Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Fransiskus X. Tsolme

Pada masa prapaskah seperti sekarang, orang-orang Kristiani merenungkan penderitaan Yesus yang dituduh melanggar aturan Yahudi, hingga wafat di salib. Kehadiran dan karya Yesus dianggap bertentangan dengan adat istiadat Yahudi dan hukum Musa. Yesus lalu dikorbankan karena keserakahan dan kekosongan moral manusia ketika itu. 

Penderitaan Yesus dan orang asli Papua, dalam konteks tertentu, terutama bila dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa tertentu, kurang lebih sama. Penderitaan orang asli Papua bukan semata kehendak manusia Papua sendiri, tetapi karena kekosongan moral manusia. Terutama dan pertama-tama bila melihat kekayaan alam Papua, yang dirampas demi kepentingan pihak-pihak tertentu dan bukan pemilik ulayatnya.

Banyak orang asli Papua juga menjadi korban, sengsara, bahkan mati karena tindakan diskriminatif dan militeristik yang dilakukan oleh negara.

Jika negara membuka mata dan hati terhadap orang Papua, mendengarkan dan merasakan jeritan hatinya, maka tidak mungkin ada penembakan dan tindakan diskriminatif terhadap orang-orang asli Papua.

Penderitaan Yesus

Sebelum Yesus menderita sengsara dan disalibkan, Ia selalu diincar dan diadili oleh imam-imam. Kehadiran Yesus pada zaman itu terlalu sulit untuk dipercaya. Walaupun Ia harus dengan bersusah payah untuk mengajar dan menobatkan mereka. 

Di sisi lain banyak orang telah berbondong-bondong dari berbagai daerah di Yudea, datang untuk diselamatkan dan mendengarkan ajaran-ajaran-Nya yang hidup, sehingga mereka meninggalkan apa yang mereka miliki. 

Dalam menjalankan misi-Nya Ia selalu dicobai oleh imam-imam yang dapat meninggikan nama-nama mereka, padahal mereka telah menutupi pintu surga. Kemudian mereka menuduh Yesus sebagai orang yang membuat kekacauan. Atas alasan-alasan yang tak jelas mereka telah menuduh Yesus, karena kedengkian. Ia memang mengetahui, bahwa mereka telah menyerahkan Yesus karena dengki (Mat.26:18).

Yesus hanya pasrahkan atas tindakan-tindakan mereka, sebab Ia harus menggenapi nubuat para nabi. Secara manusiawi mereka tak mau ada kekuasaan terbelah di atas kekuasaan mereka dan kepemimpinan mereka dan atas kekuasaan mereka. Mereka tak menemukan kesalahan atas-Nya, sehingga alasan untuk menghukumnya pun alasan yang dibuat-buat. 

Meskipun imam-imam dan ahli-ahli taurat tak menemukan kesalahan atas-Nya, Yesus pun dihukum.

Penderitaan orang asli Papua

Tanah Papua seakan-akan tidak pernah bebas dari kekerasan negara. Aksi kekerasan ini dilakukan oleh aparat negara terhadap warga sipil. 

Sejumlah kejadian sejak kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2014 hingga kini, memperlihatkan masih adanya kekerasan negara terhadap orang Papua. 

Orang Papua menjadi korban kekerasan negara, terutama TNI/Polri. Kekerasan negara, apapun motifnya, setidaknya menyingkap dua hal.

Pertama, orang Papua masih dipandang sebagai musuh negara. Kekerasan dilakukan untuk menghancurkan musuh tersebut. Karena itu, hanya orang Papua yang menjadi korban kekerasan negara. 

Kedua, adanya praktik pendekatan keamanan. Menurut pemerintah, pendekatan keamanan untuk Papua sudah ditinggalkan dan diganti dengan pendekatan kesejahteraan. 

Tapi faktanya TNI/Polri masih mempraktikkan pendekatan keamanan dalam menghadapi orang Papua. Akibatnya, orang-orang Papua dengan mudah dianiaya, disiksa bahkan dibunuh alih-alih dianggap sebagai bagian dari separatisme.

Aparat–TNI/Polri–memperkenalkan Indonesia sebagai negara berwajah seram bak monster yang siap menerkam orang Papua. 

Kekerasan negara yang dialami orang Papua selama lebih dari lima dekade membangkitkan sikap antipati terhadap negara. Nasionalisme Indonesia sulit tumbuh dalam diri mereka. Maka jangan heran jika para korban kekerasan negara kurang antusias mengibarkan bendera Merah Putih, misalnya, dalam peringatan proklamasi kemerdekaan RI. 

Kekerasan negara justru memperkokoh nasionalisme Papua. Mereka mewarisi ingatan yang terluka akan kekerasan negara yang dialami orang tua selama Orde Baru. Kini mereka sendiri menjadi korban kekerasan negara. Maka, mereka pun melawan. Mereka juga memimpin tuntutan referendum Papua. 

Banyak orang Papua merasa bangga bila dapat mengibarkan Bintang Kejora, sekalipun tahu bahwa setelah pengibaran bendera tersebut mereka pasti ditangkap polisi, diadili, dan dipenjara.

Terlalu banyak luka yang tergores pada orang asli Papua, dari kota sampai kampung, dari gunung sampai pantai, dari dalam hati sampai kulit. Jikalau orang Papua punya alat rekam di badan atau perekam otomotif, maka hampir pasti penderitaan dan kesengsaraan mereka, baik yang sudah dipublikasikan, maupun yang belum diketahui publik, maka semua itu dapat terdokumentasi dengan baik.

Salah satu contoh kekerasan negara Indonesia terhadap orang asli Papua ialah insiden di SP 5, di jalan baru menuju Pelabuhan Timika. Seorang bapak asal Kamoro menjual tanahnya kepada oknum TNI. Karena paksaan bapak tersebut diduga ditodong, sehingga harus menyerahkan tanah seluas 5 hektare, untuk dibangun asrama militer di tempat itu. 

Pada contoh lain, seorang bapak bernama Kwalik, karena kesehatannya cukup parah ia tak pernah keluar rumah dan beraktivitas di lingkungannya, militer menuduhnya sebagai anggota OPM.  

Masih banyak tuduhan dan kekerasan lainnya yang dilakukan negara terhadap orang asli Papua, sehingga mengakibatkan luka bagi orang Papua.

Sejak kehadiran PT Freeport Indonesia di Bumi Amungsa puluhan tahun lalu, orang asli Papua menghadapi kekerasan bersenjata oleh negara melalui aparatnya. Orang Papua bahkan rentan diadu domba, sehingga mengakibatkan perang suku atau konflik horizontal. Faksi OPM–asli dan buatan–bahkan diduga dibuat untuk mengaburkan perjuangan Papua.

Pembagian kawasan hutan Provinsi Papua dan Papua Barat juga, pemerintah menggunakan kewenangan dan kekuasaannya sebagai organisasi tertinggi, untuk menentukan dan menetapkan kawasan-kawasan itu, tanpa melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat, untuk menentukan batas-batas tersebut. Kemudian sebelum datangnya para penikmat-penikmat kekayaan, orang Papua tak pernah kesulitan mencari makan di hutannya karena semuanya sudah tersedia di hutan dan alam Papua.

Bagi orang Papua, tanah adalah tempat yang memberi daya kehidupan, termasuk juga hidup manusia. Tanah dengan lingkungan hidup dan habitatnya dipandang sebagai tempat tinggal, berkebun, berburu, dan tempat pemakaman. 

Dengan kata lain, tanah bagi orang Papua merupakan syarat penting untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Tanah berarti makan, tinggal dan tempat membesarkan keluarga dan memelihara warisan budaya. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa tanah sama dengan kehidupan.  

Penderitaan Yesus dan orang asli Papua

Penderitaan selalu saja ada dalam setiap kehidupan manusia, baik penderitaan yang dibuat oleh sesama manusia terhadap manusia yang lain, karena kedengkian ataupun sesuatu hal yang dapat menimbulkan kebencian terhadap manusia yang lain, maupun karena tindakan negara terhadap orang Papua dan penderitaan seperti yang dialami Yesus.

Orang-orang asli Papua menderita dan kerap ditindas dan dituduh sebagai penyambung OPM. Hak dan kekayaan mereka dirampas dan mereka dipaksa untuk menjual apa yang mereka miliki. 

Kalau manusia hidup saling membuat penderitaan terhadap sesama, khususnya kekerasan negara terhadap orang asli Papua, berarti percuma saja hukum-hukum yang berbicara di setiap agama manusia di dunia ini. Seharusnya kita sebagai ciptaan Allah menyadari hal itu. (*)

Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timoteus Marten

Leave a Reply