Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Ningdana O*
Kehadiran Otonomi Khusus atau Otsus Papua sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua di West Papua bukanlah hal yang niscaya. Otsus hadir karena ada hubungan kausalitas antara Pemerintah Indonesia dan Orang Asli Papua (OAP).
Perlu diketahui dan harus digarisbawahi, bahwa otsus ditawarkan bukan karena itikad baik Pemerintah Indonesia terhadap OAP dan bukan karena adanya kemauan OAP akan pentingnya otsus.
Namun, otsus ditawarkan kepada rakyat West Papua sebagai penyelesaian menang-menang (win-win solution) atas masalah status politik West Papua, sebab rakyat West Papua pada saat itu menuntut penentuan nasib sendiri (self determination), bukan otonomi khusus ataupun kekhususan lainnya.
Tuntutan ini pun bukan hanya karena akumulasi dari kekecewaan terhadap pembangunan di West Papua semenjak dianeksasi secara paksa ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi tuntutan penentuan nasib sendiri dicanangkan atas alasan mendasar dan krusial lain di dalamnya, seperti sejarah kelam, pelanggaran HAM dalam 4 dekade, masalah eksploitasi sumber daya alam dan perbedaan kebudayaan, ras, etnis dan bahasa (Bdk. Yoman: 2007, hlm. 123).
Otsus dan nasib OAP
Berbicara tentang otsus berarti berbicara tentang nasib rakyat dan bangsa West Papua. Semenjak otsus diberikan kepada OAP dalam perspektif arah juang, penulis secara ekstra hati-hati dan konsekuen menyatakan, bahwa nasib rakyat dan bangsa West Papua dewasa ini tidak jauh beda dengan nasib sebelum otsus diberikan.
Bagaimana tidak, penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat belum juga diselesaikan secara tuntas hingga tulisan ini dibuat.
Ironisnya Pemerintah Indonesia tinggal memberikan janji tanpa ada sebuah penyelesaian sesuai prosedur hukum yang berlaku di Negara Indonesia. Seharusnya, jika benar-benar otsus diberlakukan di West Papua, kasus-kasus berat semacam pelanggaran HAM sudah menjadi sebuah keharusan untuk diselesaikan.
Baca juga: Penyiksaan membunuh rasa kemanusiaan
Para pelaku kasus pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan massal oleh aparatur negara (baca: TNI dan Polri) harus diproses sesuai prosedur hukum yang berlaku di negeri ini.
Sebagai warga negara yang baik, apalagi penegak hukum dan penjaga keamanan serta keutuhan negara, aparat negara harus ada pengakuan di depan para korban (dan keluarga korban) akan pembunuhan yang telah mereka lakukan terhadap OAP, hingga pada tahap kompensasi sesuai dengan tuntutan para korban.
Hal ini dilakukan supaya ada efek jera bagi aparatur negara, untuk tidak melakukan hal serupa yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan secara berlebihan di luar hukum, seperti melakukan pembunuhan secara membabi buta, seakan OAP tidak punya harga dan nilai kemanusiaan seperti manusia pada umumnya (dehumanisasi).
Salah satu contoh tidak adanya upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM adalah kasus Wasior Berdarah 13 Juni 2001. Menurut salah satu anggota Komnas HAM RI, Amirudin, Komnas HAM kesulitan mendapatkan sejumlah dokumen Wasior, contohnya, dokumen kepolisian.
Dokumen itu akan mudah didapat seandainya Kejaksaan Agung yang meminta. Hal-hal yang diminta Jaksa Agung itu kan hal-hal yang kalau diminta penyidik akan bisa di dapat dengan cepat. Kalau Jaksa Agung yang meminta dokumen itu sebulan dua bulan pasti dikasih” (SKPKC, Fransiskan Papua 2019: hal 114).
Deskripsi singkat terkait kasus pelanggaran HAM berat yang tidak pernah diselesaikan dan hanya meninggalkan janji manis seperti yang dipaparkan di atas, lebih terkesan bahwa pemerintah hanya berputar atau jalan di tempat.
Terlepas dari itu, hal tersebut di atas juga menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia gagal dalam mengimplementasikan otsus sesuai UU Nomor 21/2001, sebab nasib rakyat dan bangsa West Papua masih berada di persimpangan jalan.
Otsus sebagai tali pengikat antara OAP dan Pemerintah Indonesia
Berdasarkan hubungan kausalitas tadi sudah jelas diketahui oleh sebagian besar OAP yang sadar dan punya nasionalisme Papua yang tinggi. Bahwasanya otsus sebagai tali pengikat yang menahan OAP untuk menentukan nasib sendiri, sebab, tidak ada hal lain yang menjamin OAP untuk merasakan kehadiran Pemerintah Indonesia di West Papua selain penindasan yang dialami selama ini.
Eksistensi Pemerintah Indonesia telah ditunjukkan kepada OAP lewat otsus dan sebagian besar OAP telah merasakan kehadiran Pemerintah Indonesia yang begitu tamak, kejam dan keji lewat aparat (militer) negaranya, yang juga adalah wajah asli Pemerintah Indonesia itu sendiri.
Bagaimana tidak, rakyat dan bangsa West Papua serta seluruh solidaritas pejuang demokrasi, tidak pernah mendapat kesempatan yang wajar, untuk mengungkapkan isi hatinya secara terbuka, jujur, damai dan demokratis.
Ambil saja contoh kasusnya, di Expo-Waena, Jayapura, 15 Agustus 2020, aparat negara Indonesia bertindak secara represif lalu membubarkan massa aksi yang melakukan demonstrasi untuk menggugat New York Agreement sebagai perjanjian yang juga telah dinilai membawa malapetaka bagi rakyat dan bangsa West Papua.
Perjanjian tersebut juga dinyatakan ilegal sebab tidak adanya keterlibatan OAP sebagai pemilik hak ulayat atas Tanah West Papua, dalam melakukan kesepakatan mengenai penyerahan Tanah West Papua ke PBB lewat UNTEA, kemudian diserahkan ke pemerintah Indonesia.
Baca juga: Papua tuntut kontrak politik baru
Dari hal seperti ini telah menunjukkan, bahwa otsus hadir hanya sebatas pajangan (baca: untuk rakyat jelata) yang mengatasnamakan mayoritas OAP. Sedangkan penikmat otsus adalah sebagian kecil OAP yang tergabung dalam payung pejabat pemerintah NKRI, terlebih khusus para borjuasi lokal yang bermain di garis politik dan investasi.
Tidak heran jika hasil dari implementasi otsus tidak pernah dirasakan oleh OAP secara menyeluruh dan merata, sebab, otsus merupakan rancangan Pemerintah Indonesia yang mengesampingkan aspirasi rakyat dan bangsa West Papua, lalu secara sepihak merumuskan otonomi daerah lewat Tap MPR.
Hal ini pernah dibahas dalam draft kerangka acuan dialog nasional, tepatnya draft terpadu/4 bahwasanya “Pemerintah Indonesia menghilangkan aspirasi rakyat dan bangsa West Papua yang tercantum dalam draft terpadu/3 dan mematok dialog dalam koridor NKRI dengan fokus pada Otonomi Daerah sesuai dengan Tap MPR No.XV/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia” (Alua, 2002: hlm. 30).
Dari hal-hal seperti ini bisa diasumsikan bahwa otsus hadir hanya sebagai tali pengikat OAP dari Pemerintah Indonesia.
Socratez Sofyan Yoman pernah menyatakan bahwa otonomi khusus ibarat perahu yang sedang berlabuh di lepas pantai yang diikat dengan sebuah tali penahan. Daratan adalah Pemerintah Indonesia sedangkan perahu adalah orang asli Papua, sedangkan talinya ialah otonomi khusus (Yoman, 2007: hlm. 130). Dengan demikian, otsus telah berkamuflase dari otonomi khusus menjadi otonomi kasus. (*)
Referensi:
Alua, Agus A. 2002. Seri Pendidikan Politik No. 02. Jayapura: Sekretariat Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian STFT Fajar Timur.
Fransiskan Papua, SKCKP. 2019. Papua Bukan Tanah Kosong. Jayapura: SKCKP Fransiskan Papua.
Yoman, Socratez Sofyan. 2007. Pemusnahan Etnis Melanesia. Jayapura: Cendrawasih Press.
* Penulis adalah aktivis kemanusiaan dan anggota Aplim-Apom Research Group (AARG)
Editor: Timoteus Marten