Plus minus DOB di Papua

Papua
Ilustrasi pemekaran Papua - Jubi/Tirto.id

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Florentinus Tebai*

Isu paling hangat yang diperbincangkan di kalangan elite politik lokal dan nasional ialah mengenai pemekaran provinsi di Papua. Dalam tulisan ini penulis secara khusus menyoroti DOB (Daerah Otonomi Baru) di daerah Meepago, yaitu, pembentukan DOB Provinsi Papua Tengah, yang dilakukan secara diam-diam oleh elite politik lokal dan nasional, demi kepentingan dan kedudukan jabatan mereka (Suarapapua.com, 7/3/2022).

Read More

Ada dua hal yang diakui bahwa pemekaran DOB di Papua berdampak positif dan negatif. Sisi positif yang terjadi ialah terciptanya kesempatan bagi orang asli Papua (OAP), untuk menduduki jabatan-jabatan strategis, terbentuknya keterisolasiaan daerah, terjangkaunya pelayanan pemerintahan, pembangunan infrastruktur yang memadai, dan akses vital dapat terjangkau oleh OAP, khususnya kesehatan dan pendidikan.

Namun, pemekaran DOB juga dapat berdampak negatif. Ia dapat mengancam kehidupan, yakni, terciptanya sikap primordialisme, konflik perebutan kekuasaan. terbentuknya sikap arogansi, margaisme dan nepotisme, dan rusaknya lingkungan alam, serta pengobjekan orang asli Papua dalam pembangunan.

Baca juga: Pemekaran tidak menjawab persoalan di Papua

Orang Papua memandang alam Papua sebagai,“rumah” dan “mama” dalam kehidupan mereka. Secara esensial, mereka memaknai tanah sebagai “mama” yang senantiasa memberikan kehidupan bagi mereka demi keberlangsungan hidupnya.

Orang asli Papua meyakini bahwa hutan sebagai tempat menyediakan makanan bagi mereka. Di sana ada pohon sagu, babi hutan, dan masih banyak kekayaan alam lainnya.

Dalam kaitannya dengan ini (alm) Mgr. John Philip Gayabi Saklil sedikit memberikan pemahaman kepada orang Papua mengenai arti dan makna tanah. “Orang Papua dapat hidup tanpa uang, tapi tidak bisa hidup tanpa tanah”.

Baca juga: Peduli Paniai: peduli siapa?

Artinya, tanah sendiri memiliki makna filosofis, yaitu, keharmonisan antara orang Papua dan tanah sebagai “mama” yang memberikan kehidupan tidak dapat dipisahkan oleh siapapun mereka dalam kehidupan orang Papua. Tanah adalah “mama” bagi orang Papua.

Hemat penulis, pemekaran DOB memungkinkan adanya migrasi penduduk dari luar ke Papua. Dengan begitu dapat mengakibatkan ketersingkiran dan marginalisasi bagi penduduk asli atau OAP.

Saya menduga bahwa pemerintah pusat (Jakarta) mengirimkan penduduk non-Papua untuk berdomisili di Tanah Papua dengan kepentingan mereka, khususnya dalam bidang perekonomian. Terlepas dari itu, saya juga menduga bahwa pemerintah pusat akan mengirimkan tenaga militer, seperti TNI/Polri dengan kepentingan mereka tersendiri, yakni, keamanan, pembangunan pos-pos militer, koramil, polsek di pinggiran jalan maupun dalam kota dan kabupaten di Papua, terutama di daerah DOB.

Baca juga: Paham tanah dan krisis ekologis di Papua

Konsekuensinya, secara psikologis mereka (OAP) tidak mengalami kebebasan secara eksistensial dalam kelangsungan hidup mereka.

Selain itu, DOB merusak perekonomian masyarakat. Masuknya bisnis, pertokoan, supermarket dan lainnya, dapat mempersempit persaingan ekonomi lokal di pasaran bebas berskala besar (kapitalisme), sehingga orang Papua akan kalah dan tersingkir secara esensial dalam persaingan ekonomi lokal-modern.

Tidak hanya itu, konsekuensi lainnya adalah DOB juga mempersempit ruang gerak untuk menyampaikan pendapat di depan umum. Setiap aspirasi mengenai kemanusiaan dalam bentuk apa pun pasti dikekang, dibubarkan dan bahkan dihadang oleh aparat keamanan.

Ada beberapa saran yang mau disampaikan oleh penulis pada kesempatan ini. Mengutip Surat Pernyataan Dan Sikap Dari Pelajar Mahasiswa-Mahasiswi RPM Simapitowa Dan Para Mahasiswa Mee Di STFT Fajar Timur, maka ada beberapa solusi yang ditawarkan kepada pemerintah-pemerintah kabupaten di wilayah Meepago, karena pemekaran DOB sendiri tidak memberi solusi bagi masyarakat sipil.

Baca juga: Buku Nahkoda Tangguh di Tengah Badai, belajar dari kepemimpinan Ketua KPU Arief Budiman

Beberapa solusi yang ditawarkan penulis, di antaranya: Pertama, pemerintah daerah seharusnya  memperbaiki wajah atau sistem pemerintah sendiri, yakni, mewujudnyatakan visi-misi, di tiap kabupaten, memperbaiki sistem birokrasi, mengontrol (dan kalau bisa menutup) setiap aktivitas perjudian illegal (togel, rolex), penjualan minuman keras dan prostitusi, mengontrol transmigrasi ilegal, membatasi dan mengontrol perlakuan aparat keamanan terhadap masyarakat secara berlebihan;

Kedua, pemerintah daerah juga harus memperbaiki wajah pendidikan–meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia–dengan menyediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan mahasiswa dan pelajar di setiap kota studi;

Ketiga, pemerintah-pemerintah daerah di Meepago membangun dan memperbaiki asrama-asrama mahasiswa di berbagai kota studi dan sekolah-sekolah yang ada di pegunungan tengah;

Keempat, membangun kesejahteraan ekonomi dengan baik, yakni menghidupkan ekonomi kerakyatan, menyediakan lapangan kerja, melindungi dan mengelola tungku api kehidupan. (*)

* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply