Papua No. 1 News Portal | Jubi

Makassar, Jubi – Akademisi dari Universitas Cenderawasih Jayapura, Elvira Rumkabu berpendapat, stigma Papua Mardeka yang selalu dilekatkan pada orang asli Papua, telah mematikan isu-isu lain di Papua, misalnya isu kemanusiaan.

Pernyataan itu dikatakan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Uncen Jayapura dalam diskusi daring “Dialog RASISME VS MAKAR” yang diselenggarakan Jubi pada Sabtu (13/6/2020).

Ia mengatakan, konstruksi politik melahirkan dua identitas di Papua, yakni identitas [atau stigma] Papua [Merdeka] dan Identitas Indonesia [atau NKRI harga mati]. Separatisme adalah stigma yang dilekatkan kepada orang asli Papua.

“Kalau kita bicara Papua pikirannya hanya dua, Papua [merdeka] atau NKRI harga mati. Bagi saya konstruksi ini sangat mengerikan. Ini mematikan aspirasi-apirasi, isu-isu (lain misalnya ) kemanusiaan di Papua,” kata Elvira Rumkabu.

Dengan adanya stigma NKRI harga mati dan Papua merdeka, menurutnya para pihak di Papua tidak diberi ruang bicara isu-isu lain (karena khawatir dianggap melakukan upaya makar).

“Misalnya kasus Nduga, kadang kita takut bicara kasus Nduga karena sudah ada stigmatisasi seperti itu,” ujarnya.

Elvira Rumkabu juga berpendapat, di Papua rasisme dan makar adalah dua hal yang berkaitan erat. Rasisme terhadap orang asli Papua sudah ada sejak zaman Belanda.

Katanya, pada masa itu, ada tiga kategori golongan masyarakat di Papua. Golongan masyarakat paling atas adalah para elite Belanda, golongan masyarakat level kedua adalah orang Indonesia dan masyarakat level ketiga adalah orang asli Papua.

Menurutnya, secara sosial stigma itu masih melekat hingga kini. Tidak hanya di masyarakat, tetapi dalam konstruksi negara. Melekat pada lembaga lembaga-lembaga penegak hukum. Cara pandang rasisme itu menjadi fondasi yang melekat dan mempengaruhi cara pandang negara dan institusi negara terhadap orang asli Papua.

Ia menilai, itulah sebabnya mengapa sampai [isu atau dugaan] makar begitu mudahnya dilekatkan kepada pihak di Papua yang smenyuarakan aspirasinya atau bicara isu rasisme yang merupakan isu kemanusiaan.

“Rasisme itu fondasi cara pandang negara terhadap orang asli Papua, dan mengaburkan aspirasi-aspirasi masyarakat Papua. Bahkan ketika bicara demokrasi dan kemanusiaan,” ucapnya.

Kata Elvira Rumkabu, kini mesti dipikirkan konsep apa yang mesti dibuat ke depannya. Tidak hanya bicara bagaimana upaya membebaskan tujuh tahanan politik atau Tapol Papua yang diadili di Kalimantan Timur. Akan tetapi mesti ada perubahan-perubahan [cara pandang] dalam institusi [negara], perubahan aturan dan perubahan dalam struktur.

Dalam diskusi yang sama, Latifah Anum Siregar dari Tim Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua mengatakan, penggunaan pasal makar oleh penegak hukum terhadap mereka yang dituduh melakukan upaya makar, mesti dibuktikan dengan adanya serangan fisik terhadap penguasa negara.

Ia mencontohkan, dalam kasus tujuh Tapol Papua, sebelum para terdakwa makar itu ditangkap dan diadili pasca gelombang demonstrasi memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada Agustus 2019 lalu, mereka telah dinyatakan sebagai aktor di balik munculnya gelombang aksi demonstrasi ketika itu.

“Saya pikir ini salah satu hal keliru karena mendahului proses hukum. Mereka selalu disebut aktor kerusuhan. Sebenarnya ini apa? Kalau mau dibilang dalang kerusuhan, pakai pasal-pasal terkait perusakan dan pembakaran, bukan pasal makar,” kata Anum.

Menurutnya, keliru jika para Tapol Papua dituduh makar hanya karena meneriakkan yel-yel (Papua Merdeka) dan referendum, sebab itu dibenarkan dalam konteks negara demokrasi. (Teriakan) referendum dan yel-yel merupakan bagian dari kebebasan berekspresi.

Katanya, jika para terdakwa disebut makar karena membawa bendara (Bintang Kejora saat aksi demonstrasi), menurunkan bendera [Merah Putih di halaman kantor Gubernur Papua saat demonstrasi], ada yang menaikkan bendera [Bintang Kejora], dalam pasal 104 sampai 129 KUHP (pasal yang didakwakan terhadap tujuh Tapol Papua), (padahal) tidak di antara pasal itu berbicara soal bendera.

“Kalau bicara bendera, pakailan Undang-Undang nomor 24 tahun 2009. Tentang bendera, lambang negara. Di situ (dalam pasal itu) disebutkan secara jelas ada pidananya. Yang merusak, menurunkan dan sebagainya. Kalau dibilang konteks makar, makarnya yang mana? Harus jelas karena kita bicara penerapan hukum. Jangan sampai keliru,” ucapnya. (*)

Editor: Syam Terrajana