Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Thomas Ch. Syufi

Komite Hadiah Nobel Perdamaian tentu memandang bahwa Maria Ressa sangat berjasa bagi rakyat Filipina, karena menggunakan kebebasan berekspresi untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasaan, dan otoritarianisme pada rezim Duterte.

Maria Ressa membalas kekerasan dengan keadaban. Ia berjuang dengan cara-cara damai melalui Rappler sejak tahun 2012 secara terbuka dan berani mengkritik Presiden Rodrigo Duterte dan pemerintahannya.

Secara luas, Rappler telah menerbitkan perang mematikan presiden pilihan rakyat, Duterte, terhadap narkoba, pengambil pandangan kritis atas isu-isu misogini (rasa tidak suka atau benci terhadap wanita), pelanggaran HAM, dan korupsi.

Sejak Rappler didirikan Ressa duduk sebagai CEO. Dengan kapasitas tersebut, Ressa vokal mengkritik berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai nonpopulis dan melanggar norma-norma kemanusiaan. Ia secara terang-terangan mengkritisi ketidakberesan rezim Duterte berupa kampanye anti-narkobanya yang dinilai sarat pelanggaran HAM.

Duterte menyerahkan semua kewenangan menyangkut persoalan kejahatan narkoba dan penggunaan obat-obat terlarang kepada aparat kepolisian Filipina. Polisi pun gencar menangkap para pengedar dan pengguna narkoba, hingga membunuh anggota-anggota kriminal atau pengguna obat-obat terlarang.

Diperkirakan 6.000 orang mati pada tahun 2016-2019, karena kebijakan Duterte. Sebagian besar dibunuh di luar proses hukum (extra judicial killing).

Namun, perjuangan Ressa yang santun dan damai itu direspons dengan pendekatan koersif oleh pemerintah Duterte. Ia pun hidup dalam ancaman, tekanan, teror, dan intimidasi.

Rezim Duterte juga melancarkan serangan verbal dan nonverbal terhadap pribadi Ressa dan Rappler melalui medsos dengan menyebarkan berita palsu, melecehkan lawan, dan memanipulasi opini publik. Duterte secara blak-blakan menuduh Rappler memboncengi kepentingan “Paman Sam” atau media berita palsu, sekaligus alat CIA.

Saking kritisnya, izin Rappler pun dicabut oleh pemerintah Duterte, 2018. Namun Ressa tak gentar, apalagi berlutut, atau mundur. Justru ia tetap melanjutkan sikap kritisnya terhadap pemerintahan yang tak adil, tak demokratis, dan tak manusiawi itu.

Ressa kemudian ditangkap dan menjalani proses hukum hingga divonis bersalah dengan hukuman enam tahun penjara terkait UU Fitnah di Media Sosial. Namun, Ressa diizinkan untuk tetap bebas, sambari menunggu kemungkinan banding atas vonis hingga enam tahun.

Beragam ancaman terhadap Maria Ressa tidak pernah menyurutkan semangat juang dan resistensinya terhadap ketidakadilan rezim Duterte.

“Kami akan melawan segala bentuk serangan terhadap kebebasan pers,” katanya usai menerima vonis hukuman di Manila, Senin (15/6/2020).

Dari perspektif humanisme, ungkapan Ressa ini mengekspresikan  bahwa harkat dan martabat manusia terletak pada ada atau tidaknya kebebasan. Franklin Delano Roosevelt—Presiden AS di awal Perang Dunia II, 6 Januari 1941 di depan Kongres, mengajukan empat jenis kebebasan: kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan berkeinginan, dan kebebasan dari ketakutan. “Kebebasan berbicara adalah lentera yang menerangi jalan hidup.”

Bagi Ressa, perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di negara “jantung Katolik Asia” itu merupakan jalan terbaik bagi dirinya dan rakyat, serta untuk masa depan generasi Filipina. Maria Ressa telah mengambil peran dan tanggung jawab berat ini—mengikuti jejak Santa Maria dalam fiatnya ketika diberi kabar oleh malaikat Gabriel untuk mengandung Putra Allah: terjadilah padaku menurut kehendakMu (fiat voluntas Tua).

Ketaatan dan kesetiaan pada keyakinannya juga dicontohi filsuf Sokrates (469-399) hingga harus mengakhiri hidupnya dengan meminum racun. “Lebih baik mati demi sebuah keyakinan, daripada mengorbankan keyakinan itu sendiri.”

Maria Ressa memang dimusuhi oleh Duterte, karena memperjuangkan keadilan, kebebasan, dan kemanusiaan, dengan berani membongkar segala ketidakbecusan pemerintahan Duterte yang menjauhkan kemampuannya untuk menghormati martabat kemanusiaan dengan jalan membunuh ribuan bandar narkoba dan pengguna obat-obatan terlarang.

Banyak korban hukuman mati di Filipina oleh rezim Duterte terjadi di luar proses pengadilan. Ini mencerminkan sikap pemimpin yang tak menghormati hukum dan antidemokrasi.

Pengadilan merupakan pilar terakhir penegakan keadilan dan demokrasi. Duterte tak menghormati hukum yang merupakan jalan peradaban untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Dia tak menghormati salah satu asas hukum universal, yakni Presumption of innocence (asas praduga tak bersalah).

Jadi, setiap orang berhak dinyatakan tak bersalah hingga ada putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Selain itu, tujuan hukum adalah menjaga kedamaian dan menegakkan martabat manusia, serta menjaga kesinambungan peradaban manusia. Jika manusia sudah terlindas, apa arti hukum yang ada?

Pembunuhan di luar proses pengadilan tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun, karena itu, deviasi dari asas hukum yang berlaku umum dan merupakan pengkhianatan terhadap nilai dan martabat kemanusiaan.

Tindakan Duterte ini akan menjauhkan Filipina dari basisnya sebagai negara demokrasi—yang menjunjung tinggi hukum dan HAM.

”When the people fear their government, there is tyranny; when the government fears the people, there is liberty.” Demikian Thomas Jefferson (1743-1826), Presiden ketiga Amerika Serikat. Konsep ini memiliki makna, “Ketika rakyat takut kepada pemerintahnya, maka itulah tirani, dan pemerintah takut kepada rakyatnya, maka itulah demokrasi (kemerdekaan).

Pada esensinya, kedaulatan negara tidak absolut, karena negara wajib melindungi dan menghormati HAM rakyatnya. Dengan demikian, intervensi kemanusiaan atau interupsi pers terhadap tindakan dehumanisasi bisa dibenarkan karena bertujuan menjaga nilai-nilai universal kemanusiaan.

Maka, perjuangan demi menegakkan nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan yang dilakukan oleh Maria Ressa perlu dihormati dan didukung, tidak hanya oleh Komite Hadiah Nobel Perdamaian, tetapi juga oleh semua negara di dunia, termasuk pemerintahan Duterte dan Indonesia.

Kebebasan pers di Indonesia juga merupakan persoalan yang cukup pelik dan serius seperti Filipina. Kebebasan pers kerap kali dibungkam oleh penguasa, terutama di daerah konflik seperti Papua. Pers rentan mendapat intimidasi, teror, dan kriminalisasi. Misalnya, aksi teror terhadap Victor Mambor, pimpinan umum Jubi, 21 April 2021.

Pemerintah juga sempat memblokir situs Suara Papua (2016). Sebelumnya, teror juga dialami oleh wartawan Fajar Papua, Yakob Onweng dan wartawan Radar Sorong, Dominika Hunga Andung—yang dilaporkan ke Polres Kaimana, Papua Barat, 19 Januari 2013.  Terror yang dilakukan orang tak dikenal itu diduga terkait dengan pemberitaan soal nama seorang pejabat di Kaimana, yang dinilai mengandung fitnah dan mencemarkan nama pejabat yang bersangkutan.

Pers di Papua yang kritis kerap dituduh pro-OPM (Organisasi Papua Merdeka), pendukung disintegrasi, wartawan separatis, atau pembuat berita fitnah. Padahal, pers berperan untuk mendorong proses demokratisasi melalui pemberitaan yang objektif dan transparan.

Semoga penghargaan nobel perdamaian kepada Maria Ressa menjadi momentum kontemplasi dan proyeksi bagi bangsa Indonesia, terutama pemerintahan Jokowi, untuk tetap menjadikan pers sebagai lentera bangsa dan negara, serta menghormati fungsi  pers untuk terus menghibur yang papa dan mengingatkan yang mapan.

Kita wajib mendukung kebebasan pers di Indonesia, termasuk  Papua—untuk tetap eksis dan independen—dalam menyajikan berbagai informasi/peristiwa/fakta kepada masyarakat, bukan malah menjadi budak kekuasaan dengan mendistorsi fakta.

Fakta itu suci, maka ada postulat hukum, Cum adsunt testimonia rerum, quid opus est verbis (saat bukti dari fakta-fakta ada, apa artinya kata-kata). Perbuatan atau fakta lebih kuat daripada kata-kata (facta sunt potentiora verbis)! (*)

Penulis adalah aktivis HAM dan advokat muda Papua

Editor: Timoteus Marten 

Leave a Reply