Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Masyarakat adat suku Moi di Sorong, Papua Barat mempertanyakan status tanahnya setelah gugatan dari perusahaan sawit dimenangkan Bupati Kabupaten Sorong di PTUN Kota Jayapura. Masyarakat adat suku Moi berharap tanah mereka segera dikembalikan Pemerintah Kabupaten Sorong agar dapat dikelola secara mandiri.
Hal itu disampaikan Pemuda Adat Malamoi, Ambo Klagilit, dalam acara webinar “Pencabutan Izin, Land Bank dan Masa Depan Masyarakat Adat” yang diselenggarakan Pusaka dan Greenpeace Indonesia, pada Kamis (24/02/2022).
Klagilit menuturkan bahwa sebelumnya masyarakat adat suku Moi tidak mengetahui izin pemberian wilyah hutan adat mereka kepada perusahan sawit. Masyarakat baru mengetahui setelah adanya gugutan dari pihak perusahan sawit kepada Bupati Sorong.
Oleh sebab itu, menurut Klagilit seharusnya Pemerintah Kabupaten Sorong harus mempunyai sikap yang jelas mengembalikan tanah-tanah adat itu setelah memenangkan gugutan di PTUN Jayapura. Ini juga sebagai wujud implementasi terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hukum Masyarakat Adat Moi.
“Di beberapa diskusi memang Bupati Sorong menyampaikan bahwa tanah itu dikembalikan kepada masyarakat adat. Tapi sampai sekarang belum ada kebijakan yang nyata untuk mengembalikan tanah itu kepada masyarakat adat,” ujarnya.
Klagilit menyampaikan masyarakat berharap pemerintah segera mengembalikan tanah tersebut sehingga masyarakat adat Moi dapat mengelola secara mandiri apa yang ada di wilayah adatnya. Sebab jangan sampai masyarakat kemudian berpikir ada usaha menggeserkan satu perusahaan terus memasukan perusahaan lain. Atau sengaja dibiarkan atau ditelantarkan tanah-tanah ini kemudian dikuasi oleh negera misalnya sistem bank tanah.
“Itu harapan dari masyarakat adat Moi kepada pemerintah sehingga tanah-tanah itu tidak dikuasai negeri lalu negara seenaknya mau mengurus dan mengatur. Kalau kita melihat kepada sistem bank tanah kemudian tanah-tanah yang telantar itu kembali di ambil alih bank tanah.” katanya.
Walapun telah menang di pengadilan, menurut Klagilit saat ini banyak tantangan yang dialami mereka yang berjuang soal masyarakat adat di Sorong. Karena secara dukungan politik masyarakat adat masih diabaikan, masih juga terjadi penerobosan dan perampasan-perampasan lahan.
Klagilit menilai belum ada usaha serius dari pemerintah untuk kemudian melindungi masyarakat adat. Misalnya di Kabupaten Sorong sudah ada peraturan daerah tetapi kasus perampasan lahan, penerobosan hutan masih kerap terjadi terhadap masyarakat adat di Kabupaten Sorong.
“Kurang kontrolnya pemerintah ini yang membuat masyarakat terus menjadi korban atas inventasi-inventasi yang masuk. Selain itu juga tidak ada pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap investor atau perusahan-perusahan yang hari ini sedang berinvestasi di wilayah Kabupaten Sorong,” ujarnya.
Baca juga: Sengketa tanah, tua-tua adat Moi sumpah adat
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof. Maria S. W. Sumardjono, mengatakan dalam UU Cipta Kerja tidak mengatur tentang masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat hanya ‘disebut’ dalam satu atau dua rumusan pasal dalam beberapa klaster ketika tanah atau wilayah masyarakat hukum adat berpotensi dimanfaatkan sebagai lokasi invenstasi.
Dengan kata lain, masyarakat hukum adat dan wilayahnya di pandang sebagai ‘objek’ dan bukan ‘subjek’ dalam hubungan dengan transaksional dengan pihak ketiga yang bermaksud memperoleh tanah ulayat masyarakat hukum adat.
“Ini buktinya (masyarakat adat) dicuekin,” katanya. (*)
Editor: Dewi Wulandari