Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Florentinus Tebai

Tanah Papua selain dikenal karena krisis kemanusiaan, juga dikenal karena krisis ekologi, yaitu, hancurnya tanah, “mama”, bumi Papua, yang dijadikan oleh investor-investor ternama asing sebagai objek eksploitasi atas kekayaan dan sumber daya alam di tanah Papua. Sebut saja perusahaan perkebunan kelapa sawit di Merauke dan daerah lainnya.

Akibat logis investor-investor perusak ekologi Papua tidak hanya kehilangan margasatwa, kekayaan alam, tetapi juga berkontribusi negatif dalam upaya kerusakan tanah adat, yang diyakini sebagai “dapur” dan “mama”, yang senantiasa menyediakan segala sesuatu bagi kelangsungan hidup orang Papua.

Kondisi hutan Papua semakin rusak dan jumlahnya terus berkurang. Investasi dan proyek-proyek perkebunan telah menebas pohon-pohon dalam hutan menjadi lahan industri (Koten dan Gobay, 2018: 79).

Paham tanah dalam pandangan iman Kristiani

Penulis hendak merefleksikan bahwa tanah memiliki makna teologis yang amat fundamental bagi umat manusia. Tanah mempunyai arti keharmonisan antara Allah yang diyakini dengan umat-Nya.

Hubungan timbal balik antara Allah dan umat-Nya tidak dapat berdiri sendiri. Keduanya memiliki hubungan yang intens dan memiliki satu kesatuan yang utuh, serta saling berkaitan–antara Allah dan umat-Nya. Oleh karena itu, keduanya mempunyai hubungan yang harmonis.

Dalam kaitannya dengan tanah, unsur hakiki yang paling fundamental antara pencipta (Allah) dan umat-Nya (manusia), maka Allah menciptakan manusia dari debu “tanah”, dan bukan oleh benda atau bahan penciptaan lainnya. Sekali lagi, Allah menciptakan manusia dari debu “tanah”. “Ketika itu Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu “tanah”, dan menghembuskan napas hidup ke dalam hidungnya, demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup (Kej 2:7).

Artinya, tanah dalam terang iman kristiani memiliki arti dan makna teologis yang mendalam, yakni, tanah dipandang dan dimaknai sebagai sesuatu yang “suci”. Tentu di sana terdapat roh yang senantiasa memberikan kehidupan bagi umat manusia, dalam seluruh peziarahan hidup di muka bumi ini.

Karena tanah sebagai sesuatu yang “kudus”, maka tanah dapat dihargai dengan sikap tidak menjual tanah. Tanah  itu dijaga, dirawat dan dilestarikan, sambil mengolah tanah dan hutan, sebagai sumber kehidupan bagi setiap umat manusia.

Dalam kaitannya dengan tanah, Paus Fransiskus melalui ensikliknya Laudato Si’, mengajak umat manusia, agar hendaknya dapat merawat bumi sebagai “rumah” kita bersama, agar tidak terjadi ketimpangan manusia dan alam semesta. Secara khusus, ia prihatin dengan masalah global, yang dapat mengakibatkan dampak bagi lingkungan, masyarakat, dan ekonomi, perdagangan dan politik, “hewan dan tumbuhan yang tidak beradaptasi dengan perubahan iklim, akan terdorong untuk berimajinasi” (Laudato Si’ 24 Mei 2015:20-21).

Paham tanah dalam pandangan orang Papua

Terlepas dari pandangan iman kristiani dan Paus Fransiskus, orang Papua dalam kehidupannya memandang dan memaknai tanah sebagai “mama”, yang selalu menyediakan segala sesuatu bagi mereka demi kelangsungan hidup mereka. Oleh karena itu, bagi orang Papua, tanah memiliki unsur hakiki, yang mendalam dan mempunyai kedekatan dengan hidup mereka.

Artinya, kehidupan orang Papua tidak dapat dipisahkan dari relasi dengan tanah, sebab mereka hidup dari kekayaan alam, hutan dan tanah adat mereka.

Papua
Mgr John Philip Saklil pada suatu kesempatan di wilayah Meepago – Jubi/Dok. Abeth You

Dalam kaitannya dengan itu, (alm) Mgr. John Philipus Gayabi Saklil memberikan sedikit nasihat kepada orang Papua, “stop menjual tanah! Orang Papua bisa hidup tanpa uang, tetapi orang Papua tidak bisa hidup tanpa tanah. Hidup dari hasil olah tanah dan bukan dari hasil jual tanah”.

Penulis merasa bahwa nasihat almarhum ini amat sentral, tapi sekaligus amat relevan dan signifikan atas kehidupan orang Papua hingga kini.

Bila kita melihat ke belakang, orang Papua tidak menyadari akan pentingnya tanah sebagai “mama”, sehingga fenomena transaksi jual-beli tanah juga masih aktif dilakukan oleh orang Papua sendiri.

Bertolak dari itu, saya berpikir, jika orang Papua kehilangan tanah adat, maka konsekuensi logisnya, orang Papua kehilangan hidup di atas tanahnya. Dalam konteks inilah, sudah sejak saat ini, orang Papua sebagai pemilik hak ulayat mesti menjaga dan melindungi tanah adatnya, agar memperoleh kehidupan, di masa kini dan di masa mendatang. Hidup dari hasil olah tanah dan bukan dari hasil menjual tanah.

Kiranya konsep gerakan tungku api, setiap orang punya dusun sendiri, kandang sendiri, juga menjadi perhatian dan keseriusan dalam tiap keluarga, demi keutuhan hidupnya.

Untuk perlindungan dan pelestarian hutan dan tanah adat, “mama”, Papua, kiranya para pemangku kepentingan, pemerintah, gereja, yang memiliki kewajiban dalam menjaga, mengolah tanah “mama Papua”, agar mengambil kebijakannya untuk tidak mengizinkan investor asing yang hendak masuk ke Papua untuk mengeruk kekayaan dan sumber daya alam Papua untuk kepentingan ekonomi di pasaran bebas.

Untuk orang Papua demi menjaga tanahnya, semoga tanah digunakan dengan cara atau metode perpustakaan, yaitu, meminjam dan bukan menjualnya. (*)

Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua 

Editor: Timoteus Marten

Leave a Reply