasil bumi. Untuk mengembangkan usaha hingga berkembang, mereka didampingi,” kata Yeimo. Kepala Bidang Koperasi, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kota Jayapura, Ahmad Musa mengatakan Rapat Anggota Tahunan itu adalah kegiatan yang rutin dilakukan organisasi apapun, termasuk koperasi. Rapat itu juga untuk memastikan pengurus koperasi bisa mengembangkan asetnya, termasuk uang yang dikumpulkan dari anggotanya. “Terutama itu, uang, jangan sampai ketika kepengurusan berakhir, aset juga berakhir. [Hal] seperti itu tidak boleh [terjadi]. Untuk keberlangsungan koperasi, digelar rapat ini,” kata Ahmad. Ahmad mengingatkan usaha simpan pinjam koperasi hanya boleh memberikan pinjaman kepada anggotanya. “Setiap orang yang menjadi anggota harus taruh Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib,” jelasnya. Pengawas KSU Kingmi Zaitun, Nason Utii mengatakan jemaat Sinode Gereja Kingmi berpotensi untuk digalang menjadi anggota koperasi. “Anggota jemaat lebih banyak anak-anak muda yang sedang mengikuti pendidikan di Kota Jayapura, baik di tingkat perguruan tinggi dan tingkat menengah,” ujarnya. Baca juga: Pengurus Koperasi TKBM Pelabuhan Jayapura harus miliki sertifikasi kompetensi Anak muda Papua yang hidup di wilayah urban/perkotaan tidak mungkin lagi menggantungkan hidup dari hasil alam, karena kawasan perkotaan padat penduduk. Hal itu menuntut anak muda Papua untuk memiliki keterampilan berwira usaha. “[Mengasah] jiwa wira usaha atu dengan satu cara, mereka berkecimpung di koperasi, di mana mereka jadi anggota. Jadi [mereka belajar mendapat penghasilan] tidak hanya dari pertanian saja, namun tanam dari pikiran mereka juga bisa. Salah satu contoh itu [menjadi perajin] noken, yang dibanyak dianyam mama-mama” ucapnya. Utii merasa bangga karena ada anak muda Papua yang terlibat dan mau belajar di koperasi. “Dengan begitu, peluang itu diciptakan dan diawasi oleh pengawas serta Pemerintah Kota Jayapura. Dengan Rapat Anggota Tahunan, anggota koperasi bertambah terus,” kata Utii. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Pembangunan dermaga DPR Papua berujung gugatan di PN Jayapura
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Juliana J Waromi digugat dalam perkara wanprestasi di Pengadilan Negeri Jayapura. Gugatan itu diajukan PT Simon Jaya Abadi Perkasa karena Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Papua tidak melunasi biaya pembangunan dermaga parkir di Kantor DPR Papua itu. Hal itu dinyatakan advokat Guntur Ohoiwutun selaku kuasa hukum PT Simon Jaya Abadi Perkasa. PT Simon Jaya Abadi Perkasa adalah kontraktor pelaksana pembangunan dermaga parkir DPR Papua, dan memiliki tagihan pelunasan biaya jasa konstruksi senilai Rp32,34 miliar. “Kami ajukan gugatan wanprestasi karena belum bayar,” ujar Ohoiwutun saat dihubungi melalui panggilan telepon, Selasa (8/2/2022). Ohoiwutun mengatakan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Papua selalu mempersoalkan adendum kontrak perkerjaan pembanguan dermaga itu, padahal dermaga itu telah selesai dikerjakan. Ohoiwutun menyatakan pihaknya telah menyelesaikan pekerjaan yang disepakati, dan berhak menerima pembayaran. Baca juga: DPR Papua dan eksekutif bahas empat raperda dalam paripurna non-APBD “Itu proyek tahun 2018 – 2019, sampai sekarang belum dibayar. Yang belum dibayar Rp32 miliar,” ujarnya. Ohoiwutun menyatakan kliennya mengalami kerugian karena pekerjaan mereka tidak dibayar. “Jelas para pengusaha mengalami kerugian, karena mereka menggunakan dana mereka lebih dulu [untuk melaksanakan pekerjaan. Itupun beberapa dana pinjaman. Bagaimana mau menutupinya, sementara tergugat belum membayar,” katanya. Ohoiwutun menyatakan kliennya telah berupaya baik untuk menyelesaikan masalah itu, termasuk dengan mengembalikan sejumlah uang yang dinyatakan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai kelebihan pembayaran kepada PT Simon Jaya Abadi Perkasa. Akan tetapi, demikian menurut Ohoiwutun, Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Papua tidak beriktikad baik membayar jasa kliennya. “Ada audit BPK, [disebutkan] ada kelebihan membayar, dan kelebihan itu tersebut sudah selesaikan oleh klien kami. Kami sudah lakukan komunikasi berulang kali, namun tidak ada kejelasan, sehingga gugatan ini dilakukan agar kekurangan [pembayaran jasa klien kami] bisa dilunasi,” ujarnya. Baca juga: Tokoh masyarakat Intan Jaya kritik kinerja DPR Papua Dia mengatakan upaya penagihan telah dilakukan sejak awal proses pekerjaan dari 2019. ‘Kami berusaha menyelesaikan dengan baik tetapi Sekwan tidak mau membayar, maka tindakan lanjut yang dilakukan gugatan ini. Sampai dengan saat ini dan hal itu tidak ada kejelasan dari pihak Sekwan, maka kami gugat wanprestasi atau ingkar janji,” katanya. Saat ini, proses persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura memasuki tahapan mediasi. “Kami berharap Sekretariat Dewan dapat segera melunasi tanggung jawab mereka, karena bangunnya sudah diselesaikan. Sudah dilakukan serah terima dan dilanjutkan dengan pengaspalan, [serta] pekerja lain, namun bangunan dermaga awalnya belum dilunaskan,” katanya. Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Juliana J Waromi saat dikonfirmasi Jubi menyatakan belum bisa memberikan penjelasan, karena ia tengah sakit. “Maaf, Ibu lagi sakit. Nanti sudah sehat masuk kantor, baru wawancara ya,” tulis Waromi saat dihubungi Jubi melalui layanan pesan Whatsapp. (*) Ralat: Berita ini mengalami perbaikan pada 10 Februari 2022 pukul 22.04 WP. Pada pemberitaan awal tertulis “Hal itu dinyatakan advokat Gunter Ohoiwutan selaku kuasa hukum PT Simon Jaya Abadi Perkasa”. Informasi itu diperbaiki menjadi “Hal itu dinyatakan advokat Guntur Ohoiwutun selaku kuasa hukum PT Simon Jaya Abadi Perkasa”. Kami memohon maaf atas kesalahan tersebut. Editor: Aryo Wisanggeni G
Warga keluhkan pasar liar yang macetkan jalan di Sentani
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Sejumlah pasar liar bermunculan di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jayapura diminta menertibkan sejumlah lokasi pasar liar, karena kemunculannya membuat “wajah” Sentani terlihat semrawut. Selain pasar liar, “wajah” Sentani juga semrawut karena banyak kios kelontong yang menjual barang dagangan pasar seperti daging ayam, ikan laut, sayur, dan bumbu dapur. Kemunculan “pasar liar” itu membuat Sentani seperti tidak memiliki pasar sentral. Salah satu warga Sentani, Emmy Klemens meminta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jayapura serta dinas terkait lainnya menertibkan pasar liar yang bermunculan. “Pasar keci sudah menjamur, tapi orang dinas terkait duduk diam saja. Apakah tunggu pasar kecil itu besar dulu [baru nanti ditertibkan], atau seperti apa?” tanya Emmy saat ditemui di Sentani, Senin (7/2/2022). Ia mempertanyakan aturan perizinan yang dibuat Pemerintah Kabupaten Jayapura, karena aturan itu tidak efektif. “Kenapa ada pasar lagi di luar [pasar resmi], baik di jalan-jalan, kios yang jual barang pasar, jualan sayur dan bumbu. Itu aneh, izin dari dinas terkait itu seperti apa,” ujarnya. Baca juga: Disperindag Kabupaten Jayapura akan tata dan kembalikan fungsi Pasar Pharaa Emmy juga mempertanyakan apakah para pedagang yang berjualan barang dagangan pasar di luar pasar itu membayar retribusi. “Bayar atau tidak? [Kalau] bayar oke-oke saja, tapi semua harus ditertibkan [dan ditempatkan] di satu tempat. Jangan berhamburan sepeti itu,” kata Emmy. Salah satu pengemudi angkutan umum di Sentani, Demianus Yaota juga mengeluhkan kemunculan pasar liar dan kios kelontong yang menjual barang dagangan pasar. Menurutnya, pasar liar dan kios kelontong yang menjual barang dangan pasar itu menimbulkan kemacetan. “Pasar-pasar kecil di pinggir jalan itu [menimbulkan kemacetan]. Masyakarat kalau sudah belanja di situ parkir motor dan mobil memakan jalan. Memang harus ditertibkan,” ucapnya. Ia menyatakan pendapatan sopir angkutan umum juga berkurang karena kemunculan “pasar kecil” itu, karena pengguna jasa angkutan umum berkurang. “Kalau semua pasar, kan enak, lumayan yang kami dapat. Kalau [barang dagangan pasar] sudah ada di kios atau ruko, yang mau beli tinggal menyeberang [jalan] saja, jadi kami dapat juga sedikit,” ucap Yaota.(*) Editor: Aryo Wisanggeni G
MRP pertanyakan perbaikan jalan Sentani- Depapre
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi- Majelis Rakyat Papua MRP, mempertanyakan kapan Bappeda Provinsi Papua akan memperbaiki jalan Sentani Depapre yang hingga saat ini masih rusak parah. “Kapan jalan Sentani – Depapre akan selesai dikerjakan, di Depapre banyak sumberdaya alam, jalan ini sudah bertahun-tahun, katanya ini tanggung jawab pemerintah provinsi Papua,” kata Robert. D. Wanggai, dari Pokja agama MRP dalam sesi tanya jawab dalam kegiatan bimtek Jumat (4/2/2022) Jalan ini harus dikerjakan, agar memudahkan masyarakat dapat membawa hasil bumi mereka di pasar sentral. “Ada tempat wisata yang bagus, ada hasil bumi dan juga ada pelabuhan,” ucap Wanggai. Di tempat yang sama, Adolof Kambuaya Sekretaris Bappeda Provinsi Papua mengatakan, jalan sentani Depapre merupakan tanggung jawab Dinas PU Provinsi Papua. “Soal jalan ini biasa kami bicarakan, namun tanggung jawab soal jalan ini ada di dinas PU provinsi Papua yang punya kewenangan soal perbaikan Jalan Sentani Depapre,” jelasnya.. dia mengatakan jalan Sentani -Depapre merupakan jalan nasional.Sampai saat ini pusat belum bisa melanjutkan karena statusnya, apakah kembali ke provinsi atau pusat.(*) Editor: Syam Terrajana
Sekolah dan puskesmas dibangun, tapi Papua tetap kekurangan guru dan dokter
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Anggota Kelompok Kerja Adat, Majelis Rakyat Papua, Edison Tanati mengkritik pembangunan di Papua yang lebih bertitik berat kepada pembangunan infrastruktur tanpa menyiapkan sumber daya manusianya. Pembangunan banyak sekolah dan puskesmas dinilai percuma karena Papua tetap kekurangan guru dan tenaga kesehatan. Hal itu dinyatakan Edison Tanati dalam sesi tanya jawab Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota MRP yang berlangsung di Sentani pada Jumat (4/2/2022). Menurutnya, tanpa sumber daya manusia (SDM) yang siap menjalankan pelayanan di berbagai fasilitas umum yang dibangun, pelayanan pendidikan dan kesehatan di Papua tidak akan membaik. “Kita bicara infrastruktur tanpa kesiapan SDM, sama saja. Seperti [pemerintah] bilang, berapa sekolah dan puskesmas pembantu [yang dibangun] di kampung? Baru, siapa yang mengajar di sana?” Tanati bertanya. Baca juga: Pemekaran wilayah tidak bermanfaat bagi Orang Asli Papua Tanati menyatakan pembangunan sarana dan prasarana fisik selalu diutamakan, namun pemerintah tidak kunjung membenahi masalah kekurangan guru dan tenaga medis di Papua. “Banyak yang saya lihat di darah itu, fisik yang di dahulukan, sedangkan SDM tidak. Kalau bangun puskesmas pembantu, baru mantri dari mana? Tidak usah jauh-jauh, di Kabupaten Keerom saja ada [bangunan] puskesmas yang sapi masuk [dan] tinggal dalam [puskesmas itu],” kata Tanati. Tanati menegaskan setiap pembangunan infrastuktur harus diimbangi dengan penyiapan SDM yang akan menjalankan pelayanan di sana. “Masyakarat bukan berobat di gedungnya, tapi perlu tenaga [kesehatan yang ada di sana],” ujarnya. Ia juga mengkritik perubahan tata kelola Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua pasca diundangkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua). Perubahan tata kelola Dana Otsus Papua itu mengurangi kemampuan Pemerintah Provinsi Papua menjalankan wewenang khusus. “Regulasi pembagian Dana Otsus Papua itu sudah berubah, sudah seperti [tata kelola] Dana Alokasi Khusus atau DAK dan Dana Alokasi Umum atau DAU. Dana Otsus Papua bukan berbicara soal program, tapi berbicara soal berapa banyak Orang Asli Papua di setiap kabupaten/kota,” kata Tanati. Baca juga: Realitas pembangunan di Papua tak sebagus perencanaan Pemprov Papua Akan tetapi, kini kucuran Dana Otsus Papua untuk pemerintah kabupaten/kota akan bergantung dari usulan program pemerintah kabupaten/kota yang disetujui pemerintah pusat. “Sekarang kabupaten/kota kasih naik program, baru [Dana Otsus] diturunkan. Itu sudah bukan Dana Otsus, itu namanya DAK atau DAU,” ujar Tanati. Sekertaris Bappeda Provinsi Papua, Adolof Kambuaya menyatakan perubahan tata kelola Dana Otsus Papua itu berorientasi kepada peningkatan pelayanan pendidikan dan kesehatan di Papua. Hal itu sesuai dengan amanat undang-undang. “Sudah ada indikator untuk dibagi dalam pembagian bervariasi antara kabupaten yang satu dengan kabupaten lainnya. Tujuan pembagian Dana Otsus ke kabupaten dan kota itu sesuai dengan UU Otsus, diperuntukan untuk membangun pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pemberdayaan ekonomi,” ujar Kambuaya.(*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Realitas pembangunan di Papua tak sebagus perencanaan Pemprov Papua
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Anggota Kelompok Kerja Adat, Majelis Rakyat Papua, Aman Jikwa menyatakan realitas pembangunan di Papua tidak sebagus perencanaan yang dibuat dan dipaparkan Pemerintah Provinsi Papua. Ia mengkritik Pemerintah Provinsi Papua yang mendengungkan pembangunan berbasis wilayah adat, namun tidak pernah melibatkan Majelis Rakyat Papua atau MRP dalam perencanaan pembangunan itu. Hal itu dinyatakan Aman Jikwa dalam sesi tanya jawab Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota MRP yang berlangsung di Sentani pada Jumat (4/2/2022). Ia menyatakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Papua belum pernah duduk bersama MRP untuk membahas rencana pembangunan berbasis wilayah adat. “Saya senang dengar Pemerintah Provinsi Papua punya program perencanaan pembangunan dengan pendekatan wilayah adat. MRP adalah representasi masyakarat adat di lima wilayah adat, dan selama ini kami belum pernah duduk bersama Bappeda untuk melakukan perencanaan pembangunan,” kata Jikwa. Ia menyatakan berbagai proyek dan program pembangunan pemerintah gagal menghapuskan stigma bahwa Orang Asli Papua miskin dan terbelakang. “Miskinnya itu di segi apa?” Jikwa bertanya. Baca juga: TNI/Polri diminta tidak duduki sekolah dan fasilitas umum di Papua Dalam kenyataannya, demikian menurut Jikwa, pelaksanaan pembangunan di Papua tidak sebagus perencanaan yang dipaparkan Pemerintah Provinsi Papua. “Yang saya lihat, di daerah itu tanaman kopi, nanti daerah lain juga kopi lagi. Itu copy-paste juga. Apakah tidak ada perencanaan lain untuk menjawab bahwa OAP masih miskin?” tanyanya. Jikwa menyatakan Tanah Papua merupakan tanah yang kaya dengan berbagai sumber daya alam. “Tanah Papua itu kaya, tapi kalau kita salah perencanaan, salah penanganan, maka salah juga nanti hasil panennya,” ucap Jikwa Sekertaris Bappeda Provinsi Papua, Adolof Kambuaya mengatakan sebenarnya Orang Asli Papua tidak dikatakan miskin, karena Orang Asli Papua memiliki tanah dan sumber pangan yang melimpah. Akan tetapi, Orang Asli Papua belum mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang baik. “Saya punya lahan ada, ternak ada, tanah ada, jadi itu bukan indikator miskin. Kalau indikator secara nasional, itu soal berapa besar pendapatan kita. Orang Asli Papua tidak miskin, ada hutan, sagu, laut, danau. Otonomi Khusus Papua ada karena Orang Asli Papua tertinggal [dalam] masalah [akses layanan] kesehatan dan pendidikan,” kata Kambuaya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Dana Afirmasi tak ada, beasiswa luar negeri bukan tanggungan Pemprov Papua lagi
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Alokasi Dana Afirmasi Pemerintah Provinsi Papua untuk membiayai ribuan mahasiswa asli Papua berkuliah tidak ada lagi. Hal itu disebabkan perubahan tata kelola Dana Otonomi Khusus Papua pasca diundangkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Hal itu dinyatakan anggota Kelompok Kerja Adat, Majelis Rakyat Papua (MRP), Edison Tanati dalam sesi tanya jawab Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota MRP yang berlangsung di Sentani pada Jumat (4/2/2022). Para mahasiswa asli Papua yang berkuliah di luar negeri dengan Program Beasiswa Papua Bangkit dari Pemerintah Provinsi Papua kini menjadi tanggungan pemerintah kabupaten/kota. Hal itu terjadi karena pemerintah pusat mengubah tata kelola Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Tanati khawatir, jika pemerintah kabupaten/kota gagal mengambil alih urusan pembiayaan Program Beasiswa Papua Bangkit, maka ribuan mahasiswa asli Papua yang sedang berkuliah di luar negeri terancam putus sekolah. Baca juga: MRP tutup Bimbingan Teknis untuk pimpinan dan anggotanya “Dana Afirmasi yang tadinya 10 persen itu sudah tidak ada. Sudah tidak ada urusan bersama. Semua [sumber daya program beasiswa itu] sudah kembali ke kabupaten/kota, dan sudah tidak ada urusan dengan provinsi,” kata Tanati dalam sesi tanya jawab dalam kegiatan bimtek, Jumat (4/2/2022). Tanati menyatakan ia juga belum mendapat penjelasan bagaimana proses pengalihan urusan beasiswa yang sebelumnya bersumber dari Dana Afirmasi Pemerintah Provinsi Papua. “Sekarang program afirmasi dan segala macam sudah tidak bisa jalan, karena sumber dananya sudah tidak ada. Strategi pembangunan sepeti apa yang sedang dibuat [pemerintah?] Saya sendiri juga. bingung,” ujarnya. Secara terpisah, Sekretaris Kelompok Kerja Program Lanny Jaya Cerdas, Kendi Wanimbo menyatakan para mahasiswa Lanny Jaya yang sedang berkuliah di luar Papua harus segera mendaftarkan data mereka kepada Kelompok Kerja Program Lanny Jaya Cerdas. Pendataan ulang itu dibutuhkan karena Pemerintah Provinsi Papua tidak akan membiayai kuliah mereka lagi. “Sesuai dengan imbauan Bupati Lanny Jaya, untuk yang ada di luar segera meregistrasi kembali melalui kami. Biro SDM [Pemerintah Provinsi Papua] sudah tidak akan membiayai lagi, karena semua dikendalikan oleh daerah masing-masing. Khusus Lanny Jaya, kalau Pemerintah Provinsi Papua lepas tangan, Program Lanny Jaya Cerdas sudah siap,” aku Wanimbo. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
TNI/Polri diminta tidak duduki sekolah dan fasilitas umum di Papua
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Anggota Kelompok Kerja Adat, Majelis Rakyat Papua, Engelbertus Kasipmabin menyatakan penambahan pasukan TNI/Polri yang menjalankan operasi di Papua tidak dipersiapkan dengan baik, sehingga banyak fasilitas umum diduduki TNI/Polri. Kasipmabin mengkritik banyaknya sekolahan, puskesmas, atau kantor aparat sipil yang dijadikan pos keamanan TNI/Polri, karena hal itu mengganggu aktivitas warga Papua. Kasipmabin menyatakan tambahan pasukan TNI/Polri yang dikirimkan ke Papua tidak memiliki tempat tinggal. “Pengiriman anggota ke masing-masing daerah, [namun] mereka tidak punya tempat tinggal, atau asrama yang bisa menampung mereka,” kata Kasipmabin dalam Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota MRP di Sentani, Kabupaten Jayapura, Jumat (4/2/2022). Ia pun mempertanyakan bagaimana TNI/Polri mengelola tambahan pasukan yang mereka kirimkan ke Papua. “[Mereka dengan cara paksa atau terhormat ambil tempat tinggal masyakarat, sekolah, puskesmas, [atau] rumah warga. Kalau bisa, bangun dulu tempat buat mereka, agar bisa menampung mereka [dan] tidak menganggu masyakarat setempat,” ucapnya. Baca juga: Konflik bersenjata di Yahukimo dipicu pembunuhan dan perdagangan senjata api Kasipmabin menilai upaya menjadikan TNI/Polri sebagai tenaga pengajar atau tenaga medis juga tidak ditanggapi positif oleh warga, karena pada dasarnya warga justru takut dengan kehadiran TNI/Polri di lingkungan sekolah atau fasilitas pendidikan. “Semuanya karena terpaksa, masyakarat takut, dan bahkan guru juga takut. Mereka lari karena ditanya soal Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB. [Pasukan TNI/Polri] selalu tanya [hal itu] kepada masyarakat yang tidak tahu apa-apa,” jelas Kasipmabin. Kasipmabin menyarankan pemerintah pusat menempuh strategi lain selain mengirimkan pasukan tambahan ke Papua, karena dampak pengiriman pasukan itu justru memperburuk situasi di Papua. “Gunakan strategi yang negara ini miliki. Panggil pihak TPNPB, lalu duduk berdialog,” ujarnya. Kasipmabin juga meminta pasukan TNI/Polri tidak menduduki lahan, kebun, dan tempat tinggal warga. Penggunaan fasilitas publik seperti sekolah dan puskemas yang berada di sekitar permukiman warga untuk kepentingan pasukan TNI/Polri justru membahayakan warga sipil di lokasi itu, membuat warga sipil takut dan akhirnya mengungsi. “[Seharusnya] TNI/Polri siapkan lapangan perang, dan panggil OPM datang berperang [di situ], itu yang bagus. Jangan buat masyakarat jadi kacau, [sebagaimana terjadi di] Nduga, Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang dan daerah konflik lainnya. Kami lihat pengungsi berhamburan di mana-mana,” ujar Kasipmabin. Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua meminta pasukan Brimob yang menempati tiga bangunan sekolah di Kabupaten Yahukimo meninggalkan bangunan sekolah itu. Hal itu disampaikan Direktur LBH Pers, Emanuel Gobay SH MH dalam keterangan pers tertulisnya, Jumat (21/1/2022). Baca juga: MRP tutup Bimbingan Teknis untuk pimpinan dan anggotanya Gobay menyatakan pasukan Brimob telah menempati tiga bangunan sekolah di Kabupaten Yahukimo sejak 3 Oktober 2021. Menurutnya, ketiga bangunan sekolah yang ditempati pasukan Brimob itu adalah gedung SMA Negeri NINIA, SMA Negeri Anggruk dan SMK Negeri 2 Yahukimo. “Akibat penempatan itu, para siswa tidak bisa bersekolah dan proses belajar mengajar terhenti total,” demikian keterangan pers LBH Papua. Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Faizal Ramadhani yang menjadi salah satu pemateri dalam Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP pada pekan ini menyatakan pasukan tambahan Polri di Papua seharusnya tidak menggunakan fasilitas umum. Ia mengatakan pimpinan Polri telah mengevaluasi sejumlah satuan yang sempat menempati fasilitas umum seperti sekolah. “Dalam pengiriman pasukan dan personil Polri, [seharusnya mereka] tidak tinggal di sekolah. Kami juga menyadari beberapa waktu lalu [ada pasukan yang menempati fasilitas umum, hal itu] juga sudah ada di media. Hal itu menjadikan bahan evaluasi bagi kami kepolisian. Di beberapa daerah kami sudah membangun barak, di Nduga, Pegunungan Bintang, dan beberapa daerah lainnya. Mungkin ada beberapa wilayah yang [masih] mengunakan fasilitas umum,” ujarnya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Konflik bersenjata di Yahukimo dipicu pembunuhan dan perdagangan senjata api
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Anggota Kelompok Kerja Perempuan, Majelis Rakyat Papua, Sarah Ita Wahla menyatakan konflik bersenjata di Kabupaten Yahukimo adalah hal baru, karena dahulu tidak ada aktivitas Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB di sana. Menurut Wahla, TPNPB justru baru hadir di Yahukimo setelah aparat TNI/Polri di sana bertambah banyak, dan terjadi aktivitas perdagangan senjata yang melibatkan tentara atau polisi. “Di Yahukimo, [dulu] tidak ada TPN-OPM di sana. [Namun sekarang mereka] ada [di] tiga tempat di Yahukimo—di Suru-suru, Siridala, dan Jalan Gunung. Semua bermula karena kasus pembunuhan [warga bernama] Yalak,” kata Wahla di Sentani, Kamis (3/2/2022). Wahla menyatakan peredaran senjata api di Yahukimo terjadi karena perdagangan senjata yang melibatkan polisi. “jual beli senjata itu mereka yang jual. Dari situ terjadilah kelompok TPM-OPM, semua hanya gara-gara itu saja,” ujarnya. Baca juga: MRP tutup Bimbingan Teknis untuk pimpinan dan anggotanya Wahla menyatakan kehadiran TNI/Polri justru mengganggu warga Yahukimo, karena membuat warga tidak bisa beraktivitas seperti biasanya. “Kemarin ada sekolah mereka jadikan tempat [pos aparat keamanan] di Yahukimo. [Padahal] itu tempat yang aman. Yahukimo itu dibuka oleh misionaris, bukan pemerintah yang buka tempat itu. [Sekarang] TNI dan Brimob bangun pos di hutan-hutan, memangnya ada setan di sana?” kata Wahla. Ia menyatakan dahulu orang asli Papua di Yahukimo hidup dengan aman dan damai. Akan tetapi, jumlah anggota TNI dan Polri di Yahukimo semakin bertambah, dan hal itu justru membuat warga merasa tidak aman. “Yang menciptakan [label] orang Papua itu teroris, OPM, [atau] separatis itu justru TNI/Polri,” jelasnya. Baca juga: Pemekaran wilayah tidak bermanfaat bagi Orang Asli Papua Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Faizal Ramadhani yang menjadi salah satu pemateri dalam Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP pada pekan ini menyatakan pihaknya terus melakukan penegakan hukum terhadap polisi yang kedapatan memperdagangkan senjata api. “Kami juga sedang melakukan penegakan hukum kepada oknum polisi atau Brimob yang melakukan penjualan senjata. [Anggota polisi yang terlibat] sudah kami amankan,” ucapnya. Faizal menyatakan kepolisian akan melakukan tindakan hukum yang tegas terhadap anggota polisi yang memperdagangkan senjata api di Papua. “Kalau ada anggota yang melakukan penjualan senjata, laporkan kepada kami kepolisian atau Polda. Harapan kami, dengan informasi tersebut kami bisa mencari informasi lebih mendalam terkait peredaran senjata dan amunisi. Bagi kami, siapapun yang melakukan penjualan amunisi tentu akan kita tegakan hukum,” jelasnya.(*) Editor: Aryo Wisanggeni G
MRP tutup Bimbingan Teknis untuk pimpinan dan anggotanya
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Majelis Rakyat Papua atau MRP menutup Bimbingan Teknis yang digelar untuk meningkatkan kapasitas pimpinan dan anggotanya, Jumat (4/2/2022). Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan Bimbingan Teknis yang menghadirkan delapan pemateri itu berjalan dengan baik. Selama tiga hari, Bimbingan Teknis itu meghadirkan delapan pemateri yang membahas berbagai meteri terkait wewenang MRP selaku lembaga representasi kultural orang asli Papua, termasuk perwakilan Kepolisian Daerah Papua, Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih, WALHI Papua, Badan Pertanahan Nasional Papua, dan Kepala Badan Intelijen Nasional Daerah Papua. Bimbingan Teknis itu juga menghadirkan advokat yang tengah menjadi kuasa hukum MRP dalam permohonan uji materiil MRP atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua) di Mahkamah Konstitusi. “Saya merasa [kebutuhan kami] terpenuhi [dengan Bimbingan Teknis itu], supaya itu menjadi bekal untuk pimpinan dan anggota MRP [untuk] melaksanakan tugas dengan baik. [MRP] bisa memberikan informasi kepada Orang Asli Papua [tentang] bagaimana perubahan [aturan Otsus Papua] yang terjadi, [dan] menyiapkan diri,” kata Murib. Baca juga: Pemekaran wilayah tidak bermanfaat bagi Orang Asli Papua Ia menyatakan Orang Asli Papua memang harus mempersiapkan diri menghadapi perubahan aturan Otsus Papua setelah UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua diundangkan. Murib menyatakan MRP sendiri belum bisa memastikan bagaimana pemerintah pusat akan menjalankan UU Otsus Papua yang baru itu. “Realisasi UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua itu [seperti apa], kami belum tahu. Akan tetapi, menurut MRP berharap masyarakat yang ada di 29 kabupaten/kota dan lima wilayah adat harus siap menerima kondisi perubahan yang cepat sekali terjadi itu,” ujar Murib. Murib menduga pemerintah pusat akan segera menjalankan keinginan mereka untuk memekarkan Provinsi Papua menjadi beberapa provinsi baru. “Menurut pemerintah pusat, [pemekaran] itu kebutuhan. Walaupun MRP tidak ingin [ada] pemekaran, kemungkinan besar pemekaran itu [akan] terjadi. Masyakarat akar rumput siap untuk menerima itu, siap untuk bersaing dengan kondisi yang ada, dan tetap melanjutkan kehidupan sehari-hari,” tuturnya. Murib pemekaran sebuah wilayah seharusnya memperoleh persetujuan dari pemeriontah daerah setempat. “Pemekaran itu harus ada rekomendasi dari Gubernur, DPR Papua, dan juga MRP. Tapi itu diabaikan. [Dua provinsi di Tanah Papua] akan dimekarkan [dengan membentuk] empat provinsi [baru], dua di Provinsi Papua Barat dan dua di Provinsi Papua,” tuturnya. Menurut Murib, akar rumput di lima wilayah adat yang ada di Papua belum tentu menerima rencana pemerintah pusat itu. Salah satu penyebabnya, karena banyak warga yang belum siap menerima berbagai dampak negatif pemekaran. Baca juga: MRP tanyakan solusi bagi 8 pengibar bendera Bintang Kejora yang ditahan polisi “Kita belum menyiapkan sumber daya manusia di akar rumput, namun pemekaran cepat terjadi. Para bupati belum menyiapkan sumber daya manusia dengan baik, tapi mereka berlomba-lomba bikin deklarasi pemekaran dan lari ke Jakarta minta pemekaran. Jadi bupati jangan buru-buru minta pemekaran,” jelas Murib. Murib menegaskan seharusnya pemerintah pusat lebih dahulu menjalankan mandat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua)sebelum memekarkan provinsi di Tanah Papua. “[Sudah 20 tahun implementasi Otsus di Tanah Papua, 24 kewenangan [khusus] tidak pernah dilaksanakan. Hanya empat kewenangan yang dilaksanakan, yaitu [calon] Gubernur dan Wakil Gubernur Orang Asli Papua, [pembentukan] MRP, [kucuran] Dana Otsus, dan 14 DPR Papua [yang dipilih dengan mekanisme Otsus]. Sejumlah 20 kewenangan [lainnya] tidak jalan, contohnya, pembentukan [Pengadilan] Hak Asasi Manusia,” ucap Murib. Murib memperkirakan pelaksanaan UU Perubahan Kedua UU Otsus Papua nantinya akan menimbulkan sejumlah persoalan. [Itulah mengapa] MRP perlu pembekalan, agar MRP memberikan informasi baru kepada akar rumput, agar mereka siap menerima dan bersaing mengubah kehidupan mereka,” katanya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Pemekaran wilayah tidak bermanfaat bagi Orang Asli Papua
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Anggota Kelompok Kerja Perempuan, Majelis Rakyat Papua, Sarah Ita Wahla menyatakan pemekaran wilayah di Papua tidak bermanfaat bagi Orang Asli Papua. Wahla menyatakan berbagai pemekaran wilayah di Papua tidak memberi dampak positif bagi Orang Asli Papua, sehingga ia menolak rencana pemekaran Provinsi Papua. Hal itu dinyatakan Wahla di Sentani, Kamis (3/2/2021). Wahla menuturkan, dirinya berasal dari Kabupaten Yahukimo, sebuah kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Jayawijaya. Kini, Kabupaten Yahukimo telah terbagi dalam 51 distrik dan 518 kampung, namun Wahla menyatakan Orang Asli Papua tidak merasakan manfaat pemekaran. “Saya punya kabupaten di Yahukimo, itu ada 51 distrik. Orang Yahukimo bilang, ‘kami tidak perlu pemekaran’,” kata Wahla dalam sesi tanya jawab Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota MRP yang berlangsung di Sentani, Kamis. Baca juga: MRP tanyakan solusi bagi 8 pengibar bendera Bintang Kejora yang ditahan polisi Wahla mempertanyakan rencana pemerintah pusat memekarkan Provinsi Papua. “Pemekaran untuk siapa? Masyarakat [asli Papua] lari di gunung, di lereng. Otonomi Khusus yang khusus untuk perempuan saja kami tidak tahu [seperti apa]. Jadi, stop sudah dengan bicara pemekaran Papua. Saya ini mewakili perempuan Papua yang bicara,” jelasnya. Wahla berharap rencana pemerintah pusat memekarkan Provinsi Papua menjadi beberapa provinsi baru tidak akan menimbulkan konflik baru di Papua. Ia juga mengkhawatirkan dampak pemekaran terhadap Orang Asli Papua, karena berbagai kabupaten hasil pemekaran saat ini justru memanas akibat konflik bersenjata di sana. “Tidak usah ada pemekaran di daerah pegunungan [Papua], karena nanti ujung-ujungnya merusak orang-orang yang ada di sana saja. Tidak akan ada kesejahteraan pada pemekaran itu nanti,” ucap Wahla. Baca juga: MRP: Minuman beralkohol dan Narkoba mesin pembunuh orang asli Papua Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib juga mengkritik banyaknya mantan bupati yang pergi ke Jakarta untuk meminta pemerintah pusat membentuk Daerah Otonom Baru di Papua. Ia mengingatkan setiap pemekaran dan pembentukan Daerah Otonom Baru seharusnya dipertimbangkan masak-masak oleh Gubernur Papua, DPR Papua, dan MRP. “Bupati, setelah [menjabat selama] dua periode, dia akan turun [dan] kembali jadi rakyat biasa. Di saat menganggur, [dia] pergi ke Jakarta, minta pemekaran. Pemekaran itu [seharusnya] melalui mekanisme rekomendasi Gubernur, DPR Papua, dan pertimbangan dari MRP. Ketiga mekanisme itu tidak dilalui, serta merta minta pemekaran,” kata Murib. Murib mempertanyakan mengapa pemerintah pusat malah merespon permintaan pemekaran yang diajukan mantan bupati. “Yang konyo itu,” jelasnya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
MRP tanyakan solusi bagi 8 pengibar bendera Bintang Kejora yang ditahan polisi
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Ketua Kelompok Kerja Agama Majelis Rakyat Papua, Helena Hubi menanyakan apakah ada solusi selain pemidanaan bagi delapan orang pengibar bendera Bintang Kejora yang sedang ditahan polisi. Hubi mengingatkan, Presiden Abdurrahman Wahid sudah pernah mengizinkan bendera Bintang Kejora dikibarkan, namun kini orang yang mengibarkan bendera Bintang Kejora kembali dipidanakan. Hal itu dinyatakan Helena Hubi dalam Bimbingan Teknis bagi pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP yang berlangsung di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, pada Kamis (3/2/2022). Bimbingan Teknis pada Kamis itu membahas kebijakan kepolisian dalam merespon aspirasi terkait pemenuhan hak dasar Orang Asli Papua. Dalam sesi yang diampu Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Faizal Ramadhani itu, Hubi menanyakan perkembangan proses hukum terhadap delapan orang yang mengibarkan bendera Bintang Kejora di GOR Cenderawasih, Kota Jayapura, pada 1 Desember 2021. “Pada 1 Desember 2021, delapan mahasiswa ditahan karena mengibarkan bendera Bntang Kejora, sampai saat ini pun masih jadi tahanan Polda Papua,” kata Hubi. Baca juga: MRP: Minuman beralkohol dan Narkoba mesin pembunuh orang asli Papua Hubi menanyakan apakah polisi memiliki solusi selain pemidanaan bagi delapan orang yang mengibarkan bendera Bintang Kejora itu. “Ada tidak solusi bagi delapan mahasiswa itu? Karena, tanggal 1 Desember itu dihargai orang Papua sebagai hari kemerdekaan orang Papua,” jelasnya. Hubi juga mengingatkan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sudah pernah mengizinkan orang Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora. Ia bertanya apakah akan ada kebijakan untuk membebaskan delapan orang yang ditahan polisi itu. Baca juga: MRP gelar bimtek peningkatan kapasitas di Sentani “Gus Dur sudah mengizinkan [pengibaran] bendera Bintang Kejora ketika Orang Asli Papua merayakan hari kemerdekaan Tanah Papua. Bagaimana dengan delapan mahasiswa yang ditahan, ada kebijakan untuk membebaskan mereka?” Hubi bertanya. Komisaris Besar Faizal Ramadhani menyatakan hingga kini pihaknya masih menangani kasus pengibaran bendera Bintang Kejora oleh kedelapan orang itu. Namun ia menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memutuskan pembebasan delapan orang itu. “Terkait delapan orang pengibaran bendera Bintang Kejora itu, sudah dalam pemberkasan. Kami sedang melengkapi berkas tersebut. Terkait ada tidaknya jalan lain [selain pemidanaan] untuk delapan orang itu, kewenangannya ada di pimpinan kami,” kata Faizal.(*) Editor: Aryo Wisanggeni G
MRP: Minuman beralkohol dan Narkoba mesin pembunuh orang asli Papua
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi-Majelis Rakyat Papua (MRP) menggelar bimbingan teknis (Bimtek) bersama Polda Papua membahas tentang Kebijakan Kepolisian dalam merespon aspirasi terkait pemenuhan hak-hak dasar Orang Asli Papua OAP. “Presentasi dan program-program sangat luar biasa yang telah disampaikan, namun saya tidak dengar kalau ada singgung soal operasi minol (minuman beralkohol) dan obat-obatan terlarang,” kata Edison Tanati selaku anggota Pokja adat MRP, Rabu (3/2/2022) katanya, Minol dan obat-obatan terlarang merusak cara berpikir anak-anak muda sekarang. “Mesin pembunuh orang asli Papua itu, minol dan narkoba, saya lihat program sudah bagus cuman penekanan soal operasi minol dan obat-obatan terlarang ini yang tidak ada,” jelas Edison Minol dan obat-obatan terlarang ini tidak hanya menghancurkan kehidupan namun juga memiskinkan orang asli Papua . Helena Hubi ketua kelompok kerja Pokja agama Majelis Rakyat Papua MRP, mengatakan, minol merupakan musuh bersama yang harus diperangi. “Kami di MRP sudah mengeluarkan pernyataan nomor 14 dimana tidak boleh ada lagi yang menjual ada Minol di tanah Papua. Pihak Polda sebagai kantibmas, di jalan di tempat-tempat tertentu. Hampir setiap malam banyak yang menjual Minol dan minol. Ini merusak harapan anak-anak kami ke depan,” jelasnya Sementara itu, Direktur reserse kriminal umum (Direskrimum) Polda Papua, Kombes Dr.Faizal Ramadhani juga memaparkan beberapa bagian-bagian yang dilakukan oleh polisi kepada masyarakat di Papua. Dimana minol ini merupakan barang yang diawasi. “Jadi minol ini merupakan barang yang diawasi sehingga, minol ini masuk pada peraturan menteri (permen) dan peraturan daerah (perda) ,” ujar Faizal. Kata Faizal, pihaknya baru menyadari dimana di beberapa daerah ada peraturan daerah yang mengatur pelarangan penjualan Minol. “Kami baru menyadari bahwa di beberapa daerah itu ada peraturan pelarangan penjual minol. Yang menjadi pengaturan itu yang perlu diberi pemahaman , Minol ini bukan barang yang dilarang tapi barang yang diawasi, orang bisa di jual dengan regulasi tertentu. Peraturannya memang seperti itu,” jelasnya.(*) Editor: Syam Terrajana
MRP akan tanyakan alasan pemindahan rekening Kas Daerah Pemprov Papua
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Majelis Rakyat Papua atau MRP memasuki masa sidang pertama tahun 2022. MRP akan mendengarkan penjelasan terkait rencana pemindahan rekening Kas Daerah Pemerintah Provinsi Papua dari Bank Papua ke Bank Mandiri. “Jadwal kerja atau kelengkapan alat kerja melalui Kelompok Kerja Agama, Kelompok Kerja Perempuan, dan juga kelengkapan lain. Setelah itu MRP akan melakukan pelayanan terhadap masyarakat Orang Asli Papua pada tahun 2022,” kata Ketua MRP, Timotius Murib di Kota Jayapura, Rabu (26/1/2022). Menurut Murib, pihaknya akan meminta penjelasan terkait rencana pemindahan rekening Kas Daerah dari rekening Bank Papua ke Bank Mandiri.”Bank Papua dikelola khusus untuk kepentingan masyarakat Papua. Namun Kas daerah dari Bank Papua yang akan dipindahkan ke Bank Mandiri,” jelas Murib. Baca juga: MRP ajak masyakarat sambut Natal dengan tidak konsumsi minuman beralkohol Menurutnya, MRP ingin mengetahui alasan atau dasar untuk memindah rekening Kas Daerah itu. Ia menyatakan Bank Papua juga belum mengetahui mengapa rekening Kas Daerah dipindahkan ke Bank Mandiri. “Pihak bank BPD [Bank Papua] juga belum tahu apa penyebab Kas Daerah itu dipindahkan ke Bank Mandiri,” ucapnya. Menurutnya, Bank Papua adalah bank kebanggaan Orang Asli Papua. Menurutnya, Gubernur Papua juga kecewa dengan pengalihan rekening Kas Daerah ke Bank Mandiri itu. “Kalau ada masalah internal, segera introspeksi diri, agar bank itu dapat kembali baik. Pak Gubernur juga sedikit kecewa dengan pengalihan Kas Daerah ke Bank Mandiri. Jadi Bank Papua segera benahi diri,” jelas Murib. Baca juga: MRPB desak TNI Polri dan Imigrasi tertibkan aktivitas tambang ilegal di Wasirawi Distrik Masni Murib menyatakan pihaknya telah menanyakan masalah itu kepada Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Papua, namun belum mendapat jawaban. “MRP mengundang Gubernur Papua melalui Sekda untuk menjelaskan penyebab pindahnya Kas Daerah itu. Karena kondisi Gubernur yang baru pulang berobat, Sekda belum ada waktu untuk menjelaskan terkait perpindahan bank itu,” ujar Murib. Ia berharap kebijakan itu tidak memiliki muatan politis. “Jangan sampai ada muatan-muatan kepentingan, terutama itu [kepentingan] politik. Bank itu independen. Jangan sampai ada pejabat yang bermuatan politik. Bank Papua harus netral melayani masyakarat,” ujarnya. Pejabat Sementara Kepala Departemen Dana Desa Bank Papua, Robert Waroi mengatakan pihaknya juga tidak bisa memberikan alasan pemindahan rekening Kas Daerah itu, karena Bank Papua belum mengertahui penyebab pemindahan itu. “Kami tidak bisa kasih tahu kenapa bisa seperti itu. Anggota [MRP] tadi pertanyakan karena [mereka ada] rasa memiliki [Bank Papua],” ujar Robert.(*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Masyarakat keluhkan kondisi jalan Dermaga Yahim
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Jalan menuju Dermaga Yahim di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura rusak dan saat hujan kerap berlumpur, sehingga menyulitkan para pengendara dari dan menuju dermaga itu. Sejumlah warga telah berinisiatif membersihkan jalan itu, namun jalan itu kembali berlumpur ketika hujan. Jalan menuju Dermaga Yahim tidak beraspal, dan badan jalan yang kerap berlumpur membuat jalan berlubang. Pada Minggu (23/1/2022), sejumlah pemuda berinisiatif membersihkan lumpur dan menutup jalan yang berlubang. Silas Felle, salah satu warga yang membersihkan jalan itu, mengeluhkan tidak adanya perhatian Pemerintah Kabupaten Jayapura terhadap kondisi jalan itu. “Jalan itu ada di dalam kota, tapi tidak ada perhatian dari pemerintah secara serius. Yahim ini di dalam kota, setidaknya ada perhatian lah,” kata Silas Felle di Sentani pada Senin, (24/1/2022). Baca juga: Usai banjir, Dermaga Yahim penuh sampah Felle menyatakan Dermaga Yahim penting karena menjadi akses dari Sentani menuju berbagai kampung di bagian barat Danau Sentani. “Dermaga Yahim itu tempat di mana masyakarat Sentani tengah keluar-masuk, dari kampung ke kota dan dari kota ke kampung. Setidaknya jalan itu diperbaiki, cor semen begitu,” ujarnya. Felle berharap pemerintah dapat melihat pentingnya memperkeras jalan menuju Dermaga Yahim itu. “Pejabat-pejabat di kabupaten ini juga biasa lewat jalan itu, dan tentu pasti lihat kondisi jalan itu. Ya setidaknya ada tindakan dari apa yang dilihat, jangan hanya lewat saja,” jelasnya. Salah seorang pengunjung Dermaga Yahim, Fionita Pedai juga mengharapkan jalan itu segera diperkeras. “Jalan itu ada di dalam kota, tapi macam barang ada di luar kota, jauh di hutan sana begitu. Coba dinas terkait datang, perbaikilah jalan masuk-keluar Dermaga Yahim,” ucapnya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Jalan baru di dekat bandara jadi tempat warga membuang sampah
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Masyarakat di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, belum begitu sadar dalam menjaga kebersihan dan membuang sampah pada tempatnya. Banyak warga membuang sampah sembarangan di ruas jalan yang baru saja dibuka di ujung Bandara Internasional They H Eluay Sentani. Dari pantauan Jubi pada Jumat (21/1/2022), jalan yang baru difungsikan itu ramai dikunjungi warga yang berolahraga atau sekadar mencari angin sore. Akan tetapi, sampah berserakan di sana. Salah satu warga Sentani, Ernest menyayangkan jalan baru di dekat bandara itu baru dibuka, namun sampah terlihat di mana-mana. “Jalan itu baru dibuka, tapi seperti jalan yang sudah lama. Banyak sekali sampah di jalan itu, dibuang dengan kantong, karung, karton, banyak sekali,” kata Ernest saat ditemui di Sentani, Senin (24/1/2022) Baca juga: Usai banjir, Dermaga Yahim penuh sampah Ernest berharap dinas terkait memastikan warga tidak membuang sampah sembarangan di sana.”Buat pos pengamanan dan fungsikan masyarakat setempat untuk jaga [semua] yang masuk [ke jalan itu] tidak [membawa] sampah, baik [kendaraan] roda dua atau roda empat,” ucapnya. Jika tidak dicegah, Ernest khawatir ruas jalan baru itu akan bernasib sama dengan sejumlah tempat yang dijadikan warga tempat membuang sampah mereka. “Harus ambil tindakan dari sekarang, jangan tunggu sampah banyak dulu baru buat [tindakan]. [Banyak juga] sampah dibuang ke sungai yang bermuara ke danau Sentani,” keluh Ernest. Kepala Bidang Kebersihan Kabupaten Jayapura, Saverius Manangsang menyatakan pihaknya akan segera melakukan survey di ruas jalan baru dekat bandara itu. “Apabila di jalan alternatif itu terjadi penumpukan sampah, dan di situ ada permukiman warga, maka sesegera mungkin kita letakkan kontainer [sampah] di sana,” jelasnya. Manangsang mengimbah semua warga untuk tidak membuang sampah sembarangan, apalagi saat ini musim penghujan dan rawan membuat sampah terbawa ke mana-mana karena luapan air. “Sekarang musim penghujan, masyarakat perlu sadar dalam membuang sampah,” kata Manangsang. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Presiden GIDI minta jemaatnya jangan sibuk membawa-bawa proposal
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Presiden Gereja Injili di Indonesia atau GIDI, Pdt Dorman Wandikbo mengatakan umat Tuhan, khususnya jemaat GIDI, harus mandiri. Ia mengingatkan jemaat GIDI jangan sibuk membawa-bawa proposal permintaan bantuan dana dari pemerintah. Hal itu dinyatakan Pdt Dorman Wandikbo saat meresmikan Gereja GIDI Kanaan di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Papua, Jumat (21/1/2022). Ia mengapresiasi Jemaat GIDI di Kanaan yang mampu membangun gerejanya secara mandiri, tanpa mengemis bantuan dari pemerintah. “Jemaat GIDI Kanaan yang hari ini melakukan peresmian, ini merupakan satu kesaksian, di mana panitia tidak bawa-bawa proposal. Sejak saya jadi Presiden GIDI sampai hari ini, [saya] sudah larang jemaat GIDI dan pendeta GIDI bawa proposal ke bupati dan gubernur. Selalu saya larang. Hari ini, jemaat Kanaan bisa membuktikan tanpa proposal bisa memberi dan membangun,” Wandikbo dalam sambutannya, Jumat. Baca juga: Presiden GIDI Pemuda adalah kekuatan harapan dan harta karun yang tersembunyi Wandikbo meminta jemaat GIDI yang lain mengikuti contoh jemaat GIDI Kanaan, dan berani mandiri. “Jemaat GIDI jangan bergantung kepada proposal dan kepada siapa-siapa,” jelasnya. Ia menyatakan pengesahan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah mengubah besaran Dana Otonomi Khusus Papua. Wandikbo menyatakan sudah saatnya jemaat GIDI berhenti berharap mendapatkan kucuran dana pemerintah atau jemaat GIDI yang menjadi pejabat pemerintah. “Orang Papua miskin di atas miskin. Jangan berharap kenapa kader GIDI tidak datang sumbang. Ke depan, kita akan susah, jadi sekarang [kita] harus kembali buat kebun. Sudah cukup orang asli Papua bergantung [dan] minta-minta,” ujar Wandikbo. Salah satu anggota jemaat GIDI Kanaan, Denas Gelei mengatakan pembagunan gedung Gereja GIDI Kanaan mengandalkan Tuhan saja. “Kami tidak buat proposal dan bawa ke siapapun. Jemaat berdoa dengan menangis, melakukan sumbangan suka rela sehingga gedung ini dibangun dan hari ini resmikan. Kami selama menanti kapan akan ada peresmian, hari ini baru terlaksana,” kata Denas. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Banyak kendaraan berat membuat Jalan Trans Jayapura – Wamena sering rusak
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Para sopir mobil angkutan umum Jalan Trans Papua yang menghubungkan Jayapura dan Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, mengeluhkan banyaknya kendaraan dengan berat angkutan melebihi tonase atau kekuatan badan jalan. Akibatnya, badan Jalan Trans Jayapura – Wamena sering rusak. Dari pantauan Jubi pada 17 – 18 Januari 2022 lalu, pengerasan dan pengaspalan sejumlah ruas Jalan Trans Papua yang menghubungkan Jayapura – Wamena tengah berlangsung. Aspal sejumlah ruas jalan telah terkelupas, sehingga lembek ketika basah. Jalan Trans Jayapura – Wamena dilalui banyak kendaraan, termasuk kendaraan berdaya angkut besar yang membawa banyak angkutan. Para sopir angkutan Jalan Trans Jayapura – Wamena berdaya angkut sekitar 1 ton mengeluhkan banyaknya kendaraan berdaya angkut besar yang membuat badan jalan berlumpur dan rusak. Baca juga: Anggota DPRD Kabupaten Jayapura ingatkan janji pemerintah soal jalan Depapre Para sopir kendaraan kecil itu juga mengeluhkan truk yang membawa muatan melebihi tonase jalan, sehingga sejumlah beberapa jembatan rusak. “Jalan ini mau baik bagaimana, kalau truk bawa barang melebihi kapasitas. Ya jelas jembatan tidak mampu bertahan lama, dan aspal jalan yang diperbaiki akan rusak kembali,” kata Defris Kogoya, salah satu pengguna jalan Trans Jayapura – Wamena, Kamis (20/1/2022). Defris menyatakan harus ada aturan yang tegas untuk membatasi beban angkutan kendaraan di Jalan Trans Jayapura – Wamena tidak melebihi tonase jalan. “Maksudnya agar jalan itu baik. Kalau baik itu enak dilintasi oleh semua kendaraan. Kalau ada aspal ketemu jalan lobang, aspal lagi, ya lama-lama rusak juga,” ucapnya. Defris juga mengusulkan ada jembatan timbang untuk memastikan bobot angkutan setiap kendaraan tidak melebihi tonase jalan. “Dinas Perhubunganl, kalau bisa ada timbangan truk dan kendaraan lain, agar jalan ini dilalui sesuai dengan kondisi jalan, bukan angkat banyak-banyak barang mereka,” jelasnya. Salah satu warga, Pello Kogoya mengatakan jika bobot angkutan kendaraan tidak dibatasi, sampai kapan pun jalan akan tetap rusak. “Yang bawa truk itu harus ditegur. Jangan seenaknya saja bawa begitu,” ujar Pello. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Warga keluhkan air bendungan Kali Kemiri yang meluber
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Masyarakat yang bermukim di sekitar Kali Kemiri mengeluhkan bendungan yang meluber saat terjadi hujan deras pada Kamis dan Jumat (7/1/2022) pekan lalu. Air Kali Kemiri yang meluber dari bendungan itu menggenangi rumah warga yang berada di sekitar bendungan. Bendungan di Kali Kemiri dibangun untuk menahan laju air Kali Kemiri yang berhilir ke arah Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Papua. Akan tetapi, salah satu warga yang bermukim di sekitar Kali Kemiri, Letty Murib mengaku khawatir dengan kondisi bendungan pasca hujan deras yang terjadi Kamis dan Jumat pekan lalu. Baca juga: Akibat banjir pedagang beras di Pasar Youtefa rugi ratusan juta “Kemarin hujan deras itu, air sampai naik ke arah rumah. “Tanah yang ada di samping bendungan sudah lepas-lepas. Kalau hujan dan banjir lagi, berarti selesai sudah, air tidak lewat [ke arah Sentani], tapi masuk ke perumahan warga [yang berada di sekitar bendungan],” kata Murib. Murib mengkritik bendungan itu dirancang tanpa memperhitungkan keselamatan masyarakat di sekitar bendungan. “Harusnya itu mereka [yang merancang] bertanya [dulu dengan] orang-orang di sekitar yang tahu air kalau hujan dan banjir seperti apa,” ucap Murib. Secara terpisah, warga yang bermukim di sekitar Kali Toladan, Tani Yoman menyatakan ia terus mewaspadai risiko banjir saat terjadi hujan lebat. “Kali Toladan di atas itu sudah terlihat rata. Kami [pada] tahun 2020 [pernah] naik lihat kondisi [Kali Toladan di hulu], memang tidak bagus. Pohon besar tumbang dan tertidur [bertumpukan] di kali begitu saja,” ucapnya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Barang rusak akibat banjir diperjual belikan di pasar Youtefa
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi– Banyak masyakarat yang berdatangan ke Pasar Youtefa, membeli berbagai macam barang yang rusak akibat terendam banjir. Dari pantauan Jubi, masyakarat yang datang mulai ramai dari pagi hari hingga sore hari. Barang yang dijual macam-macam; pakaian, beras basah, alat elektronik dan lainnya. Masyakarat yang datang baik dari sekitar Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura. Lina Tabuni salah satu pembeli, mengaku datang ke pasar Youtefa untuk yang ketiga kalinya. ” Saya datang pertama itu cari beras yang basah untuk (pakan) ternak. Hari kedua cari pakaian yang murah-murah dan ketiga ini lihat-lihat adakah yang bisa saya beli untuk bawa pulang seperti perabotan rumah,” kata warga Waena itu kepada Jubi Rabu (12/1/2022) Baca juga: Larangan makan pinang di Pasar Youtefa Mosir pembeli lainnya mengaku awalnya dia hanya mengantar temannya berbelanja di Pasar Youtefa. Dia lantas tergiur membeli setelah tahu ada perangkat pengeras suara bekas banjir yang dijual murah. “Harga aslinya 1,5 juta, tapi hanya dijual 500 ribu rupiah,” jelasnya. Saking penasarannya, pada hari berikutnya ia datang lagi. “Besoknya itu saya datang cari beras basah, syukur ada jadi saya ambil tiga karung untuk makanan ternak, selain itu saya cari pakaian yang murah-murah juga,” ujar Mosir. Meski demikian dia mengaku prihatin, banjir telah menyebabkan kerugian besar terhadap masyarakat kecil. Sehingga mereka terpaksa menjual barang-barangnya dengan harga murah. (*) Editor: Syam Terrajana
Dialog Papua itu bukan bagi-bagi sembako atau makanan
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Pendeta Zebu Miagoni dari Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua menyatakan konflik bersenjata di Papua harus diselesaikan dengan dialog yang serius dan membahas akar masalah Papua. Pendeta Zebu Miagoni menegaskan pemerintah tidak bisa mengklaim sudah melakukan dialog hanya karena pemerintah sudah membagikan sembako atau makanan bagi pengungsi. Pendeta Zebu Miagoni menyatakan konflik bersenjata di Kabupaten Intan Jaya telah berdampak luas terhadap warga sipil di sana. Selain melumpuhkan pelayanan publik di sana, konflik bersenjata antara TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) itu juga menimbulkan korban dari kalangan warga sipil. “Fasilitas pemerintah, perkantoran, dan fasilitas lainnya di Kabupaten Intan Jaya digunakan oleh TNI/Polri. TPNPB, mereka [bergerilya dan] tipu-tipu ganggu TNI/Polri. Tapi justru yang ditembak itu masyakarat yang tidak tahu apa-apa, [bahkan] anak kecil. Itu yang terjadi, sehingga terjadi pengungsian,” kata Miagoni kepada Jubi, Selasa (11/1/2022). Baca juga: Mahasiswa berharap para pihak unjuk peduli terhadap pengungsi Intan Jaya Menurutnya, konflik bersenjata yang berkepanjangan di Intan Jaya telah membuat warga sipil mengungsi dari kampung halamannya. Sebagian warga sipil bahkan sampai mengungsi ke sejumlah kabupaten tetangga. “Karena takut, masyakarat mengungsi sampai Omeo, Wandae dan daerah lain. Itu terjadi sampai hari ini. Masyakarat mengungsi [dan meminta perlindungan dari tokoh agama seperti] pastor, namun pastor juga mengatakan [warga sipil] untuk mencari tempat aman, karena pastor juga manusia,” jelas Miagoni. Ia mengecam keras sejumlah upaya memutarbalikkan fakta dengan menyatakan warga sipil yang terbunuh aparat keamanan adalah anggota TPNPB. “Aparat keamanan bunuh masyakarat biasa, lalu mereka menaruh senjata, parang, amunisi, bendera Bintang Kejora, jadi seakan masyakarat biasa yang mereka bunuh itu TPNPB. Itu hanya rekayasa,” kata Miagoni. Miagoni menegaskan konflik bersenjata di Papua harus diselesaikan dengan cara orang asli Papua menyelesaikan konflik, yaitu dengan berdialog. “Untuk selesaikan konflik itu, seperti budaya kita orang Papua, dalam menyelesaikan satu masalah, ada orang-orang tertentu [yang bertemu dan berdialog], seperti kepala desa [misalnya]. Dialog itu hal yang biasa, agar kita juga bisa hidup aman. TNI/Polri juga manusia, agar bisa hidup baik, jadi [bisa berdialog]. Seperti begitu yang masyarakat berharap sampai hari ini,” ujar Miagoni. Meskipun demikian, Miagoni juga mengkritik klaim pemerintah yang menyatakan mereka sudah berdialog dengan para pemangku kepentingan konflik Papua. “Dialog itu bukan soal minta beras dan minta uang. Dialog itu bukan soal makan dan minum. [Jika pemerintah seperti itu terus], itu sama seperti orang sakit kepala dikasih obat sakit perut. Dialog itu harapan kami, masyakarat, [agar] orang yang berpendidikan di negara Indonesia dan orang Papua yang berpendidikan duduk sama-sama dan cari solusinya,” ucapnya. Baca juga: Hasil penjualan album musik jadi donasi untuk pengungsi Intan Jaya Sebelumnya, dalam keterangan pers kelompok mahasiswa yang berbondong-bondong pulang ke Papua pasca insiden rasisme yang terjadi di Surabaya pada 16 Agustus 2019—atau “mahasiswa eksodus”— pada Kamis (6/1/2022), aktivis Hak Asasi Manusia Haris Azhar menyatakan upaya untuk menuntut penyelesaian konflik bersenjata di Papua tidak bisa dilakukan hanya dengan demonstrasi. Ia mengajak para pemangku kepentingan konflik Papua untuk mencari cara lain guna memaksa pemerintah mencari solusi damai atas konflik bersenjata di Papua. “Beberapa bulan lalu, [sejumlah organisasi masyarakat sipil] sudah membuat pernyataan menolak eksploitasi Blok Wabu di Intan Jaya. [Kami] bikin surat resmi dan kumpulkan beberapa [tokoh] masyakarat, berangkat ke Jakarta serahkan surat resmi. Siapa yang rela kampungnya dikorek-korek. [Tantangannya, bagaimana mencari cara] menolak dengan kongkrit,” kata Haris. Haris menyatakan upaya mengakhiri konflik bersenjata juga bisa dilakukan dengan membangun solidaritas di antara sesama warga negara. Solidaritas di antara sesama warga menjadi penting ketika Negara tidak menunjukkan upaya penyelesaian konflik. “Kalau negara tidak bisa memfasilitasi hak-hak kita, maka kita harus bergerak sendiri. Itu yang di sebut solidaritas,” ujar Haris. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Usai banjir, Dermaga Yahim penuh sampah
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Banjir yang melanda sejumlah daerah di Kabupaten Jayapura, Papua, pada Kamis dan Jumat (7/1/2022) pekan lalu berdampak terhadap Danau Sentani yang menjadi muara sejumlah sungai di sana. Selain membuat muka air Danau Sentani naik, banjir itu juga membawa beragam jenis sampah, dan sampah itu memenuhi perairan di sekitar Dermaga Yahim. Dari pantauan Jubi pada Selasa (11/1/2022), perairan Dermaga Yahim di Danau Sentani dipenuhi dengan sampah yang terbawa banjir pekan lalu. Naiknya muka air Danau Sentani juga membuat dermaga itu tergenangi air. Obet Felle, salah seorang warga masyarakat Danau Sentani mengatakan hujan deras yang terjadi pada Kamis pekan lalu sempat membuat warga panik. “Malam itu tidak hanya hujan, tapi petir dan angin. Jadi kami malam itu was-was juga, berjaga-jaga jangan sampai terjadi banjir,” kata Felle saat ditemui Jubi di Sentani, Selasa. Baca juga: Muka air Danau Sentani naik, Pemkab Jayapura tetapkan siaga darurat Felle menyatakan hingga Selasa tinggi muka air Danau Sentani belum juga surut, dan menggenangi dermaga yang juga menjadi tempat sejumlah pedagang berjualan. “Air masih ada itu, jadi masyarakat dorang jualan di atas meja, di bawah meja ada air. Tidak tahu kapan [muka air Danau Sentani] akan surut,” ujarnya. Felle menyatakan banyaknya sampah yang memenuhi Dermaga Yahim merupakan sampah dari Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, dan terbawa banjir. “Masyakarat di kota banyak yang tidak sadar dalam buang sampah. Baru sekarang Danau Sentani banyak sampah, dulu tidak ada sampah seperti itu. Coba masyarakat di kota itu, kamu sadar kah! Kami ini gunakan air untuk mencuci dan mandi, mencari ikan di danau. Karena banyak sampah, air sudah tercemar,” ucapnya. Baca juga: Warga Sentani masih trauma banjir, minta pemerintah lakukan langkah tepat Felle menyatakan masalah sampah di Danau Sentani hanya bisa diselesaikan jika ada kesadaran dari warga yang tinggal di luar kawasan Danau Sentani. “Mau bilang bagaimana e, saya juga bingung. Sudah banyak imbauan untuk tidak buang sampah, tapi tetap ada saja yang buang [sampah]. Jika dibiarkan, tiga sampai lima tahun ke depan Danau Sentani akan penuh sampah,” jelas Felle. Warga lainnya, Mama Haryanti mengatakan ia sedih melihat kondisi danau yang makin banyak sampah. “Kalau air [danau] naik, pasti sampah di Dermaga Yahim banyak. Saya heran orang-orang yang tinggal di Sentani itu, seperti tidak punya hati buang sampah seenaknya saja ke kali. Saya lahir dan besar di Sentani, jadi saya tahu persis Danau Sentani yang dulu sepeti apa, dan sekarang seperti apa,” ucapnya. Ia menyatakan pemerintah daerah harus tegas menegakkan aturan tentang pembuangan sampah. “Jangan tunggu terjadi [masalah] dulu. [Itu] harus dibicarakan ke warga Sentani. Apakah kita mau lihat Danau Sentani besok penuh dengan sampah dan air danau meluap naik? Tidak toh,” jelas Haryanti. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Banjir di Kali Bak Makanuay bawa lumpur, kayu, dan bebatuan
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Curah hujan ekstrem dan banjir yang terjadi di sejumlah lokasi di Kabupaten Jayapura pada Kamis (6/1/2022) merusak tempat permandian Kali Bak Makanuay di Kampung Harapan, Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Papua. Banjir membuat bak pemandian mendapat kiriman tanah berlumpur, bebatuan, dan kayu. Dari pantauan Jubi pada Senin (10/1/2022), sejumlah pondok di lokasi wisata itu rusak. Selain itu, sejumlah jalan setapak juga tertimbun tanah dan lumpur yang terbawa banjir. Victor Suangburaro, pengelola Kali Bak Makanuay mengatakan banjir pada pekan lalu itu memang merusak sejumlah fasilitas seperti bak pemandian dan pondok. “Banjir itu dari atas, [airnya] turun dengan kencang j[membawa] material bebatuan dan kayu sehingga merusak satu pondok, merusak jalan. Di bak banyak lumpur dan pasir,” kata Victor kepada Jubi pada Senin. Menurutnya, biaya perbaikan fasilitas di lokasi wisata itu cukup mahal. “Kerusakan itu bisa [menelan biaya perbaikan] Rp20 juta – Rp30 juta,” ujarnya. Meski sejumlah fasilitas rusak dan kondisi tempat wisata itu kotor karena lumpur dan material bebatuan, Kali Bak Makanuay tetap ramai pengunjung. “Tempat memang dirusak banjir, tapi pengunjung masih ada yang datang mandi-mandi dan berendam,” jelasnya. Esther salah satu pegunjung Kali Bak Makanuay mengaku sudah tahu jika lokasi wisata itu rusak karena diterjang banjir pada pekan lalu. “Saya sudah tahu dari video dan foto yang beredar, tapi saya sempatkan diri datang melihat [dan] mandi,” ucapnya. Ia mengaku senang mandi di sana karena air pemandian yang sejuk. “Airnya sejuk, jernih, jadi enak kalo mandi-mandi. Akan tetapi, saya mandi juga dengan takut-takut,” ujarnya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Warga Sentani masih trauma banjir, minta pemerintah lakukan langkah tepat
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi– Isack, salah seorang masyarakat Kota Sentani, mengaku sempat khawatir dengan hujan dan petir yang menyebabkan banjir dan longsor di banyak tempat pada Kamis malam hingga Jumat subuh (6-7/1/2022). “Rasa trauma banjir 16 Maret itu masih ada, jadi saya tidak tidur, jaga-jaga karena curah hujan tidak normal, kadang kencang kadang reda, ditambah lagi jaringan telepon yang kurang bagus dan lampu yang padam,” katanya kepada Jubi, Jumat (7/1/2022) Warga Sentani itu berharap ada langkah-langkah yang harus dilakukan oleh dinas terkait. “Dinas bersangkutan buat tenda darurat dimana yang aman agar ketika terjadi curah hujan yang tinggi, semua masyakarat bisa ada di sana, jangan sudah terjadi baru mau bertindak, seperti malam saya ada lihat salah satu ibu hamil tua minta tolong karena air sudah naik, nah di sini tim SAR juga harus ekstra siap di titik-titik tertentu,” jelas isack. “Dari dinas terkait harus kasih tahu melalui apa saja dengan cara apa saja agar informasi itu tersampaikan, bilang masyakarat, hujan dalam beberapa waktu akan turun deras jadi waspada, dengan begitu kita mengurangi korban jika banjir datang lagi,” ucapnya. Di tempat yang terpisah, Mia Tabuni warga Toladan mengatakan, sempat mengungsikan diri, dimana tempat kejadian banjir bandang Sentani 16 Maret 2019 lalu. “Jam 10 malam dengar begini sudah bunyi air dan batu lain akhirnya kami pindah ke rumah depan jalan, Kami sudah keluar baru air masuk, air masuk tapi tidak merusak apa-apa di dalam, cuma masuk di mama punya kamar saja,” jelas Mia. Kata Mia, ia bertahan di tempat dimana kejadian 16 Maret 2019 terjadi, karena tidak punya tempat tinggal yang lain lagi. “Dari kejadian banjir bandang 16 Maret 2019, kami tidak ada tempat tinggal, pemerintah janji kami sampai lama, kami perbaiki rumah lama untuk tinggal sementara waktu, kami mau bangun pakai apa, saya punya bapa sudah meninggal, mama ada dan saya punya adik-adik ada tiga orang,” ucap Tabuni. Dampak dari hujan pada Kamis malam hingga subuh pada Jumat (6-7/1/2022) mengakibatkan beberapa ruas jalan tertutup material yang longsor. Dari pantauan Jubi pada Jumat 7/1/2022 , daerah yang rawan banjir seperti di depan sosial Sentani, Kali Ular Doyo terlihat normal. Sedangkan di samping SMPN 2 Sentani, material yang turun membuat aktivitas kendaraan roda dua dan empat melambat. Sedangkan di samping SMKN Sentani, material yang turun dari tempat galian C, mengakibatkan macet sehingga polisi turun untuk melakukan pembersihan material. Untuk arus kali samping Hotel Tahara, Kali Warno terlihat mengalir normal, sedang di Kali Pojok/ Kali Toladan, air sangat deras dengan membawa material kayu dan bebatuan.(*) Editor: Syam Terrajana
ini penyebab Stadion Lukas Enembe terendam air
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani Jubi – Hujan deras yang menerpa Kota dan Kabupaten Jayapura Kamis malam lalu, juga menyebabkan Sungai Makanuay di Kampung Harapan Sentani, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura meluap. Akibatnya, Kompleks Olahraga Stadion Lukas Enembe tergenang air, Dari pantauan Jubi pada Jumat (7/1/2022), air masuk ke Kompleks Stadion Lukas Enembe hingga setinggi betis orang dewasa, Tidak hanya air, material seperti pasir, lumpur dan juga kayu-kayu kecil juga ikut terbawa banjir. Victor Suangburaro, petugas kebersihan di Kompleks Olahraga Stadion Lukas Enembe mengatakan Sungai Makanuay, terakhir kali meluap pada saat banjir bandang tahun 2019 lalu. “Jadi sekarang ini baru sifat aslinya dia [sungai] keluarkan, karena terjadi penyempitan di drainase,” kata Suangburaro. Ia menilai sempitnya drainase yang dibuat di sekitar kompleks olahraga itu, menjadi penyebab tergenangnya air di halaman dan di Istora Lukas Enembe yang letaknya paling dekat dengan sungai. “Drainase yang dibuat waktunya pengerjaan stadion ini kecil, sehingga tidak menjamin [tidak ada banjir]. Seharusnya tidak boleh ada penyempitan [drainase] dan juga drainase harus tinggi dan lebar hingga ke [saluran] jalan raya,” jelas Suangburaro. Baca Juga: Peresmian Stadion Lukas Enembe, sajikan laga Persipura vs Tim PON Papua Kawasan Stadion Lukas Enembe tergenang air Suangburaro yang merupakan warga di sekitar stadion Lukas Enembe mengatakan saat pengerjaan drainase, pengembang tidak pernah melibatkan masyarakat sekitar yang memiliki pengalaman tinggal di sekitar Sungai Makanuay. Sungai ini cukup lebar, namun sehari hari dalam keadaan kering. namun pada saat tertentu, Sungai Makanuay dapat meluap, seperti yang terjadi kemarin. “Harusnya mereka saat kerja itu, tanya masyarakat, karena masyarakat yang tahu persis seperti apa sungai ini. Waktu pengerjaan stadion ini masyarakat sudah sampaikan [drainase harus diperlebar], tapi tidak didengar. Mungkin dorang [mereka] pikir Sungai kecil dan sudah kering begitu,” ujarnya. Di tempat yang terpisah Alex Puraro selaku Koordinator Keamanan Istora Lukas Enembe mengatakan karena kondisi Istora yang rendah, sehingga air yang mengalir kemudian menggenangi Istora. “Malam itu air banyak sekali namun sudah siang air sudah surut. Saat air masuk, kami matikan semua panel [listrik] yang ada di stadion agar tidak terjadi korsleting. Dari malam teman-teman sudah mulai kerja sampai jam enam pagi pulang, dan jam tujuh balik kerja lagi,” jelasnya. Kata Alex, di dalam ruang Istora ini masih ada beberapa barang yang digunakan saat PON XX, misalnya karpet dan matras sehingga membutuhkan tenaga dan waktu untuk mengangkut. “Di Istora ini yang memang kita akan kerja berat, karena di ruang pemanasan itu masih ada karpet bekas PON XX kemarin. Alat senam masih ada di dalam semua, dan kita butuh banyak tenaga untuk angkat peralatan yang ada di dalam,” jelas Puraro.(*) Editor: Syam Terrajana
Persoalan rasisme diabaikan, mahasiswa eksodus enggan kembali ke kota studi
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Para mahasiswa yang berbondong-bondong pulang ke Papua pasca insiden rasisme yang terjadi di Surabaya pada 16 Agustus 2019—atau “mahasiswa eksodus”—menilai hingga kini pemerintah Indonesia tidak berupaya menghapuskan praktik rasisme terhadap orang asli Papua. Hal itu membuat para mahasiswa eksodus enggan melanjutkan kuliahnya di berbagai kota studi di luar Papua. Hal itu dinyatakan dalam keterangan pers pernyataan sikap mahasiswa eksodus yang disampaikan di Kota Jayapura, Kamis (6/1/2022). Badan Penggurus Posko Umum Exodus Pelajar dan Mahasiswa Papua se-Indonesia Korban Rasisme, Awi Pahabol menyatakan pemerintah justru menghukum para mahasiswa dan aktivis Papua yang menjadi korban rasisme, dan membiarkan praktik rasisme terus berlangsung. “Pandangan rasis bukan sekedar sentimen anti suatu etnis, melainkan paham atau keyakinan bahwa ras suatu bangsa lebih unggul dari pada bangsa lain. Dengan pandangan itu, bangsa yang kuat [atau merasa superior] melalukan perampasan wilayah secara paksa, dengan kekuatan militer melakukan pemusnahan ras atau etnis suatu bangsa yang dianggap bukan manusia, lemah atau lebih rendah dan terbelakang. Secara ekonomi dan politik, bangsa yang superior akan sangat rasis untuk menindas bangsa inferior,” kata Pahabol. Baca juga: PBB ingatkan Indonesia terkait penahanan Victor Yeimo Pahabol menyatakan diskriminasi rasial di Indonesia itu telah termanifestasi dalam praktik bernegara, sehingga Negara telah menjadi alat kekuasaan yang ampuh untuk melakukan penjajahan. Ia menyatakan pandangan rasis terhadap orang Papua sudah tertanam dalam pikiran para pendiri negara sejak mereka berupaya merebut wilayah Papua Barat dari tangan Belanda. “Pandangan itu didukung kepentingan [eksploitasi] tambang emas di Papua oleh kapitalis Amerika. Kedua kekuatan itu berpandangan bahwa pola hidup dan pola pikir orang Papua terbelakan dan primitif. Implikasinya, muncul sentimen dan prasangka rasial dalam setiap tindakan politik dan militer di Papua Barat,” jelasnya. Rasisme terhadap orang asli Papua telah menjadi faktor utama pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida terhadap orang Papua. “Berintegarasi ke dalam Indonesia secara paksa dimulai tahun 1961. Masyarakat Papua mengenal wajah Indonesia secara nyata dalam kekerasan dan diskriminasi rasial, dilakukan dengan operasi militer tahun 1969-2000, hingga kekerasan dan pelanggara Hak Asasi Manusia pada masa Otonomi Khusus,” kata Pahabol. Baca juga: Rakyat Papua akan terus melawan praktik rasisme Rakyat Papua pun mengalami berbagai bentuk kekerasan rasial. “Rakyat Papua mengalami berbagai bentuk kekerasan rasial berupa pembunuhan, penculikan, penyiksaan, pemerkosaan dan dikriminasi gender, intimidasi, pembungkaman, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, dan diskriminasi rasial. Bangsa Papua telah lama mengalami perlakuan rasis secara politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, penegakan hukum yang diskriminatif, dan pembungkaman ruang demokrasi,” tutur Pahabol. Ia menegaskan cara pemerintah menangani insiden rasisme di Surabaya dan Malang pada 2019 justru menunjukkan adanya praktik diskriminasi penegakan hukum terhadap orang asli Papua. Banyak orang yang bersuara memprotes insiden rasisme di Surabaya dan Malang namun justru dijadikan tersangka makar, melawan penguasa, dan dipenjarakan. “Masyarakat Papua diperlakukan berbeda di hadapan hukum. Ada 57 orang Papua dikriminalisasi, ditangkap dan ditahan di berbagai penjara Indonesia. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, pembubaran [demonstrasi] secara paksa disertai dengan kekerasan, ujaran-ujaran rasis yang merendahkan harkat dan martabat, penghinaan adat istiadat dan identitas orang Papua. [Di Papua] dibentuk milisi-milisi berdasarkan etnis dan ras, dan di luar Papua [orang asli Papua] diperhadapkan dengan ujaran rasis,” kata Pahabol. Baca juga: Gustav Kawer sebut demokrasi mati dan rasisme merajalela Alih-alih melakukan upaya serius untuk menghapuskan praktik rasisme, pemerintah dinilai justru lebih sibuk berupaya memisahkan persoalan rasisme terhadap orang asli Papua dari isu politik Papua. Pahabol juga menilai para pelaku ujaran rasisme di Surabaya justru dihukum ringan, sementara para mahasiswa dan aktivis Papua yang memrpotes rasisme justru dihukum lebih berat. Ketika unjuk rasa memprotes insiden rasisme di Surabaya meluas di berbagai wilayah di Tanah Papua, Presiden Joko Widodo justru memilih menambah pasukan TNI/Polri di Papua. “Pemerintah juga melakukan kekerasan dengan membatasi ruang gerak demokrasi, menutup jalur komunikasi dan jaringan internet di sebagian besar wilayah Papua sejak tanggal 21 Agustus 2019. Hal ini mencerminkan pendekatan negara yang represif, masif, dan militeristik dalam menyikapi tuntutan rakyat Papua atas ketidakadilan yang terjadi di Papua,” kata Pahabol. Ia menjelaskan insiden rasisme di Surabaya serta cara pemerintah merespon insiden itulah yang memicu ribuan mahasiswa asal Papua yang berkuliah di luar Papua untuk pulang. Mereka tidak lagi merasa nyaman melanjutkan pendidikan mereka di luar Papua. Pahabol menyatakan ada sekitar 6.000 mahasiswa yang tengah menumpuh pendidikan di berbagai kota studi di luar Papua yang memilih pulang pasca insiden rasisme di Surabaya. Baca juga: Menginjak kepala dan pandemi rasisme yang belum berujung “Di balik [itu semua], [penyebab] eksodus itu tidak lepas dari adanya tindakan teror dan intimidasi yang dirasakan, ketidaknyamanan [kami muncul] setiap [terjadi] pergolakan di Papua dalam bentuk aksi besar. Maklumat Majelis Rakyat Papua dan tanggapan Gubernur Papua [saat itu menyatakan jika] pelajar dan mahasiswa Papua di luar Papua tidak merasa aman di kota studi masing-masing, agar segera balik ke Papua. Setelah di Papua, mahasiswa eksodus melakukan aksi protes bersama mahasiswa di Papua dan masyarakat Papua untuk melawan ketidakadilan terhadap manusia Papua. Sampai saat ini, mahasiswa eksodus yang masih bertahan adalah murni korban perlakuan teror dan intimidasi di seluruh kota studi, dan bagian dari penangkapan enam aktivis mahasiswa Papua di Jakarta,” kata Pahabol. Salah satu unjuk rasa anti rasisme dilakukan para mahasiswa eksodus di Kota Jayapura pada 23 September 2019. Pahabol menyatakan polisi membubarkan paksa para mahasiswa eksodus yang ada di Expo Waena, hingga empat orang mahasiswa tertembak. “Gubernur Papua, DPR Papua dan MRP segera mengusut tuntas empat korban massa aksi [mahasiswa eksodus] di Expo Waena pada 23 September 2019, empat korban jiwa meninggal dunia, atas nama Otier Wenda, Yeri Murib, Azon Mujijau,dan Yermanus Wesareak. Tidak kurang dari 700-an massa aksi mengalami kekerasan fisik oleh aparat keamanan. Kasus tersebut merupakan tindakan pelanggaran HAM berat yang harus diselesaikan secara adil lewat jalur hukum yang berlaku di Indonesia,” kata Pahabol. Baca juga: Yan Mandenas: Insiden Merauke, berindikasi melanggengkan rasisme Aktivis Hak Asasi Manusia, Haris Azhar yang turut hadir dalam keterangan pers itu menyatakan tidak ada yang berubah dalam cara penanganan masalah Papua pasca insiden rasial di Surabaya dan Malang pada 2019. Praktik kekerasan di Papua masih sama dan punya relasi yang kuat dengan kepentingan bisnis di Papua. “Praktik kekerasan itu memang disengaja untuk menciptakan [rasa] frustrasi dan ketakutan
Di tempat lain jalan sudah bagus, jalur Sentani -Depapre kapan?
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi- Dalam kegiatan pesta anak tanah yang diselenggarakan di Amay, Kabupaten Jayapura, Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw dalam sambutannya juga membicarakan akses jalan Sentani -Depapre yang sudah lama rusak hingga saat ini. “Pemerintah daerah sudah delapan tahun melakukan komunikasi mengenai jalan ini, karena ini jalan provinsi. Jalan dari kabupaten ke kabupaten itu jalan nasional, dan jalan dari distrik ke distrik itu jalan provinsi, sedangkan dan distrik ke kampung itu jalan kabupaten. Hal ini berlaku di seluruh Indonesia,” katanya. Selasa (4/1/2022) lalu. Kata Mahtius, dengan adanya tol laut, maka akses jalan juga menjadi hal paling utama.”Karena tol laut masuk jadi kita minta meminta pemerintah pusat untuk mengambil alih jalur jalan ini karena sudah terlalu lama tidak dikerjakan sampai tuntas,” katanya. Baca juga: Jalan Depapre, jalan sejarah yang memakan korban Bupati Jayapura kembali pertanyakan jalan utama Sentani-Depapre Katanya lagi, dalam proses pengerjaan jalan Sentani -Depapre ini, memang pernah terseret kasus, namun pihak PU Provinsi Papua pernah diproses hukum. “Alasan provinsi tidak bisa di lanjutkan karena ada proses hukum. sebenarnya kasus sudah lama selesai, kita cari data di KPK dan MK hingga di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, masalah hukum pengerjaan jalan oleh pemerintah Provinsi Papua sudah selesai. Jadi tidak ada alasan untuk tidak dikerjakan,” tutur Awoitauw. “Jalan di tempat lain itu licin (bagus) sekali. Padahal dengan adanya akses jalan yang baik akan menekan harga ekonomi, apalagi tol laut dapat subsidi negara dan sangat besar, dari pelabuhan ini akan mendiribusi ke daerah-daerah yang ada di Papua ini, tapi kalau jalan belum jadi itu biaya tinggi. Kita paksa tol laut ada di sini agar pemerintah bisa lihat jalan ini dan segera dikerjakan,” ujar Awoitauw. Sementara itu Hendrik Ceper, salah seorang masyakarat penggunaan jalan Sentani -Depapre, mengaku kesal dengan kondisi jalan yang rusak bertahun-tahun. “Pejabat mereka juga sering jalan bolak balik jalan Sentani -Depapre ini tapi dong mata buta ka atau mereka jalan di atas udara ka, masak jalan rusak parah begini tidak diperhatikan, jalan indah ada dekat dengan kota, bukan ada di hutan-hutan yang tersembunyi sana,” ucapnya. Kata Hendrik, masyakarat Depapre juga punya hasil bumi yang kaya, baik laut dan darat yang dibawa menggunakan jalan darat ke pasar sentral. “Jalan seperti ini bagaimana mau cepat ke pasar, pemerintah harus bikin jalan bagus agar semua akses baik dari pelabuhan dan masyarakat yang bawa hasil bumi itu berjalan normal,” tuturnya.(*) Editor: Syam Terrajana
Pengunjung Pemandian Kali Bak Makanuay melonjak, sampah bertambah
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Lonjakan pengunjung di Pemandian Kali Bak Makanuay di Kampung Harapan membuat sampah di pemandian itu bertambah. Sebagian pengunjung belum memiliki kesadaran untuk membuang sampah di tempatnya, sehingga tempat wisata itu menjadi kotor. Selama musim liburan Natal dan Tahun Baru 2022, jumlah pengunjung di Pemandian Kali Bak Makanuay bertambah banyak. Para wisatawan dari Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura senang menikmati kesegaran air pemandian yang bersumber dari mata air Pegunungan Cycloop, serta pemandangan hutan cemara di sana. Akan tetapi, lonjakan jumlah pengunjung Pemandian Kali Bak Makanuay juga membuat sampah bertambah banyak dan berserakan di sana. Dari pantauan Jubi [ada Sabtu dan Senin (3/1/2022), sampah seperti kantong plastik, botol air mineral, popok, pembalut, dan saset plastik kemasan sampo bertebaran di pemandian itu. Baca juga: Liburan tahun baru, Pemandian Kali Bak Makanuay ramai pengunjung Salah satu petugas di pemandian itu, Marta Okyap mengeluh karena para pengunjung Pemandian Kali Bak Makanuay belum memiliki kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan. Padahal, sejumlah tempat sampah sudah disediakan di lokasi itu. “Tempat sampah ada, tapi pegunjung tidak buang sampah di tempatnya. Mereka buang [sampah] begitu saja. Ada yang buang plastik [saset] sabun ke kali. Ada juga [yang] membuang botol [kaca] ke dalam kali, [bahkan botol itu] pecah di kali. Kesadaran memang sangat kurang,” keluh Okyap. Okyap menyatakan sampah yang dibuang sembarangan itu membuat air pemandian tercemar. “Kalau sampah dibuang ke dalam kali, jelas akan kotor airnya. Kalau sampah itu [dikumpulkan dalam wadah, dan ditaruh] di tempat [yang] kelihatan, itu akan memudahkan kami yang membersihkan. Kalau sudah terhambur, itu sangat susah sekali,” ucapnya. Baca juga: Wisata alam bukit Tungkuwiri, pemandangannya indah tapi jorok Okyap berharap setiap pegunjung sadar dalam menjaga kebersihan di pemandian. “Kalau bersih kan indah, pegunjung juga bisa datang di hari lain. Kalau sudah banyak sampah, pegunjung tidak mungkin mau lama di kali,” katanya. Salah satu pengunjung pemandian itu, Herlinda mengatakan seharusnya pegunjung itu sadar dalam membuang sampah. “Banyak pegunjung, banyak sampah yang berhamburan. Lama-lama tempat ini bisa penuh dengan sampah, bahaya,” jelasnya. Menurutnya, sesama pengunjung pemandian harus saling menjaga kebersihan lokasi wisata di Kabupaten Jayapura itu. “Kita mau bilang indah dan sejuk bagaimana, kalau sampah dalam air ada, di luar air juga ada. Yang datang mandi itukan semua sudah sekolah, pasti dong tahu to, tidak perlu di tegur kayak anak-anak kecil,” ucap Herlinda. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
Liburan tahun baru, Pemandian Kali Bak Makanuay ramai pengunjung
Papua No. 1 News Portal | Jubi Sentani, Jubi – Pemandian Kali Bak Makanuay di Kampung Harapan, Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Papua, ramai dikunjungi wisatawan yang mengisi liburan Natal dan Tahun Baru 2022. Lonjakan jumlah pengunjung mulai terlihat sejak Minggu (26/12/2021). Dari pantauan Jubi, Pemandian Kali Bak Makanuay masih ramai dikunjungi wisatawan pada Sabtu (1/1/2022). Mereka datang dari Kabupaten Jayapura maupun Kota Jayapura. Salah seorang petugas di pemandian itu, Marta Okyap mengatakan jumlah pengunjung selama masa liburan Natal dan Tahun Baru 2022 memang sangat ramai. “Kalau di hari biasa, [pemandian biasanya ramai pengunjung pada] Sabtu dan Minggu. Tapi hari libur [kemarin] memang pegunjung banyak sekali,” kata Okyap saat ditemui Jubi pada Senin (3/1/2022). Baca juga: Wisata outbond ‘sepeda layang’ pertama di Papua resmi beroperasi Pemandian itu dikelola oleh Marga Ongge dan Ohee, dan kedua marga mengatur gilir kerja para petugas di pemandian itu. Okyap menuturkan ia bertugas jaga pada Sabtu, saat jumlah pemandian itu dipadati wisatawan. “Kemarin pas tanggal 1 Januri, itu memang tugas jaganya saya. Saya lihat pegunjung banyak sekali. Di air terjun atas juga banyak orang. Pegunjung itu sudah [banyak berdatangan] dari jam 09.00 WP, sampai sore itu ramai sekali,” ucapnya. Setiap pengunjung yang membawa kendaraan pribadi dipungut ongkos parkir Rp20.000 per sepeda motor, dan Rp40.000 untuk setiap mobil. Setiap pengunjung juga membayar tarif untuk memasuki pemandian itu. Baca juga: Wisata alam bukit Tungkuwiri, pemandangannya indah tapi jorok Namun, Okyap menyatakan sulit menghitung kenaikan pendapatan yang diterima pengelola pemandian selama musim liburan Natal dan Tahun Baru. “Kalau bilang pendapatan [bertambah berapa], tidak bisa dipastikan berapa,” ujarnya. Salah satu pengunjung pemandian itu, Edo berharap pemandian itu dijaga dan dikelola dengan baik. Jika pemandian itu bersih dan aman, Edo yakin para pengunjung tidak keberatan untuk membayar uang kepada pengelola pemandian. “Kalau tempat ini dikelola baik, saya yakin soal harga masuk itu bukan ukuran. Pasti orang ramai berdatangan ke tempat ini. Yang paling penting, harus ada keamanan di tempat ini, karena sering kami dengar ada pemalakan yang terjadi,” jelasnya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G
MRP ajak masyakarat sambut Natal dengan tidak konsumsi minuman beralkohol
Papua No. 1 News Portal | Jubi Jayapura, Jubi – Majelis Rakyat Papua atau MRP melakukan reses bersama masyakarat. Ketua Kelompok Kerja Agama MRP, Helena Hubi melakukan reses di Kota Jayapura dengan bakar batu bersama warga. Dalam bakar batu yang berlangsung Kamis(23/12/2021), Helena Hubi mengimbau masyakarat untuk tetap merayakan Natal dengan tidak mengonsumsi minuman beralkohol. “Di momen Natal, jangan lagi ada yang mabuk-mabukan. Mari kita sambut Natal itu dengan damai. Jangan karena minuman beralkohol, nanti ada kekacauan, kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ucap Hubi. Ia berharap masyarakat dapat merayakan Natal dengan tenang. “Reses kami lakukan di berbagi tempat, sepeti di Kabupaten Keerom, reses bersama mahasiswa Jayawijaya di Kota Jayapura. Teman-teman lain juga melakukan reses di daerah lain juga. Kami jalan sesuai dengan tema MRP, menyambut Natal dengan suasana tenang dan damai,” kata Hubi. Baca juga: MRP dan Wali Nanggroe Aceh sepakati kerja sama advokasi otsus Hubi menyatakan Natal seharusnya menjadi perayaan untuk menyambut Putra Natal dengan damai. “Walau beberapa daerah seperti Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Puncak, dan Maybrat masih dalam kondisi yang tidak nyaman, kita patut mendukung mereka dalam doa, agar Tuhan memberikan kekuatan kepada mereka,” jelasnya. Salah satu warga Jayapura, Yustine Jakadewa mengatakan seharusnya menjelang Natal tidak ada lagi orang yang berjualan minuman beralkohol. “Kenapa yang dilarang itu meriam dan petasan? Itu kan bukan hal baru, yang dilakukan di setiap sambut Natal. Coba larang yang jual minuman beralkohol kah,” ucapnya. Ia menyatakan hingga kini masih banyak pedagang yang terang-terangan menjual minuman beralkohol. “Barang ada di depan mata, tidak diamankan. Kita lihat banyak posting di media sosial, kecelakaan, tabrak lari, dan banyak hal, itu hanya satu faktornya, minuman beralkohol,” ujarnya. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G