Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Petisi Rakyat Papua dibuat dan digulirkan untuk menolak rencana sepihak pemerintah Indonesia memberlakukan “Otonomi Khusus atau Otsus Papua Jilid II” dan mengonsolidasikan tuntutan hak untuk menentukan nasib sendiri. Petisi Rakyat Papua tidak boleh dijadilan alat tawar-menawar elit politik Papua dengan pemerintah Indonesia di Jakarta.
Hal itu dinyatakan juru bicara gerakan Petisi Rakyat Papua, Victor Yeimo saat dihubungi Jubi pada Rabu (22/7/2020). “Petisi Rakyat Papua ini murni aspirasi masyarakat, tidak boleh dieksploitasi oleh kepentingan segelintir orang yang tawar-menawar [dengan pemerintah di] Jakarta,” katanya.
Yeimo mengatakan Petisi Rakyat Papua menjadi alat konsolidasi sikap rakyat Papua atas Otsus Papua. “[Itu] menyatukan sikap dalam konsolidasi, bahwa konflik Papua versus Indonesia tidak bisa diselesaikan selama masa Otsus Papua Jilid I, dan tidak akan terselesaikan pula dengan Otsus Papua Jilid II. Solusi demokratisnya, berikan rakyat Papua hak untuk menentukan nasibnya sendiri,” kata Yeimo.
Baca juga: Filep Karma: Tidak ada Otsus Papua lagi, kami mau merdeka
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua (UU Otsus Papua) tidak mengatur jangka waktu berlakunya Otsus Papua. Akan tetapi, kucuran “penerimaan khusus” atau Dana Otsus Papua setara 2 persen plafon Dana Alokasi Umum sebagaimana diatur Pasal 34 ayat (3) huruf e UU Otsus Papua akan berakhir pada 2021. Hal itu memunculkan wacana evaluasi Otsus Papua dan revisi UU Otsus Papua.
Tempo.co melansir pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang berharap revisi UU Otsus Papua segera dibahas dan disahkan tahun ini. Hal itu dinyatakan Tito dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, 22 Januari 2020. Di pihak lain, banyak pemangku kepentingan politik di Papua justru menyatakan akan menolak atas rencana Jakarta memberlakukan “Otsus Jilid II”.
Yeimo mengatakan setiap organisasi yang menandatangani Petisi Rakyat Papua menyepakati bahwa polemik kelanjutan Otsus Papua atau tuntutan kemerdekaan harus dikembalikan kepada rakyat Papua, karena Otsus Papua diterapkan pemerintah Indonesia sebagai jawaban atas tuntutan rakyat Papua yang meminta merdeka dari Indonesia.
“[Dalam] rancangan [awal] UU Otsus Papua, [ada pasal yang] bunyinya [jika] evalusi [menyimpulkan] Otsus gagal, maka pilihan referendum. Setelah dibawa ke Jakarta, diubah [menjadi] apabila Otsus berakhir, maka dilakukan evaluasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua,” kata Yeimo.
Baca juga: Rakyat Papua berdaulat tentukan rancangan Otsus jilid II
Ia menyatakan ada cara pandang yang berbeda antara pemerintah Indonesia melihat Otsus Papua dan rakyat Papua melihat Otsus Papua. [Jakarta melihat Otsus itu sebagai win-win solution. Kami melihat Otsus sebagai masalah yang tidak akan pernah selesai. Melalui petisi, [kami ingin pemerintah] menghentikan pembahasan Otsus, dan [mengajak] rakyat Papua tolak Otsus. [Kami meminta] Indonesia segera buka peluang politik untuk mencari solusi damai dan demokratis,” kata Yeimo.
Yeimo mengatakan Petisi Rakyat Papua bukan petisi tertutup yang hanya boleh ditandatangani sekelompok orang, faksi, suku, atau gender. Semua rakyat Papua yang merasa Otsus Papua telah gagal dan sepakat menuntut hak menentukan nasib sendiri boleh berpartisipasi menandatangani Petisi Rakyat Papua. Sebaliknya, Petisi Rakyat Papua juga bukan sebuah gerakan untuk memaksa semua orang menandatangani petisi itu.
“Rakyat Papua yang merasa bahwa Otsus gagal dan sepakat untuk menentukan nasib sendiri silahkan berpartisipasi. Kami mendokumentasi dan mengukur [pendapat] rakyat Papua secara tertulis, [untuk ditujukan] kepada semua pihak, baik Papua, Jakarta. [Kami ingin mengetahui] semua kemauan rakyat Papua, dan berapa rakyat papua yang menolak otonomi khusus,” kata Yeimo.
Ia juga menanggapi penilaian sejumlah pihak yang menyatakan Petisi Rakyat Papua akan melemahkan suara 1,8 juta penandatangan petisi serupa tahun 2017 yang menuntut pengawasan masyarakat internasional dalam pelaksanaan referendum rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri. Menurut Yeimo, poin keempat Petisi Rakyat Papua justru menguatkan dukungan bagi para penandatangan petisi 2017 itu.
“Petisi pertama itu untuk meminta supervisi internasional di Papua Barat. Petisi ini dibikin khusus untuk otonomi khusus dan apa pendapat rakyat. Sebenarnya kami menambah bobot petisi supervisi itu untuk kampanye internasional,” kata Yeimo.
Baca juga: Pastor Pribumi Papua: Pemerintah pusat jangan paksakan Otsus Jilid II
Aktivis pemuda Albert Mungguar menyatakan petisi itu telah demi mengonsolidasi penolakan atas rencana pemerintah memberlakukan Otsus Papua Jilid II. “Kami menolak semua kompromi, pembahasan, dan keputusan yang tidak melibatkan masyarakat Papua selaku subjek dan objek atas persoalan Papua,” katanya.
Mungguar mengatakan apabila Petisi Rakyat Papua itu tidak diindahkan pemerintah Indonesia, masyarakat sipil di Papua akan menyerukan mogok sipil di seluruh teritori West Papua. “Kami mendukung suara rakyat Papua sebanyak 1,8 juta rakyat Papua yang sudah menandatangani petisi tahun 2007, yang meminta supervisi hukum Internasional melalui mekanisme referendum,” katanya.
Mungguar menyatakan Petisi Rakyat Papua digulirkan oleh 29 organisasi masyarakat sipil. Mereka adalah Komite Nasional Papua Barat, Aliansi Mahasiswa Papua, Gerakan Mahasiswa Pemuda Rakyat Papua, Gerakan Rakyat Demokratik Papua, Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua Barat, Forum Independen Mahasiswa West Papua, West Papua National Authority, Front Nasional Mahasiswa Pemuda Papua, Solidaritas Perempuan Melanesia Papua Barat, Masyarakat Adat Independen, Asosiasi Pedagang Asli Papua, Komunitas Peduli Lingkungan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sorong, BABEOSER BIKAR, Green Papua, Dewan Adat Papua, Pelajar Mahasiswa dan Pemuda Yahukimo di Jayapura, Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia, Ikatan Mahasiswa Kaimana di Jayapura, Asosiasi Mahasiswa Pemuda dan Pelajar Papua Barat, Komunitas Mahasiswa Independen Kabupaten Intan Jaya, West Papua Interest Association/West Papua Indigeneous People, Solidaritas Anak Yalimo, Forum Komunikasi Pemuda Pelajar Mahasiswa Se- Kawasan Teluk Ampimoi, Himpunan Pelajar Mahasiswa Kwiyawagi Bersatu se-Indonesia di Jayapura, Himpunan Mahasiswa Kabupaten Yalimo se-Indonesia, Komunitas Mahasiswa dan Pelajar Aplim-Apom Kabupaten Pegunungan Bintang Se Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera, Solidaritas Rakyat Untuk West Papua, Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, dan Front Rakyat Maubere Untuk West Papua.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G