Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Siorus Degei*
Baru-baru ini kita digegerkan oleh data miris yang dikeluarkan oleh Agus Samule, akademisi Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat, mengenai kondisi anak-anak Papua yang bersekolah (selanjutnya baca X) dan tidak bersekolah (selanjutnya baca Y) pada 2021.
Untuk Sekolah Dasar (SD) X mencapai 24.725, sedangkan Y mencapai 132.757. Untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) X berjumlah25.326, sedangkan Y berjumlah 48.038. Untuk Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK) X berjumlah 18.938, sedangkan Y 40.224, sehingga total untuk X adalah 68.989 dan Y berjumlah 221.046. Data terakhir yang dilayangkan oleh Samule menunjukkan bahwa anak yang tidak bersekolah di Papua berkisar 40.534 anak (Suarapapua.com, 18/12/2021).
Data ini sangat urgen dan wajib menjadi asumsi dan amunisi kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah di Papua, untuk sesegera mungkin menjawab persoalan kemanusiaan yang teramat fundamental ini. Kita juga tidak bisa menafikan nasib anak-anak usia sekolah yang tidak sempat mengenyam pendidikan lantaran mengungsi akibat operasi militer. Data terakhir dari Dewan Gereja Papua jumlah pengungsi di Papua dan Papua Barat mencapai 60.000 orang (CNNIndonesia.com, 26/11/2021).
Baca juga: Etika pembangunan infrastruktur di Tanah Papua
Ironisnya, mayoritas pengungsi itu adalah anak-anak kecil dan ibu-ibu. Semisal di Ndugama ada 4.000 anak yang putus sekolah akibat operasi militer selama 2 tahun 8 bulan (CNNIndonesia.com, 23/10/2021). Belum lagi nasib anak-anak usia belajar di Intan Jaya, Maybrat, Kiwirok, Yahukimo, dan Puncak Papua, yang juga mengalami problematika pengungsian yang sama?
Hal ini diperparah dengan adanya program belajar online yang semakin menambah paradigmatik di dunia pendidikan Papua yang sudah dari awal menjadi lahan pembumihangusan peradaban bangsa Papua (Jubi.co.id, 4/5/2020).
SDM indikator kemajuan bangsa, bukan SDA
Mantan Presiden pertama Afrika Selatan, Nelson Mandela pernah berkata, “education is the most powerful weapon which you can use to change the world” –pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia (tunasindonesiajepang.com, 27/12/2020).
Hemat penulis, pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk menghilangkan peradaban sebuah bangsa. Alasannya sederhana, sebab masa depan peradaban sebuah bangsa terletak di pundak generasi mudanya, dan masa depan generasi mudanya ini ditopang oleh pendidikan yang baik dan berkualitas, sehingga untuk membenamkan sejarah sebuah bangsa, maka hancurkanlah sistem pendidikannya dan rusakilah minsed generasi milenialnya.
Kurang lebih inilah yang terjadi di hampir seluruh wilayah yang pernah dijajah atau sempat menjadi daerah koloni. Tidak ketinggalan fenomena demikian amat dominan di Papua.
Dengan sebuah pendidikan yang baik, humanis, sosialis, dan demokratis sebuah bangsa mampu berdiri pada visi kebangsaannya. Dengan pendidikan pula seseorang dapat keluar dari penjajahan kebodohan, kemalasan, kemiskinan, dan ketertinggalan. Aristoteles, filsuf Yunani kuno (348-322 SM), mengatakan, pendidikan memanusiakan manusia. Dengan kata lain pendidikan itu memerdekakan. Maka pendidikan harus berkualitas agar menghasilkan manusia yang berkualitas (analisadaily.com, 26/5/2018).
Baca juga: Uskup Desmond Tutu dan warisan rekonsiliasi
Ciri corak pendidikan yang berkualitas inilah yang akan menjadikan sebuah bangsa dan negara bertumbuh hingga maju. Semua negara besar di dunia, seperti Amerika, Inggris, Jerman, Belanda, dan lain-lain, menjadi demikian karena indeks kemanusiannya atau sumber daya manusianya bagus dan berkualitas.
Sebaliknya negara yang masih kategori terbelakang, seperti, India, Kongo, Taiwan, Indonesia, dan lain-lain, disebabkan oleh sumber daya manusianya yang masih rendah.
Sekalipun sumber daya alam suatu bangsa melimpah ruah, bila tidak diimbangi dengan SDM yang baik, maka hasilnya sama saja tetap merangkak sebagai negara berkembang, sehingga dari sini kita tahu, bahwa indikator utama kemajuan sebuah bangsa bukan karena SDA bangsa tersebut melimpah ruah, melainkan karena SDM-nya bagus dan berkualita, (republika.co.id, 24/10/2019). Dengan pendidikan yang berkualitas penjajah kebodohan dan ketertinggalan dapat ditaklukkan dan SDM yang diharapkan tercapai.
Pendidikan di Papua: Humanisasi atau dehumanisasi?
Wacana soal pendidikan di Tanah Papua sepertinya tidak usai menemui titik jera. Fenomena menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk memajukan pendidikan belum terealisasi dengan baik atau belum mengenai target awal yang diharapkan, yakni pemahaman masyarakat tingkat akar rumput yang baik dan benar.
Banyak gedung sekolah dibangun bagus-bagus di kampung, tetapi tidak ada guru yang betah di sana, selain medan yang berat. Kadang-kadang upah tenaga pendidik itu juga tidak diperhatikan dengan baik. Hal ini mempengaruhi semangat pelayanan mereka (suarapapua.com, 16/5/2016).
Ada juga daerah yang tidak ada bangunan sekolahnya, tetapi guru betah mengajar. Ini pun hanya terjadi di sekolah-sekolah peninggalan misi dan zending, seperti Yayasan Persekolahan Kristen (YPK) dan Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK). Namun itu dulu. Kini sangat jarang.
Baca juga: Maria Ressa dan nobel perdamaian (1/2)
Untuk sekolah-sekolah negeri, pengasuhan dan pendidikan, seperti kedisiplinan, integritas, moral, etika, dan pendidikan karakter lainnya, amat jarang ditekankan. Hanya ditekankan soal pemahaman rasio, pengetahuan—yang penting siswa pintar dan naik kelas. Soal bagaimana ia berdialog dan berdiskusi serta berdiskresi dengan lingkungannya bukan kewajiban sekolah.
Gilanya lagi, seperti di kampung-kampung saat ujian, gurulah yang menjadi siswa. Mungkin begini prinsip pendidikan di Papua itu. Di sini tidak dimaksud untuk merendahkan pihak pemerintah dan meninggikan misi/zending, namun penulis hanya hendak memaparkan fenomena yang sudah menjadi konsumsi publik selama ini secara objektif (laolao-papua.com, 28/9/2021).
Sekarang coba kita berpikir jangka panjang dengan pertanyaan-pertanyaan berikut ini: akan seperti apa nasib masa depan daerah-daerah pemekaran korban ketamakan elite politik itu ke depan? Terlebih lagi jutaan, bahkan mungkin ribuan generasi muda di daerah-daerah tersebut? Apakah kelak mereka bisa mengolah dan menguasai tanah ulayatnya sendiri demi kepentingan bersama bangsanya? Atau apakah mereka akan menjadi penonton di atas tanah ulayatnya karena tidak memiliki skill ?
Baca juga: Maria Ressa dan nobel perdamaian (2/2)
Pemerintah harus sadar bahwa sebagian besar dana otonomi khusus yang dikucurkan oleh Jakarta itu oleh Gubernur Lukas Enembe diprioritaskan untuk dua elemen penting, yaitu kesehatan dan pendidikan.
Pemerintah Provinsi Papua sudah membuat banyak terobosan penting untuk membenahi kondisi kesehatan dan pendidikan, seperti, Kartu Papua Sehat di bidang kesehatan, dan program 1000 Doktor Asli Papua, juga beasiswa bagi siswa/i asli Papua yang berprestasi di bidang pendidikan.
Untuk program Dinas Pendidikan, mungkin ini sudah terealisasi di atas kertas (formalitas administratif). Namun amat disayangkan, karena secara defacto di lapangan belum terjadi perubahan apa-apa.
Jika sudah ada perubahan, maka mari kita hitung berapa doktor dan profesor orang asli Papua saat ini? Berapa pilot dan kapten OAP, dan gelar hebat lainnya? Paling-paling tidak melebihi 10 atau 15 orang.
Baca juga: Diplomasi noken kosong ala Jokowi untuk siapa?
Parahnya lagi, demi memperoleh sebuah jabatan, tidak sedikit pejabat asli Papua yang membeli gelar. Rupanya mereka merasa kurang bila di belakang namanya tidak ada gelar M,Si, M.AP, MM.Hum, S.Sos, dll. Padahal ilmu dari gelar-gelar tersebut sangat kabur bagi mereka. Maka tidak heran banyak pejabat di Papua yang salah masuk kamar. Misalnya, seorang pilot menjadi bupati, sarjana hukum bekerja di Dinas Kesehatan, guru SD diangkat menjadi kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, atau seorang dokter menjadi kepala distrik, dan lain-lain.
Orang-orang ini berpikir bahwa yang penting mereka kerja dan memperoleh gaji. Soal kerjanya mengenai target atau tidak ada target, itu bodo amat. Apalagi di era otsus—yang kepala kampung saja bisa gonta-ganti istri—berlagak seperti pejabat sukses.
Potret fenomena sosial inilah yang disebabkan oleh kondisi pendidikan yang miris dan tidak berkualitas di Indonesia pada umumnya, dan Papua khususnya.
Sebenarnya ini persoalan lama dan mudah diatasi asal Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat punya komitmen serius untuk menyikapinya dengan konsisten.
Baca juga: Metafora ‘rakyat yang tersalib’ dan penderitaan orang Papua
Namun memang karena itulah visi dan misi utama Jakarta, yakni ketertinggalan dan kelambanan pertumbuhan indeks manusia asli Papua. Maka tidak heran bahwa persoalan yang lama itu sulit diberantas.
Jakarta rupanya takut dan khawatir jika orang Papua itu maju dan berkembang. Mereka takut pula kalau-kalau orang-orang hebat dari Papua tampil dan memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri.
Mereka was-was, bisa-bisa sosok-sosok seperti Thomas Wanggai, Arnold Ap, Theys Eluay, Pater Neles Tebay, Pater Nato Gobay, Pdt. Benny Giyai, Pdt. Socrates Yoman, dan putra-putra terbaik Papua lainnya bermunculan ke muka.
Baca juga: Mencegah Tanah Papua dihuni kaum neo-sofisme
Visi-misi untuk mencerdaskan bangsa selama ini, baik dari Pemerintah Pusat, maupun Pemerintah daerah di Papua, sepertinya belum optimal. Keduanya—pusat dan daerah—sama-sama masih berkuat pada jargon, spanduk, dan statement. Belum menjurus pada realita sosial. Hal ini menunjukkan adanya pembiaran dari kedua belah pihak atas masalah pendidikan di tanah Papua secara serius.
Fenomena di atas inilah yang menurut penulis sebagai upaya pemusnahan bangsa Melanesia melalui pendidikan. Logikanya sederhana, masa depan sebuah bangsa ada di tangan generasi mudanya. Mereka sering disebut sebagai agent of change (agen perubahan). Maka konsekuensinya, kaum muda ini mesti dipupuk dan dididik dengan baik sejak dini melalui pendidikan yang berkualitas, agar kelak tampil sebagai orang-orang hebat, yang mampu memajukan bangsa dan Negara, serta mampu bersaing secara cerdas dalam percaturan politik global.
Kini bagaimana dengan nasib masa depan generasi muda Papua yang tidak memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang baik dan malah terjerumus mengonsumsi miras, narkotika, HIV/AIDS? Apakah dengan terasuk pikiran dan perilaku negatif itu generasi muda Papua dapat tampil sebagai agen perubahan bangsa?
Bangsa Papua Barat (Provinsi Papua dan Papua Barat) sudah kalah dalam babak masa depan, sehingga sebenarnya penjajahan yang paling menyeramkan itu sedang menanti mereka di sana. Generasi muda hari ini tidak merasakan itu, karena masih ada tokoh-tokoh intelektual Papua dari kalangan tua yang menjadi pagarnya. Kelak ketika tokoh-tokoh ini tutup usia, maka babak penjajahan yang sesungguhnya akan dimulai. (*)
* Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua
Editor: Timoteus Marten