Oleh: Aris Yeimo

Sebelum lebih jauh membahas artikel ini, pertama-tama saya hendak memposisikan diri saya terlebih dahulu, agar tidak ada kesalahpahaman terhadap maksud penulisan artikel ini dan kapasitas saya sebagai penulis asli asal Kabupaten Paniai.

Pertama, saya sebagai suku bangsa asli Mee asal Kabupaten Paniai; Kedua, saya tidak pernah meminta-minta atau bahkan mengemis uang, jabatan atau pangkat kepada pejabat Kabupaten Paniai, untuk menggerakkan suatu kegiatan yang tidak ada nilai edukasi sama sekali kepada masyarakat; Ketiga, saya bukan anak lahir besar Enarotali (ALIE) atau kelompok komunitas apa pun di Kabupaten Paniai; Keempat, saya menyadari bahwa saya tidak memiliki kapasitas apa pun di Kabupaten Paniai. Saya hanya rakyat sipil biasa.

Bertolak dari alasan pertama di atas, saya kira saya memiliki hak penuh dalam menyampaikan pendapat melalui artikel ini. Ini merupakan tanggung jawab moral saya.

Artikel ini ditulis sebagai bentuk kepedulian saya berdasarkan pengalaman empirik selama kurang lebih delapan bulan terakhir menyempatkan diri melihat dan mendengar langsung apa yang dialami masyarakat.

Di Paniai, saya banyak berjumpa dan berdiskusi dengan masyarakat biasa, petani, nelayan, guru, ASN, pemuda, wiraswasta, anggota komunitas lokal dan anak-anak sekolah. Kami mendiskusikan banyak hal.

Gambaran umum dari apa yang kami diskusikan itulah yang diulas dalam artikel ini, dengan maksud agar terbuka kemungkinan dilakukannya diskusi publik dengan analisis yang lebih tajam dan komprehensif.

Sebelum menjawab pertanyaan pada topik artikel di atas, baiklah kita bersama-sama melihat sedikit kompleksitas masalah di Paniai per hari ini.

Kompleksitas masalah

Sejak disahkan menjadi kabupaten, wilayah Paniai merupakan wilayah yang dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru yang sangat otoriter dan militeristik. Bahkan di era reformasi saat ini, nuansa pendekatan negara pada masa lampau terhadap rakyat Paniai masih sangat dirasakan.

Sejak bergulirnya reformasi, rakyat Paniai mengharapkan adanya suasana baru yang diciptakan oleh pemerintah supaya memoria passionis dalam batin dan pikiran mereka paling kurang dapat terobati. Mereka menginginkan adanya sebuah pendekatan humanis dan dialogis dalam segala aspek.

Namun, harapan itu sampai hari ini belum menjadi kenyataan. Rakyat justru merasakan adanya semacam pendekatan “neo-otoritarianisme dan militerisme” dalam bentuk yang lebih soft.

Pendekatan “neo-otoritarianisme dan militerisme” berlangsung dalam berbagai aspek, antara lain: tata kelola pemerintahan, pendidikan, politik, sosial, ekonomi, budaya, perlindungan hak asasi manusia, dan berbagai aspek lainnya yang tidak dijelaskan pada kesempatan ini. Beberapa aspek ini akan dijelaskan secara ringkas.

Tata kelola pemerintahan

Tata kelola pemerintahan di Paniai sangat primordialistik. Dalam hal ini, nuansa -isme masih sangat terasa dalam pengangkatan pejabat-pejabat publik. Mereka yang dianggap mampu secara intelektual, baik secara moral dan dewasa dalam iman, disingkirkan.

Sebaliknya, mereka yang memiliki kapasitas intelektual pas-pasan, kurang baik secara moral dan tidak dewasa dalam iman, diangkat menjadi pejabat publik. Akibatnya, roda pemerintahan di kebanyakan dinas berjalan di tempat.

Pendidikan

Beberapa sekolah di Kabupaten Paniai dijadikan sebagai sekolah unggulan. Dengan demikian, pemerintah mendatangkan ratusan guru dari luar Papua sebagai tenaga pengajar.

Pertanyaannya adalah apakah tidak ada sarjana pendidikan yang berasal dari Paniai? Di mana para sarjana pendidikan asal Paniai yang telah menamatkan pendidikannya di Universitas Cenderawasih, KPG Nabire dan berbagai perguruan tinggi lainnya?

Politik

Tujuan utama berpolitik adalah mendistribusikan keadilan bagi semua orang. Dalam kepemimpinan politik tradisional suku bangsa Mee kita mengenal istilah Tonawi. Dia adalah seorang pemimpin karismatik dan berwibawa.

Hari ini, kepemimpinan seorang Tonawi itu tidak kita temukan dalam kepemimpinan politik di Paniai. Jabatan politik agaknya tersandera dengan hutang politik. Akhirnya, rakyat tidak merasakan adanya pendistribusian keadilan berlangsung di kebanyak aspek kehidupan mereka.

Sosial

Di Paniai sudah beredar berbagai macam jenis penyakit sosial. Hal ini mengakibatkan kohesi sosial dalam masyarakat semakin hancur karena egoisme pribadi dan kelompok. Hubungan kekerabatan antara klan dan marga hancur berantakan hanya karena mau menjadi ‘orang terpandang’ di wilayahnya masing-masing.

Etnosentrisme antar paguyuban tumbuh subur. Potensi konflik akan meningkat drastis. Inilah suatu realitas yang sedang terjadi.

Ekonomi

Realitas di Paniai menunjukkan bahwa sektor ekonomi dikuasai oleh pedagang dan pemodal non-OAP. Walaupun tidak dipungkiri sebagian kecil rakyat sudah difasilitasi dengan bibit kopi dan ternak oleh pemerintah.

Namun, pada umumnya, nampaknya pemerintah lebih memihak pada kebijakan ekonomi berupa pemberian dana desa tanpa pengontrolan yang jelas. Ini justru membentuk mental masyarakat produktif menjadi konsumtif.

Budaya

Saat ini banyak nilai budaya telah terdegradasi dan tempat-tempat sakral telah dihancurkan. Tanah, gunung dan alam sekitar yang dianggap menjadi pondasi hidup masyarakat setempat dihancurkan; tari-tarian, cerita-cerita, wejangan-wejangan yang diwariskan leluhur perlahan terkikis arus zaman.

Contoh paling konkret yang dapat kita saksikan bersama adalah Kali Enaro yang dulunya jernih, kini sudah dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah.

Perlindungan hak asasi manusia

Dari sekian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada era 1960-an sampai 1990-an, pelanggaran HAM berat terbaru yang dialami rakyat Paniai adalah peristiwa 8 Desember 2014. Kasus ini mendapat sorotan dunia internasional.

Di saat bersamaan, negara berusaha mengalihkan penyelesaian kasus Paniai dalam konteks nasional. Padahal, kasusnya berdimensi internasional.

Di tengah situasi itu, negara berupaya mengalihkan perhatian rakyat Paniai dengan berbagai kegiatan. Di samping itu, keluarga korban sudah dengan tegas menolak berbagai tawaran dari negara.

Peduli siapa atau peduli apa?

Di tengah kompleksitas masalah itu muncul berbagai gerakan yang diprakarsai oleh sebagian orang muda, yang mengakui diri sebagai kelompok intelektual yang peduli terhadap masyarakat Paniai.

Pertanyaannya, sudahkah mereka memahami benar seluruh kompleksitas masalah Paniai hari ini? Ataukah bentuk kepedulian mereka ini semata-mata hanya demi uang, pangkat dan jabatan?

Kalau dikatakan “peduli”, artinya gerakan yang dilahirkan itu benar-benar muncul dari kegelisahan batin atas kompleksitas masalah yang sedang terjadi. Peduli artinya benar-benar bersimpati dan berempati terhadap masyarakat tanpa embel-embel apapun.

Di sini, saya tidak terlalu mempersoalkan peran aktor intelektual dan penyokong dana, tetapi paling kurang jenis kegiatan yang dilakukan itu harus berdampak positif terhadap masyarakat. Rakyat Paniai hari ini ingin terobati dari memoria passionis. (*)

Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timoteus Marten

 

Leave a Reply