Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Soleman Itlay

Majikan dan budak itu seperti anjing dan kucing. Sedangkan agama itu seperti makanan yang menjadi tahi, yang pada waktu utuhnya di atas bejana itu harus diperebutkan oleh kedua hewan tersebut untuk memenuhi perut yang di dalamnya lagi kosong.[[1]] Kemudian menimbulkan kesakitan, kelaparan, dan ancaman kematian pada era globalisasi ini. Kembali tenang kalau sudah kenyang sebelum buang tahinya itu di atas kulit planet bumi surga kecil yang kini menjadi neraka terbesar di Indonesia paling timur—West Papua. [[2]][[3]]

Seolah-olah mereka harus ribut.[[4]]  Hanya untuk merebut, dan menguasai honai buatan manusia itu. Agar dia tinggal diam dan tenang di dalam kendali sang tuannya. Dengan demikian, binatang dan hewan yang berhasil kelak boleh mendapatkan perhatian, kasih sayang dan jalan sama-sama dengan tuannya. Tetapi dia yang lemah, tidak punya apa-apa, tidak memiliki uang dan kedudukan, akan dibuang jauh oleh sang penguasa ataupun dengan keberadaan seekor anjing yang ganas itu.[[5]]

Anjing itu mahkluk yang paling setia, atau mungkin lelaki pemberani dan lantang mengonggong kalau ada tamu dan kedapatan kombatan pencuri pada kapan saja—pagi, siang, sore dan malam. Dia suka menjaga rumah dan kadang kala mengikuti tuan kemana saja mereka pergi. Misalnya, ke kebun, berburu di hutan, meramu dan lainnya. Selayaknya itu kebiasaan agung dan terhormat yang diwariskan Allah melalui leluhur mereka, Austro Melanossoid. [[6]][[7]]

Juga para segala moyang dari 270-an suku di “pulau darah”, adalah orang-orang kulit hitam di kelas Z yang tidak diperhitungkan sama sekali di mata republik. [[8]] Karenanya mereka selalu disebut oleh manusia yang merasa lebih manusia kepada manusia lain dengan menyamaratakan mereka dengan kata “monyet, kera, kete, gorilla, pisang, kulit pisang, daun pisang dan masih banyak lagi.” [[9]][[10]]

Sedangkan kucing itu makhluk yang paling lemah dan memang lemah lembut. Seperti wanita yang tampak malu-malu dan atau tak ingin mempertontonkan aurat kemaluannya di permukaan bumi seperti lelaki juga. Ketidakberdayaannya membuat dia paling rentan menjadi korban penipuan, rekayasa, pemutarbalikan fakta dan kebenaran. Tak hanya atas nama orang-orang itu. Yang paling sadis adalah mengatasnamkan Tuhan, agama, kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, dll. [[11]]

Apapun alasannya kucing yang lemah tidak akan pernah menang. Tidak akan pernah kuasai di rumah itu. Anjing akan selalu mengusirnya. Dia hanya bisa memakan sisa-sisa makanan manusia, seperti hepuru, papeda, nasi, kue, tulang ikan, tulang babi, dan sejenisnya di lantai, kolong rumah dan tempat sampah itu.[[12]]  Itu pun nasib-nasiban kalau anjing itu tidur nyenyak, kehilangan kendali, atau pergi ke tempat yang jauh dari honai dan kompleks sekitarnya. [[13]]

Kucing hanya bisa leluasa ketika anjing mati. Tetapi selama ia masih hidup, bangun dan tidak kemana-mana, kucing tidak akan pernah bebas dan sandar di rumah itu. Entalah untuk mencuri makanan di dapur atau hanya sekadar menjilat makanan kotor dan basi di rumah itu .Itu pun sekali lagi, nasib-nasiban. Kalau tuan rumah itu baik hati dan punya belas kasihan, ia akan diberi makanan dan harapan untuk bertahan hidup selama beberapa waktu saja.

Tetapi kalau otoritas di rumah itu memandang kucing yang lemah, dan melarat itu seperti anjing melihatnya, hewan kecil itu akan lari. Pergi dengan penuh kesedihan. Andai saja dia bisa bicara dengan manusia, dan andai saja sang tuan rumah mengerti perasaan, ancaman kelapan dan kematian bagi kucing, dia akan mengeluarkan makanan dan memberi makan kepada kucing. Kalaupun anjing itu ada, dia kadang kala akan mengusir dan menjaga kucingnya makan sampai dia kenyang.

‘Tritunggal’ raksasa modern

Hubungan antara kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme sekarang sangat erat. Ketiganya tidak bisa saling melepaskan satu sama lain. Mereka seperti hubungan yang ada dalam Trinitas—yang dalam dogma Gereja Katolik: Bapa, Putera, Roh Kudus. [[14]] Gereja Katolik memahami bahwa ketiganya merupakan cara dan bentuk dimana Allah ada.

Imperialisme itu sumber segala kekuasaan di dunia—seperti Allah dalam konteks Trinitas. Sedangkan anak kandung kepercayaan imperialisme, yang lahir dan berakar dalam kehidupan umat manusia adalah kapitalisme—dalam Trinitas itu berkaitan dengan Putera. Sementara kolonialisme yang taruhan badan di lapangan, dalam konteks teologis tadi seperti Roh (Kudus) yang menentukan kapitalisme dan imperialisme mati atau tidak.

Sementara agama dan adat boleh disebut nadi dari kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme. Atau dengan kata lain disebut sayap kiri dan kanan dari seekor burung—kolonialisme atau roda yang bisa menggerakkan kendaraan—kapitalisme dan atau bahan bakar minyak atau oli yang menentukan kendaraan bisa berjalan—beroperasi atau tidak—imperialisme. Tak heran apabila pada dewasa ini penguasa, pengusaha dan perusahaan selalu mendekati dan jalan sama-sama dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh adat.

“Tritunggal” modern itu kalau hendak masuk, pasti akan mendekati satu orang pemuka agama yang bisa kompromi dan mendekati umat sekaligus masyarakat adat. Bahkan dimana ada konflik, tokoh-tokoh agama dan adat itu akan dipanggil lagi untuk mendekati dan meredakan suasana masyarakat adat religius minoritas pribumi Papua yang marah, benci, jengkel, takut, trauma, berduka, dll. [[15]]

Hari ini, kecil besar mulai tidak asing lagi mendengarkan istilah “hantu” kolonial, kapitalis dan imperialis.Mereka inilah yang sekarang mengendalikan dunia abad ke-18 hingga abad ke-21 ini. Hari ini mereka menjadi anjing-anjing peliharaan agama—kaum pemuka agama. Mereka bebas masuk-keluar dalam agama itu. Berselingkuh sana sini untuk mempertahankan kekuasaan, keutuhan, kedaulatan, dan bebas melakukan eksploitasi sumber daya alam dimana-mana, serta berbagi keuntungan atas nama agama.

Agama dan kolonial—agama dan kapitalis—agama dan imperialis, mereka saling dukung-mendukung, bahu-membahu, tolong-menolong, dan kuat- menguatkan. Persatuan keintiman mereka ini kini semakin menjadi nyata dan mengancam orang-orang yang senantiasa hidup dengan pakaian sederhana, kotor, robek, yang tak pernah beli odol untuk sikat gigi; yang tak pernah beli jarum dan benang untuk menjahit pakaian dan segala-galanya.

Pesatuan mereka menjadi kekuatan mereka. Posisi mereka hari ini membuat orang-orang yang buta aksara, menderita sakit-penyakit, putus sekolah akibat keterbatasan biaya, hidup dalam kelaparan dan kemiskinan, bahkan dalam ancaman di tempat pengungsian seperti di Nduga, Puncak Jaya, Puncak, Lanny Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Maybrat dan lainnya semakin lemah dan membahayakan.[[16]] Kondisi ini sadar atau tidak sadar, membuat mama-mama Papua harus jatuh dalam lubang marjinalisasi ekonomis.

Siapa pun dia tidak bisa berdusta atas nama Tuhan dan agama. Tidak bisa juga dikatakan bahwa pemuka agama itu netral dan agama itu independen. Coba lihat dari kasus di Keuskupan Agung Merauke (KAME).

Sebelum diangkat menjadi uskup agung setempat, yang bersamaan dengan isu rasisme Papua dan Indonesia yang hangat, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MCS bicara dan mengecam pelaku rasisme kepada orang Papua. Delapan hari setelah diangkat menjadi Uskup Agung KAME, Beliau langsung menekan MoU dengan PT Tunas Sawa Erma (TSE), tepatnya pada 5 Januari di kantor sekretariat KAME yang mencapolok hak-hak tanah adat milik masyarakat adat dan umat Katolik setempat.

Ini hanya contoh. Kalau mau menggali informasi yang sama di balik perusahaan sawit Keerom, konflik bersenjata di Puncak Jaya, Puncak, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Lanny Jaya, Nduga, Maybrat, dan lainnya punya benang merah yang kurang lebih sama. Di belakang konflik pasti ada kolonial, kapitalis, imperialis, tokoh agama dan adat.

Pada satu sisi mereka adalah pembawa kabar gembira. Tapi di lain pihak, mereka juga boleh dikatakan api atau bahan bakar minyak (BBM) dalam serangkaian konflik di Papua.

Mereka boleh menjadi pemadam kebakaran saat terjadi konflik tertentu, tetapi kalau disebut api susah. Bagaimana api mau memadamkan api? Tidak mungkin api dimatikan mati. Bagaimana BBM percaya diri menjadi air lalu berambisi memadamkan api dengan memanfaatkan nama Tuhan, agama dan kemanusiaan? Tidak bisa. Yang ada hanya memperbesar api dan membuat Papua yang dulu menjadi luka sebatas kulit, kini menembus hingga sampai di lubuk nurani batin, yang tak akan pernah bisa disembuhkan dengan kata minta maaf, bahan makanan, bantuan hewan, binatang, jabatan, uang, kehormatan dan lainnya. [[17]]

Memang harus diperjelas soal ini. Bahwa tidak semua manusia di Papua juga terlibat dalam air—Papua yang keruh ini. Namun, ada juga agama yang berjalan bersama umatnya—jatuh bangun sama-sama, merasakan manis pahit dan menjadikan suka-duka bersama umatnya. Bahkan dengan cara perselingkuhan itu cukup membantu kita dalam upaya menciptakan perdamaian. Upaya-upaya seperti itu sangat membantu, tetapi tidak akan pernah menyelesaikan akar persoalannya.

Buktinya, selama bertahun-tahun agama dan pemuka agama berjalan bersama orang Papua, terutama soal konflik yang tak kunjung reda. Mengapa demikian meski di bidang lain, seperti pelayanan pendidikan dan kesehatan boleh dikatakan berhasil? Masalahnya ada dimana?

Perlu ada ruang untuk diskusi dan evaluasi. Selanjutnya, mencari metode yang tepat guna untuk benar-benar menciptakan Papua yang bebas kekerasan dan kejahatan, pelanggaran HAM, dll.

Agama sesungguhnya bukan makanan rebutan

Padahal agama bukan bagi kue-kue yang murahan di tepian jalan Perumnas 3 Waena—yang menurut Komite Nasional Papua Barat jalan Mako M. Tabuni (MMT), yang terkena debu jalanan tak kelihatan, lalu orang-orang datang pagi-pagi dengan tergesa-gesa dengan ketakutan kehilangan kue kesuakaan mereka, membeli untuk sarapan dan tanpa mencucinya mereka menikmatinya dengan secangkir teh, kopi, susu, dan air hangat bening di rumah bersama keluarga masing-masing. Tanpa sadar kalau suatu hari bisa saja membuat mereka sakit, menderita, dan mati tak terduga pula.

Agama bukan gudang kekecewaan bagi mama-mama Papua yang berjualan pinang di trotoar jalan raya, di depan kios, ruko, Rumah Sakit Dok II Jayapura, dan toko-toko milik migran yang memiliki uang banyak, jabatan besar dan punya jaringan—komunikasi yang luas dengan anjing-anjing dan serigala, harimau dan singa bersayap seperti malaikat Gabriel, Mikael, dan Rafael. Agama juga seharusnya disebut-sebut dari bibir keluhan mama-mama yang berjualan di Pasar Youtefa, Sinakma, dan pasar lainnya di tanah ini.

Agama bukan makanan anjing dan kucing—materalistik yang harus diperebutkan dengan cara berselingkuh diam-diam. Bukan pula makanan yang harus menjadi tahi yang bau busuknya harus menyerang hidung dan membuat mereka yang ingin sandar untuk beristirahat tenang, dan menarik napas segar merasa tidak nyaman. Setelah melihat tahi yang bau busuk itu memenuhi segala sarang dan ruang-ruang yang dulu dibangun dengan harapan agar kalau burung-burung itu pulang kembali dapat tidur dengan nyenyak sentosa dan damai sejahtera.

Honai itu bukan budak dari majikan dan budaknya yang saling berebut pisang, keladi, dan kue pada saat mereka benar-benar lapar dan membutuhkan perhatian dari manusiannya.Tidak bisa meciptakan dunia semacam itu. Karena akhirnya itu akan merusak dinding, memecah-belah kaca, menghilangkan warna cat—corak khas dan bisa saja meruntuhkan sampai rata dengan permukaan bumi.

Yang paling ditakutkan

Pada saat itu yang paling ditakutkan adalah sains, ilmu sosialisme anti religius, komunisme, dan ateisme yang mencari kesempatan dan selalu menunggu bom kesempatan, guna mengambil alih perhatian, dan menciptakan ketergantungan semangat masyarakat dunia baru. Apa yang jauh dari harapan agama sendiri, jika mereka yang memegang kendali, maka bisa saja agama kehilangan muka dan kepercayaan di bawah permukaan bumi, termasuk Papua kelak.

Sebagai bentuk penghormatan kepada penguasa dunia, agama boleh saja tunduk kepada kekuasaan, karena dari situlah agama memang dilahirkan. Atau dengan kata lain, agama boleh saja menjunjung tinggi pesan Santu Paulus untuk harus tunduk pada perintah sebagai wakil Allah.[[18]] Namun, jangan pernah lupa pada roh dan semangat dasar pendirian agama. Umat beragama lebih tahu mengapa agama harus muncul di dunia ini.

Tujuan utama dan terutama kehadiran agama ialah untuk membela kaum yang paling terabaikan, terhina, dibenci, diteror, diintimidasi, ditangkap, disiksa, diculik, ditikam, dibunuh, ditembak, dipenjarakan, dan diproses hukum.

Agama sesungguhnya itu tempat pelarian mereka ini. Bukan semata-mata tempat perlindungan para penguasa—kolonial, mereka yang punya modal dan alat produksi—kapitalis yang senantiasa menguntungkan selebihnya kepada orang-orang miliarder—imperialisme di dunia yang memiliki saham dimana-mana.

Akhirnya agama harus menjadi tanah dan manusia Papua yang nyata. Yang tidak hanya tertulis di atas kertas, tetapi juga berakar dalam hati dan jiwa raga.Tidak hanya nampak di mulut dan pikiran, tetapi juga harus berani mengambil bagian dalam dinamika sosial pastoral.

Agama adalah rumah keadilan. Maka umat beragama harus menunjukkan sikap, pernyataan dan kebijakan yang adil—tidak rasis dan diskriminatif.

Agama atau pun pemuka agama di Papua tidak harus bersikap berat sebelah. Apalagi lari dari kenyataan. Tidak juga menjadi munafik, termasuk pengkhianat kabualan (penipu). Dia harus menunjukkan dirinya sebagai orang tua dari segala sesuatu di hadapan Tuhan dan alam semesta. Dia tidak bisa malas tahu ketika anak-anak manusia bertengkar, berambisi dan menimbulkan kejahatan, yang berujung pada penciptaan dunia neraka bercampur surga modern yang kontradiktif.

Semua orang sadar bahwa agama menjadi tempat pelarian umat: benteng terakhir umat dan tempat perlindungan umat. Bukan sebaliknya, tempat rahasia untuk pemuka agama dan kolonial, kapitalis dan imperialis yang menyepakati sesuatu secara diam-diam, yang sifatnya merugikan masyarakat adat pribumi. Pemuka agama di Papua harus melakukan evaluasi kolektif dan memperjelas posisi keberpihakannya di tengah-tengah realitas.

Hari ini semua orang di Papua membutuhkan peran dan perhatian khusus dari agama. Pemuka agama tidak harus melakukan kampanye “Papua Penuh Damai” yang “menyangkal realitas”.[[19]]  Tidak harus juga menunggu api kekerasan dan kejahatan menghantui tanah air, yang katanya telah diberkati oleh Tuhan ini. Tidak perlu menunggu kebakaran, kemudian ingin menjadi “pemadam kebakaran”.

Harus kembali pada roh pendirian agama

Agama Katolik dan Protestan (sebagai agama mayoritas di tanah ini) bukan pot toilet, apalagi tempat sampah. Bukan pula perut dan tali perut yang berisi tahi. Agama adalah rumah kebenaran, kejujuran, keadilan, dan perdamaian—tempat orang mencari semua itu.Terutama orang yang lemah, miskin, sakit, menderita, tersiksa, terpinggirkan, tersingkirkan, teraniaya dan tertindas. Karena untuk merekalah Yesus Kristus meletakkan dasar honai Nasrani di pundak Santo Petrus.[[20]]

Konstatinus I melihat ada perlakuan buruk terhadap orang-orang yang menjadi korban dari masa ke masa. Dia melihat ketidakadilan, diskriminasi rasial dan kejahatan ambiuguisitas dari kaum raja-raja, bangsawan, dan aristokrat dimana-mana, yang menyeret masyarakat budak terpaksa harus hidup sakit-sakitan, sengsara, menderita, dan mati sana sini tanpa kendali di Spanyol, Potugis, Prancis, dan lainnya, yang dulu masih bersentuhan dengan imperium Romawi. [[21]][[22]]

Bahkan orang-orang yang dipandang sebelah mata oleh manusia dan diutamakan oleh Tuhan itulah yang Konstatinus I secara resmi mendirikan agama pada 312 SM. Dengan kata lain, agama Nasrani dibentuk bukan samata-mata untuk membela orang yang punya tanah, usaha, modal, alat produksi, dan kaya raya. Tetapi untuk membela dan melindungi kaum yang lemah, miskin, sakit, menderita, tersiksa, terpinggirkan, tersingkirkan, teraniaya, dan tertindas.[[23]]

Karenanya, Konstatinus I menjadikan salib Yesus Kristus sebagai simbol kelemahan, kekurangan, keterbatasan, kemiskinan, kesakitan, penderitaan, perbudakan, ketidakdilan, pembantaian, pembunuhan, kekerasan, kejahatan, kematian dan pemusnahan. Dengan realitas itu bertujuan mencari jalan kebenaran, keadilan, perdamaian, persatuan, kesejahteraan, dan lain sebagainya. Ini sesungguhnya roh dan semangat dasar dari agama Katolik dan Protestan di dunia.

Sekarang waktu yang tepat

Sekarang waktunya yang tepat untuk meletakkan perhatian utama kepada kaum yang lemah, miskin, sakit, derita, terpinggirkan, tersingkirkan, teraniaya, dan tertindas. Karena memang untuk itulah Yesus Kristus datang, Santo Petrus mendapat kepercayaan memegang kunci kerajaan surga, gereja didirikan pada 2000 tahun lalu dan untuk merekalah misionaris Eropa, Ottow dan Geisller datang dari jauh-jauh (Jerman) untuk membuka dan memberkati tanah Papua pada 5 Februari 1855 di Mansinam, Manokwari, Papua Barat.[[24]]

Kalau ingin benar-benar sayang terhadap tanah ini dan manusia yang sekarat di tanah ini, mari kita membuka hati, pikiran dan jiwa raga untuk saling mengaku dan meminta maaf satu sama lain—melakukan rekonsiliasi besar-besaran. Memberikan kepercayaan penuh kepada orang Papua untuk mengatur dirinya, memimpin dirinya dan mmembangun tanah airnya sendiri.

Bentuk organisasi agama ini dan itu—di sana sini juga percuma. Semua akan sia-sia walaupun bikin dengan ilmu pengetahuan dan melibatkan sejumlah doktor dan profesor dari mana-mana. Bangsa ini akan bangkit dari dirinya untuk memimpin dirinya sendiri. Pemuka agama harus perhatikan pesan Isak Samuel Kijne ini. Jangan lagi putar jalan sana-sini. Carilah formula untuk membuat orang Papua bangkit dan memimpin dirinya.

Bukan berarti anti migran Papua dan Indonesia. Bicara tentang nubuat Kijne, termasuk kita yang lahir-besar, yang darahnya tumpah dan orang tua kandung, serta sanak saudaranya meninggal dunia dan kubur di tanah ini. Kita semua punya kewajibaan moral yang sama, untuk mencintai tanah dan sesama di tanah ini dengan hati. Sampai maksud Tuhan lewat Pendeta Kijne terwujud dalam misteri Ilahi.

Mari bersama-sama angin yang menyegarkan tubuh dan memadamkan api. Juga mari menjadi air yang membersihkan tubuh dan luka. Bahkan menjadi air untuk memadamkan api dan menyejukkan tanah air yang kering dan benar-benar gersang dan panas dari waktu ke waktu, dari masa ke masa dan generasi ke generasi. Mari tanam pohon cinta kehidupan itu untuk membuat surga tak kehilangan debit mata air, kekeringan, haus dan penderitaan. (*)

Penulis adalah warga Papua, tinggal di Kota Jayapura

Daftar bacaan:

[[1]]Bandingkan dengan apa yang dikatakan Berstrand Russell, bahwa Filsafat seperti lahan yang harus diperebutkan antara ilmu pengetahuan—sains dan agama dalam buku “Sains, Agama dan Filsafat”.

[[2]]Alam Papua dulu memang surga kecil, tetapi sekarang semakin menjadi neraka besar dan manusiannya pun hidup dalam kemiskinan, pengangguran, kekerasan dan kejahatan, pelanggaran HAM dan lainnya.

[[3]] Istilah surga kecil yang jatuh ke bumi ini dipopulerkan oleh Edo Kondologit, seorang penyanyi asal Sorong, Papua Barat dalam lagu yang berjudul “Tanah Papua”. Kondologit yang sama mengambarkan neraka di Papua melalui lagu lainnya yang sepenggal liriknya berbunyi: “kami tidur diatas emas, berenang di atas minyak, tapi bukan kami punya, semua anugerah itu kami hanya berdagang buah-buah pinang—Harus ada perubahan”.

[[4]] Mereka adalah penguasa dan pribumi minoritas yang lemah—sekarat.

[[5]] Anjing identik dengan kelompok penguasa yang kuat, berani, punya segalanya dan bisa melakukan apa saja bersama siapa saja. Sedangkan tipikal kucing adalah hewan yang memiliki latar belakang sangat lemah, tidak mampu dan dia hanya bisa selamat apabila memilih jalan yang sulit untuk dikejar oleh seekor anjing yang mengejarnya.

[[6]]Prof David Lambert, ahli evolusi dan genetika dari Australian Research Centre for Human Evolution Griffith University, Queensland, Australia, dalam seminar di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Rabu (8/3) menyampaikan bahwa leluhur orang Papua dan Aborigin berpisah sekitar 60.000 tahun lalu.

[[7]] Baca berita lebih lanjut di sini https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2017/03/09/riset-perkuat-asal-orang-papua-dari-afrika?status=sukses_login&status_login=login&isVerified=false; diakses oleh Soleman Itlay pada Sabtu, 14 Agustus 2021 pada pukul 15:45 WIT.

[[8]] Pendeta Benny Giyai biasa sebut orang Papua itu bangsa kelas dua. Sedangkan Philip Karma menggambarkan perlakuan Indonesia terhadap Indonesia ini “seakan kitorang ini binatang”. Ini penuh dengan rasisme.

[[9]] Orang Papua mengalami ini dimana-mana, baik di kampus, sekolah, gereja, jalan raya, pasar, lapangan bola, peradilan hukum, dan lain sebagainya.

[[10]] Baca juga doa Doa Angelus dari Paus St. Yohanes Paulus II tertanggal 26 Agustus 2001. Paus berkata: “rasisme adalah dosa yang merupakan pelanggaran serius terhadap Tuhan.

[[11]] Ini macamnya pendekatan politik etis lama yang diwariskan Yunani Kuno, iemperium Romawi dan bakal penguasaa saat ini, disini.

[[12]] Hepuru yang dimaksud disini tentang petatas atau uji jalar dalam bahasa Hugula—dialeg dari sub suku Itlayhisage.

[[13]] Belajar dari pengalaman anjing-anjing dan kucing di rumah

[[14]] Baca Doktrin Trinity dalam Konsili Nicea—Nicea Creed—Pengakuan Iman Nicea (AD 325); DITEGUHKAN KEMBALI DALAM Konsili Konstatinopel (AD 381) dan digaungkan pada Konsili Calcedon (AD 451).

[[15]] Bisa juga disebut penyuci tangan atau petugas “cebo” dari pelaku yang berasal dari “teroris legal”.

[[16]] Masyarakat sipil dilaporkan mengungsi ke hutan-hutan, perbukitan, di balik gunung, dan ke daerah lain untuk selamatkan diri. Mereka meinggalkan kampung halaman, gereja, sekolah, pos keshatan, ternak, kebun dan harta benda lainnya.Banyak ibu-ibu yang hami dan anak-anak dibawah umum dilaporkan meninggal dunia akibat konflik bersenjata, operasi militer dan demi kepentingan eksploitasi sumber daya alam di daerah-daerah tersebut.

[[17]]Luka di kulit bisa sembuhkan dengan obat, terapi dan lain sebagainya. Tetapi kalau sudah menembus ke dalam batin, jangan harap dia akan sembuh. Dia akan menjadi luka bernanah kekal dalam bingkai republik Indonesia.

[[18]] Baca dalam Roma 13:1-7; Matius 22:21; Markus 12:17 dan; Lukas 20:25.

[[19]] Sebaiknya gereja meletakan persoalan di depan, mengaku kenyataan bahwa Papua bukan penuh damai, tetapi penuh dengan kekerasan dan kejahatan, kemiskinan dan pengangguran, pelanggaran HAM dan lian seterusnya. Supaya dengan perspektif seperti itu akan menarik perhatian orang agar mencari jalan keluar untuk menciptakan Papua yang sungguh-sungguh damai seperti dulu—walaupun penuh dalam “kegelapan”.

[20] Baca Matius 16:19; Matius 18:18 dan; Yohanes 20:23.

[[21]] Lihat penyebaran Kristen dengan pedang kolonialisme dan imperialisme pada abad ke-15-20 di Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, dan Prancis yang menjajah Afrika, Asia dan Amerika untuk kepentingan emas, Tuhan dan kejayaan.—GOD—God Oil Dollar.

[[22]] Coba bandingkan dengan bagaimana Inggris menjajah bangsa Aborigin hingga punah di Australia di http://www.sydneyline.com/Terra%20Nullius%20%uses.htm.

[[23]] Bandingkan dengan Injil Matius 17:14-21 dan Lukas 18:35-43.

[[24]] Jangan lupa ingat juga dengan pesan pendeta Isaak S.Kijne di Wasior, Teluk Wonda, pada 25 Oktober 1925: “Di atas batu ini, saya meletakkan peradaban orang Papua sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.

Leave a Reply