Papua No. 1 News Portal | Jubi

(Sebuah refleksi eko-teologis)

Oleh: Zebedeus Mote

Derasnya arus globalisasi menembus batas-batas ketertutupan manusia, mulai dari pusat pemerintahan sampai ke pelosok-pelosok negeri ini. Perubahan-perubahan yang terjadi seiring bergulirnya waktu menyusup ke dalam seluruh dimensi kehidupan manusia.

Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu faktor penggerak lajunya perubahan ini. Kualitas pengetahuan manusia dari hari ke hari semakin canggih.

Segala sesuatu dapat dengan mudah diperoleh sesuai kebutuhan dan keinginan manusia. Kompetisi kepentingan antara perorangan bahkan kelompok demi sebuah nama baik dan popularitas kadang justru mengorbankan sesamanya yang lain. Di dalamnya segala kemungkinan dapat terjadi, baik kemungkinan yang akan berdampak positif, maupun dampak negatif bagi peradaban manusia selanjutnya.

Imbas dari kemajuan tersebut turut mempengaruhi semua dimensi kehidupan manusia sampai pada hal-hal mendasar.

Apa itu kearifan lokal ?

Jika ditelaah lebih jauh, kearifan lokal sendiri terdiri dari dua kata: kearifan dan lokal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), lokal berarti tempat, sedangkan kearifan berarti kebijaksanaan. Dengan ini, secara umum kearifan lokal dapat dipahami sebagai pandangan-pandangan, ide-ide, gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, dan bernilai baik, untuk diikuti oleh masyarakat setempat.

Kearifan lokal sendiri terbagi menjadi dua aspek, yaitu kearifan lokal yang berwujud nyata dan tidak berwujud. Kearifan lokal berwujud nyata misalnya, makanan khas, tarian adat, tanah ulayat, arsitektur, dan sebagainya. Sedangkan bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud seperti petuah, wejangan-wejangan yang disampaikan secara verbal dan turun-temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional (Jehuru, 2012: 15).

Berdasarkan bentuk-bentuk kearifan lokal yang telah digambarkan di atas, hal yang sama juga dimiliki oleh orang Papua. Mereka memiliki nilai-nilai budaya yang sangat luhur serta sumber daya alam yang kaya akan “susu dan madu”.

Kekayaan alam dan tradisi Papua tidak hanya sekadar menjadi sebuah kebanggaan di mata dunia, tetapi lebih dari pada itu memiliki nilai luhur bagi mereka sendiri. Segala sesuatu menyangkut kebudayaan dipandang sebagai subjek karena mereka telah menjadi satu kesatuan.

Sebagai contoh, orang Papua memahami tanah sebagai ibu. Tanah layaknya ibu yang memelihara anak-anaknya, tanah memberi segala sesuatu yang menjadi dasar-dasar bagi kehidupan, baik dimensi ekonomi, budaya, sosial, maupun dimensi spiritual yang tidak bisa begitu saja, bahkan tidak mungkin terukur dan tergantikan oleh uang.

Orang Papua melihat tanah sebagai subjek dan bukan objek yang dapat diperlakukan seenaknya. Tanah sebagai “ibu” merupakan bagian dari kearifan lokal itu sendiri.

Refleksi eko-teologis: Allah sebagai dasar hubungan manusia dan kearifan lokal

Allah sebagai Penciptalah yang memungkinkan adanya segala ciptaan. Ia pun sekaligus membentuk batas dan hukum, yang berisi perintah dan larangan bagi persekutuan makhluk ciptaan.

Kebenaran pertama, bahwa adanya segala ciptaan dimungkinkan oleh Allah menghantarkan kita kepada suatu gagasan persekutuan, di mana Allah merupakan dasar bagi segalanya: Ia menciptakan segalanya dengan daya kreatif-Nya.

Hubungan antara manusia dan alam ciptaan berasal dari berkat dan perintah Allah dalam Kejadian 1:28 untuk “menaklukkan” bumi dan “berkuasa” atas semua makhluk hidup. Ayat ini sangat bermakna karena segera mengikuti pernyataan Allah tentang manusia; bahwasannya mereka, laki dan perempuan, adalah segambar dan secitra dengan Allah.

Pernyataan Allah ini kadang disalahartikan oleh kedua pihak,  laki-laki dan perempuan, sebagai bentuk legitimasi atas perintah untuk “menaklukkan” dan “berkuasa”;  mengeksploitasi ciptaan lainnya secara semena-mena (Drummond, 2001: 19)

Setelah mencipta, Allah hadir dan tinggal bersama mereka di taman eden. Mereka membangun suatu hubungan harmonis dan damai. Dalam kedamaian persekutuan di antara ciptaan dan antara ciptaan dan Pencipta, Allah pun beristirahat, merasa tenang dan damai (bdk. Kej 2:1-3).

Kebenaran kedua, bahwa ia membentuk batas dan hukum yang berisi perintah dan larangan bagi persekutuan makhluk ciptaan. Hal ini sebenarnya sudah sedari awal mula ditetapkan oleh Sang Pencipta sendiri, dan secara simbolis diungkapkan oleh larangan agar “jangan makan buah pohon itu” (Kej. 2:16-17). Batasan dan hukum itu lebih dalam bermaksud agar makhluk ciptaan selalu berada di bawah kekuasaan Allah. Berada di bawah kekuasaan dan persekutuan dengan Allah maka segala ciptaan akan memperoleh ketenangan dan kedamaian. Oleh karena itu, batasan dan hukum yang berisi perintah dan larangan bagi persekutuan ciptaan menegaskan kondisi persekutuan yang tetap utuh bersama Allah.

Kebenaran-kebenaran inilah yang menyatakan dasar hubungan manusia dan alam. Hubungan manusia secara esensial dan eksistensial selalu merujuk kepada Allah. Allah menjadi rujukan utama untuk mengadakan relasi (Dister, 2004: 73).

Sebagai gambar dan citra Allah sendiri, manusia mewujudkan kebersamaan dengan Allah melalui keikutsertaannya dalam menata, menjaga dan memelihara dan mengembangkan bumi dan segala isinya demi kemakmuran dan kesejahteraan bersama dan keberlangsungan keutuhan ciptaan. Manusia juga memiliki martabat sebagai pribadi yang mampu mengenali dirinya sendiri, menyadari kebersamaan dirinya dengan orang lain, dan bertanggung jawab atas makhluk ciptaan lainnya (Majalah Gaiya, 2019: 3).

Kearifan lokal sebagai jati diri seharusnya diakomodir

Selama ini boleh dikatakan bahwa pembangunan di Papua sangat pesat. Fasilitas-fasilitas yang dibangun semakin mempermudah interaksi manusia satu dengan lainnya.

Pelosok-pelosok Papua semakin terbuka dengan perkembangan tersebut. Perumahan-perumahan, perkantoran-perkantoran, pasar, terminal, dan fasilitas lainnya membuka akses bagi terciptanya ruang transaksi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lainnya.

Berkaitan dengan pembangunan maka ada tiga aspek yang mestinya kita perhatikan, yakni: konstruksi, dekonstruksi, serta rekonstruksi. Ketiga konsep ini akan dijelaskan secara leksikal. Konstruksi yaitu menyangkut bangunan yang sudah ada (dalam segala aspek), dekonstruksi, yaitu menyangkut proses penghancuran bangunan yang sudah ada, sedangkan rekonstruksi yaitu pembangunan kembali bangunan yang sudah ada dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

Dalam kaitannya dengan ketiga aspek ini, kearifan lokal yang adalah konstruksi dari masyarakat setempat telah mengalami proses dekonstruksi dan juga rekonstruksi di dalam pembangunan. Tanah sakral adalah salah satu kearifan lokal. Kesakralan tanah pada suatu komunitas etnis tertentu sangat berhubungan erat dengan segala aspek kehidupan masyarakat itu sendiri.

Saat ini pemerintah gencar melakukan pembangunan di berbagai tempat. Pembangunan tersebut sebenarnya baik adanya, namun sangat disayangkan karena di saat bersamaan tanah-tanah sakral dihancurkan.

Tidak hanya dalam konteks tanah sakral Papua, tetapi juga proses dekonstruksi dan rekonstruksi terjadi hampir dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Alam, makanan khas, arsitektur, tarian khas, lagu-lagu daerah dan kearifan lokal lainnya semakin mengalami degradasi. Hal ini bukan saja akan berdampak bagi keberlangsungan hidup masyarakat saat ini, tetapi juga akan berdampak pada generasi-generasi selanjutnya. 

Oleh karena itu, menurut saya pembangunan yang tepat bukan berarti menghancurkan atau bahkan menghilangkan kearifan lokal yang sudah Tuhan anugerahkan di dalam tiap masyarakat adat di tanah Papua, tapi sebenarnya, memajukan potensi dan kekayaan yang sudah ada tersebut.

Untuk itu, pemahaman akan relevansi antara manusia Papua sebagai subjek sekaligus objek atas pembangunan dan kesakralan nilai kearifan lokal yang dimilikinya perlu diaktifkan, sehingga baik pemerintah, maupun masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal Papua sebagai landasan dalam pembangunan. (*)

Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timoteus Marten

Referensi:

Drummond, Celia-Deane. 2001. Teologi dan Ekologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Dister, Nico Syukur. 2004. Teologi Sistematika II. Yogyakarta: Kanisius.

Jehuru, John. 2012. Diktat Mata Kuliah Filsafat Budaya. Abepura: STFT “Fajar Timur”.

Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-3.

Majalah Gaiya Keuskupan Timika, Th XV/No 58.ed Januari-Maret 2019.

Leave a Reply