Pembubaran aksi tolak RUU Otsus Papua pada Rabu membungkam demokrasi

Ilustrasi pengadilan Papua
Foto ilustrasi - pixabay.com

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua memprotes keras pembubaran aksi damai mahasiswa yang menolak rencana pengesahan Rancangan Undang-undang atau RUU tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua di Kota Jayapura, Papua, pada Rabu (14/7/2021) kemarin. Langkah polisi membubarkan aksi itu dinilai Koalisi sebagai pembungkaman demokrasi di Papua.

Dalam keterangan pers tertulisnya, Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua menyatakan polisi tidak memiliki dasar hukum untuk membubarkan aksi damai Solidaritas Mahasiswa dan Rakyat Papua Menolak Otsus Jilid II pada Rabu kemarin. Pasalnya, Solidaritas Mahasiswa dan Rakyat Papua Menolak Otsus Jilid II telah mengirimkan surat pemberitahuan demonstrasi ke Kepolisian Resor Kota Jayapura.

Read More

“Pada prinsipnya, kewenangan polisi mengawal implementasi hak demokrasi warga negara, [sebagai mana] diatur dengan tegas pada Pasal 13 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat). Dengan berpegang kepada prinsip ketentuan UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat,  Solidaritas Mahasiswa dan Rakyat Papua Menolak Otsus Jilid II mengelar aksi damai pada tanggal 14 Juli 2021, dengan agenda Tolak Otsus. Aksi damai dilakukan di beberapa tempat, baik di [Kampus] Universitas Cenderawasih [atau Uncen] Waena, [Kampus] Uncen Bawah, dan Dok 9, dengan tujuan menyerahkan aspirasi ke DPR Papua. Namun rencana itu tidak sempat terjadi, karena aksi demonstrasi dibubarkan [dan] maasa aksi diangkut polisi ke Mapolresta Jayapura,” demikian keterangan pers tertulis Koalisi.

Baca juga: Hipmapas tolak pengesahan RUU Otsus Papua

Koalisi menilai pembubaran dan penangkutan 23 mahasiswa peserta aksi ke Mapolersta Jayapura  menunjukan fakta pembungkaman ruang demokrasi atau pelanggaran jaminan hak setiap orang untuk berkumpul dan berpendapat dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Koalisi menyatakan warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum sebagaimana diatur Pasal 5 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat. Aparat kepolisian juga dinilai Koalisi melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standart dan Pokok-Pokok Hak Asasi Manusia dalam Tugas-tugas Kepolisian.

Koalisi menyatakan 23 mahasiswa yang sempat ditangkap telah dibebaskan kembali pada Rabu pukul 17.46 WP. Akan tetapi, Koalisi menyatakan sejumlah aparat keamanan melakukan tindakan represif, sehingga ada lima peserta aksi yang mengalami luka-luka. Sejumlah tiga dari lima mahasiswa yang mengalami luka-luka itu mengalami kekerasan di Kampus Uncen Abepura. Seorang mahasiswa lainnya mengalami kekerasan di Kampus Uncen Waena, dan seorang mahasiswa lainnya mengalami kekerasan di Dok 8.

“Tindakan represif di atas secara jelas-jelas menunjukan adanya fakta pelanggaran hukum pidana yang terjadi, baik tindak pidana pengeroyokan sebagaimana diatur pada Pasal 170 KUHP dan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur pada Pasal 351 KUHP. Karena yang melakukan tindakan itu adalah oknum aparat keamanan, kekerasan itu merupakan pelanggaran kode etik sebagaimana diatur Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Kepolisian Negara Republik Indonesia,” demikian keterangan pers Koalisi.

Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua selaku kuasa hukum Solidaritas Mahasiswa dan Rakyat Papua Menolak Otsus Jilid II meminta Kapolri memerintah Kapolda Papua untuk mengimplementasikan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standart dan Pokok-Pokok Hak Asasi Manusia dalam Tugas-tugas Kepolisian. Koalisi juga meminta Kapolda Papua segera memerintahkan Direskrimum Polda Papua untuk menangkap dan memproses oknum anggota polisi yang telah melakukan tindakan pengeroyokan dan penganiayaan para mahasiswa.

“Kapolda Papua segera perintahkan Propam Polda Papua untuk menangkap dan memproses oknum anggota polisi yang telah melakukan tindakan pelanggaran Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003. [Kami juga meminta] Kepala ORI Perwakilan Papua untuk memantau dugaan mal atministrasi yang terjadi dalam kasus Penerbitan Surat Perihal : Jawaban Tidak Diterbitkannya STTP yang tidak sesuai dengan perintah Pasal 13, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,” demikian keterangan pers Koalisi. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply