Pemekaran mengancam eksistensi Orang Asli Papua

Ilustrasi Pemekaran Papua- dok Jubi.
Ilustrasi pemekaran Papua- Jubi/Dok

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Florentinus Tebai*

Detik News. com edisi Jumat, 11 September 2020, memberitakan bahwa Papua akan dimekarkan menjadi 5 wilayah. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, akan menambah tiga daerah pemekaran Papua. Nantinya, wilayah di Papua akan dimekarkan jadi lima. Demikian kata Mahfud usai pertemuan yang dilakukan bersama Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet), Mendagri Tito Karnavian, serta perwakilan TNI-Polri di gedung Nusantara III, MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (11/9/2020). Menurut Mahfud, hal itu tercantum dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua.

“Revisi juga akan dilakukan, atau penegasan terhadap pasal 76 tentang pemekaran daerah Papua yang rencananya dimekarkan menjadi 5, ditambah 3 dari yang ada sekarang. Karena itu adalah amanat dari undang-undang,” ujar Mahfud.

Dalam kesempatan yang sama, Bamsoet juga menegaskan rencana pemekaran wilayah Papua menjadi 5 wilayah. Ia mengatakan tujuan pemekaran ini adalah menyejahterakan rakyat Papua dalam segala bidang; ekonomi, politik, sosial-budaya, dan pelayanan publik. Oleh karena itu, pemekaran sangatlah urgen. Sebab, pemekaran sebagai solusi atas segala persoalan dalam semua bidang.

Sisi positif dan negatif pemekaran (Daerah Otonomi Baru/DOB) di Papua

Ada dua hal yang diakui bahwa pemekaran atau DOB di Papua berdampak positif dan negatif. Sisi positif yang terjadi, ialah;

pertama, terciptanya kesempatan bagi orang asli Papua (OAP) untuk menduduki jabatan-jabatan strategis; Kedua, terbentuknya keterisolasiaan daerah; Ketiga, terjangkaunya pelayanan pemerintahan; Keempat, pembangunan infrastruktur yang memadai; dan Kelima, akses vital dapat terjangkau oleh OAP, khususnya kesehatan dan pendidikan.

Di samping itu, pemekaran juga dapat berdampak negatif. Ia dapat mengancam kehidupan, yakni, Pertama, terciptanya sikap primordialisme; Kedua, tumbuhnya konflik perebutan kekuasaan. Ketiga, terbentuknya sikap arogansi, margaisme dan nepotisme; Keempat, rusaknya lingkungan alam; dan Kelima, pengobjekan OAP dalam pembangunan.

DOB di Meepago mengancam eksistensi orang Mapia 

Daerah Meepago juga tak luput dari isu pemekaran wilayah, seperti pemekaran Kabupaten Mapia Raya. Penulis melihat beberapa dampak negatif dari DOB itu sendiri, yakni;

Pertama, pemekaran Kabupaten Mapia Raya sendiri tidak memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat di Tota Mapiha. Artinya bahwa seluruh kekayaan alam, tanah, hutan, dan seluruh alam semesta di tanah Mapia yang dijaga, dilindungi dan dipelihara baik oleh masyarakat Mapia sendiri sejak dahulu hingga kini di tanah Mapia menjadi sasaran eksplorasi dan eksploitasi hutan dan alamnya di tanah Mapia, sehingga dengan begitu roh dan kehidupan alam semesta beserta manusianya tidak bersama-sama dengan masyarakat adat di tota Mapiha;

Kedua, dengan adanya pemekaran wilayah baru, maka dimungkinkan akan adanya transmigrasi dari luar tanah Papua ke tanah Mapia, sehingga dengan begitu, secara besar-besaran dan dalam jumlah yang cukup tinggi, akan mengakibatkan penduduk masyarakat Tota Mapiha akan termarjinalisasi di atas tanah dan kekayaan alamnya di tanah Mapia;

Baca juga: Kearifan lokal orang asli Papua sebagai modal dasar pembangunan

Ketiga, dengan adanya pemekaran baru, maka akan ada militerisme di tanah Mapia. Artinya bahwa pemerintah pusat (Jakarta) dengan mengirimkan, Brimob, TNI/Polri, dan didirikannya pos-pos seperti kapolsek, koramil, dan lain-lain di sepanjang jalan dan di tengah-tengah tanah Mapia dapat membawa ketidaknyamanan bagi masyarakat di atas tanah Mapia;

Keempat, dengan adanya pemekaran baru di tanah Mapia, maka akan merusak ekonomi masyarakat. Artinya, bahwa dengan masuknya bisnis, dibangunnya pertokoan, supermarket, hipermarket dan lainnya. Maka dengan sendirinya, persaingan ekonomi masyarakat adat Mapia akan kalah bersaing;

Kelima, dengan adanya pemekaran juga dapat mempersempit ruang gerak pendapat umum. Artinya setiap aspirasi apapun dan dalam bentuk apapun akan dikekang, dibubarkan dan bahkan dihadang oleh aparat TNI/Polri, brimob dan lainnya. Apalagi sifatnya berkaitan dengan ideologi Papua Merdeka.

Penulis secara pribadi berpikir bahwa dengan adanya tindakan yang demikian akan menekan, memaksa kenyamanan dan ketentraman bagi kehidupan masyarakat adat Mapia di tanah Mapia;

Keenam, dengan adanya pemekaran menjadi pintu masuk bagi Kapitalisme dan Imperialisme.

Tanah Mapia sebagai ruamah dan mama bagi kehidupan orang Mee

Bertolak dari sejumlah dampak di atas, maka pada bagian ini penulis secara pribadi memberikan pemahaman dan pandangan tentang konsep tanah dan alam bagi orang Papua pada umumnya dan orang Mee, Mapia pada khususnya.

Bahwasanya, tanah dan alam bagi orang asli Mapia, ialah tanah sebagai rumah dan mama bagi seluruh kehidupan orang Mee di Mapia. Eksistensi tanah dan rumah dapat diartikan dan dimaknai sebagai dua hal pokok yang paling fundamental (mendasar) dan saling terkait antara satu dengan yang lainnya, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.

Konsep rumah dapat diartikan dan dimaknai bahwa rumah ialah tempat tinggal bagi manusia, alam, leluhur, dan yang lainnya, sedangkan, konsep mama dapat diartikan dan dimaknai sebagai seorang yang senantiasa menyediakan segala sesuatu, dan memberikan kehidupan bagi seluruh makhluk hidup, yakni manusia, alam, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.

Baca juga: Agama kaki tangan “Trinitas” abad 21 di Papua

Dalam kaitannya dengan ini, maka konsep tanah sebagai rumah dan mama tidak hanya dapat dipahami dari satu sisi. Melainkan dapat dimengerti dan dipahami dari kedua-duanya bahwa kedua-duanya bersifat kontributif (bernilai dan bermakna serta berarti) bagi keutuhan semua makhluk hidup.

Dalam pandangan yang demikian, yakni konsep tanah sebagai rumah dan mama bagi kehidupan umat manusia pada umumnya dan orang asli Mee-Mapia pada khususnya, Paus Fransiskus juga memandang bumi (tanah) dan alam sebagai rumah bagi seluruh kehidupan manusia. “Santo Fransiskus asisi yang mencintai alam semesta mendefinisikan bahwa alam sebagai rumah bagi makluh hidup. Semua makhluk hidup merupakan saudara-saudari yang memiliki satu bapa yakni Allah sang pencipta. Pandangan ini mengantar dia (St. Fransisku), untuk memperoleh nilai spiritual yang mendalam. Dalam karyanya Gita Sang Surya, Ia bersyukur sambil memuji dan memuliahkan Tuhan karena Tuhan menciptakan sadara-saudari dalam planet bumi:” (https://arsip.jubi.id/krisis-ekologi-dan-kemanusiaan-di-tanah-papua/).

Akhirnya, penulis menyimpulkannya bahwa berdasarkan beberapa alasan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa wacana pemekaran kabupaten Mapia Raya bukan solusi untuk menyejahterakan dan menyelamatkan masyarakat adat tota Mapiha dan segala harta benda serta kekayaannya di tanah Mapia.

Namun, pemekaran kabupaten Mapia Raya membawa malapetaka dan kehancuran bagi masyarakat adat di Tota Mapiha di tanah Mapia. Tolak wacana pemekaran kabupaten Mapia Raya di tanah Mapia.

“Terima pembentukan Daerah Otonomi Baru/Pemekaran (DOB), berarti Anda menerima ancaman terhadap keberadaan Anda. Minta pemekaran, berarti Anda mengancam diri sendiri” (Adama Russell Black).

Ada beberapa saran yang mau disampaikan oleh penulis pada kesempatan ini, diantaranya, ialah mengutip dari (dalam Surat Pernyataan Dan Sikap Dari Pelajar Mahasiswa-Mahasiswi RPM Simapitowa Dan Para Mahasiswa Mee Di STFT Fajar Timur), maka ada beberapa solusi yang ditawarkan kepada pemerintah Kabupaten Dogiyai. Karena, pemekaran Kabupaten Mapia Raya sendiri tidak memberi solusi bagi masyarakat Tota Mapiha, yakni memperbaiki wajah atau sistem pemerintah sendiri, yakni, mewujudnyatakan visi-misi “Dogiyai Bahagia”, memperbaiki sistem birokrasi, mengontrol (dan kalau bisa menutup) setiap aktivitas perjudian illegal (togel, rolex), penjualan minuman keras dan prostitusi, mengontrol transmigrasi illegal. Membatasi dan mengontrol perlakuan aparat keamanan terhadap masyarakat secara berlebihan.

Baca juga: Pengaduan konstitusional, keharusan dalam konstitusi

Memperbaiki wajah pendidikan, dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Dogiyai dengan menyediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan mahasiswa dan pelajar di setiap kota studi.

Membangun dan/atau memperbaiki asrama-asrama mahasiswa di berbagai kota studi dan sekolah-sekolah yang ada di Dogiyai. Menyiapkan dan mengakomodir kebutuhan tenaga pengajar (guru TK, SD, SMP dan SMA) putera-puteri asli Dogiyai. Pengangkatan guru-guru asli menjadi pegawai negeri sipil.

Membangun kesejahteraan ekonomi dengan baik, yakni menghidupkan ekonomi kerakyatan, menyediakan lapangan kerja, melindungi dan mengelola tungku api kehidupan. Dalam bidang kesehatan, yakni menyiapkan dan mengakomodir kebutuhan tenaga medis putera-puteri asli Dogiyai. Membangun dan/atau memperbaiki rumah sakit dan perumahan tenaga medis yang ada di Dogiyai. Menyediakan semua fasilitas yang dibutuhkan tenaga medis. (*)

* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timoteus Marten 

Referensi:

Seri-Dokumen-Gerejawi-No-98-LAUDATO-SI-1 (1).pdf

Jubi.co.id, link https://arsip.jubi.id/krisis-ekologi-dan-kemanusiaan-di-tanah-papua/. Diunduh pada Senin, 05 Oktober 2021. Pada pukul 20.00 WIT.

Baca dalam “Surat Pernyataan Dan Sikap Dari Pelajar Mahasiswa-Mahasiswi RPM Simapitowa Dan Para Mahasiswa Mee Di STFT Fajar Timur”

Adama, R.B. Pemekaran Mengancam Eksistensi Orang Asli Papua, Bahan Ajar UNIKAB. Jayapura: UNIKAB, Maret 2017

Related posts

Leave a Reply