Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Program minyak goreng murah pemerintah justru menimbulkan permasalahan baru khususnya di Kota Jayapura, Papua, mulai dari ketersediaanya hingga harga jualnya dibanderol mahal.

Walaupun pemerintah telah menetapkan harga eceran tertinggi (HET), namun dalam penerapannya di kalangan pedagang masih menjual minyak goreng dari stok yang lama. Kalaupun ada, pengambilan dibatasi dengan harga mahal di distributor.

Kenaikan harga minyak goreng lantas membuat pembeli dan pedagang mengeluh. Tidak hanya itu, jumlah pembeli minyak goreng ikut menurun. Bahkan tak jarang pembeli curhat ke pedagang soal harga dan kelangkaannya.

“Sejak diberlakukannya minyak goreng satu harga [subsidi], saya sudah jarang menjual minyak goreng murah. Karena saya jualnya sesuai dengan harga yang saya ambil dari distributor, kalau mahal maka saya juga jual mahal,” ujar Makmur di Pasar Sentral Hamadi, Kamis (24/2/2022).

Dikatakan Makmur, minyak goreng subsidi dari pemerintah seperti minyak Bimoli sudah kosong. Rata-rata pedagang menjual stok lama, meski harga mahal pembeli bersedia membayarnya karena sangat dibutuhkan.

Makmur mencohtohkan, minyak goreng jenis Seira, Mubarok, dan Sabrina, yang harga normalnya Rp17.000 satu liter, kini dijual diharga Rp23 ribu satu liter. Bila dijual dalam eceran, setengah liternya Rp10 ribu.

“Pengambilan dibatasi maksimal 5 karton isi [satu kartin isi 12 bungkus atau 12 liter], minimal 2 karton. Itupun kalau ambil tidak hanya minyak saja baru kasih harus ada barang lainnya yang harus dibeli. Ada juga warga yang komplain, mau bagaimana kami ikut sesuai harga pasar,” ujar Makmur.

Makmur berharap kelangkaan dan harga jual minyal goreng mahal segera teratasi, karena banyak warga yang mengeluh khsusunya yang ekonomi lemah. Begitu juga dengan pedagang terkena imbasnya akibat berkurangnya pembeli.

“Pembeli itu pastinya tidak hanya beli satu jenis saja, ada barang lain yang dibeli. Kalau tidak ada yang dibutuhkan jenis barang yang dicari tentu ini mengurangi pendapatan juga. Harus ada solusinya sehingga warga bisa menikmati harga-harga barang yang tidak menguras kantong,” ujar Makmur.

Baca juga: Satu harga minyak goreng di pasar tradisional berlaku mulai Februari 2022

Salah seorang pembeli, Milka, mengaku keberatan dengan kebijakan pemerintah soal minyak satu harga, karena berdampak pada ketersediaan sehingga harga jual minyak goreng menjadi mahal serta memberatkan pembeli.

“Kenaikan minyak goreng tentunya sangat meresahkan dan menjadi tambahan beban daya beli. Oleh karena, itu perlu perhatian dari pemerintah dan stakeholder terkait agar harga minyak goreng di pasaran bisa kembali normal sehingga tidak memberatkan konsumen,” ujar Milka.

Susilowati, seorang pedagang warung mengaku terkena imbasnya dari kenaikan harga minyak goreng. Pasalnya, produksi makanan terutama lalapan ayam dan ikan harus dikurangi.

“Serba salah juga, kalau mau naikkan harga pasti pembeli kurang. Kalau tetap di harga normal, sementara harga minyak mahal ini yang membuat kami dilema. Terpaksa saya tetap jualan namun mengurangi produksinya,” ujar Susilowati.

Susilowati mengaku keberatan dengan kebijakan satu harga minyak goreng karena membuat pembeli dan pedagang dianggap sangat meresahkan, mulai dari kelangkaan dan harga jualnya yang mahal.

“Kalau bisa tidak ada pembatasan penjualan minyak. Tidak apa-apa mahal, yang penting stoknya ada begitu sehingga kami para pedagang warung ini tidak harus berhenti jualan. Saya berharap semoga minyak goreng kembali normal begitupun juga dengan bahan pokok lainnya,” ujar Susilowati. (*)

Editor: Dewi Wulandari

Leave a Reply