Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Aris Yeimo*

Sofisme berasal dari kata bahasa Yunani, sophos yang berarti cerdik, pandai (Sara Ahbel-Rappe & Rachana Kamtekar, 2006:37). Para sofis muncul dan mulai mengembangkan metode-metode pengajarannya pada paruhan hingga akhir abad ke-5 SM. Cara menyampaikan filsafatnya dengan berkeliling ke kota-kota dan pasar-pasar. Di sana, para pemuda dilatih kemahiran beretorika dalam debat dan pidato. Kepandaian itu untuk mempertahankan apa yang dianggap benar.

Sebut saja nama-nama seperti Protagoras, Gorgias, Prodikos, Thrasymakhos, Hippias, Euthydemos, Dionysodoros, Anthipon adalah para bapak sofisme mula-mula. Pokok-pokok ajaran mereka antara lain: 1) manusia menjadi ukuran segala-galanya, 2) kebenaran umum (mutlak) tidak ada, 3) kebenaran hanya berlaku sementara dan 4) kebenaran tidak berlaku pada diri sendiri (Ahmad Syadali & Mudzakki, 1997:59).

Pada titik tertentu, kehadiran para sofis pada masa itu membawa dampak positif dalam bidang filsafat, politik, ekonomi dan kebudayaan. Terutama karena mereka berhasil menitikberatkan manusia sebagai pusat kajian filsafat dan menekankan pentingnya bahasa dalam berfilsafat.  Namun di satu sisi, kehadiran mereka justru ditentang keras oleh Sokrates.

Baca juga: Kontak senjata di Intan Jaya sebagai strategi kapitalis Indonesia

Menurut Sokrates, secara etis, kehadiran kaum sofis justru melecehkan nilai kebenaran dan kebajikan karena mereka hanya mencari keuntungan dengan mengumbar kecakapan retoris dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi, kelompok atau siapapun yang menggunakan jasa mereka. Bagi Sokrates, kebenaran, kebaikan, hakikat dan kesejatian segala sesuatu ditentukan oleh objektifikasi dari sesuatu itu sendiri (Sara Ahbel-Rappe & Rachana Kamtekar, 2006: 38-45).

Pada artikel ini, penulis akan mengantar kita melihat bersama bagaimana gelagat para “neo-sofisme” mempengaruhi peradaban orang Papua. Penulis melihat bahwa tindak-tanduk para sofis di Yunani dahulu masih amat relevan dengan kondisi kita di Papua saat ini melalui kehadiran para “neo-sofisme” dengan berbagai retorika omong kosong. Oleh karena itu, penulis membagi pembahasan artikel ini ke dalam tiga bagian: periode sebelum dan sesudah Pepera 1969, periode Otonomi Khusus 2021 dan mencegah keberadaan neo-sofisme.

Periode sebelum dan sesudah Pepera 1969

Sebelum Pepera dilangsungkan, Papua (West Nieuw Guinea) telah menjadi perebutan sengit antara Kerajaan Belanda dan Pemerintah Indonesia. Belanda mengklaim wilayah jajahannya merupakan wilayah administrasinya. Sementara Indonesia pun bersikeras mempertahankan Papua dengan dalih seluruh wilayah jajahan Belanda adalah wilayah administrasinya.

Pertikaian Belanda vs Indonesia berakhir pada Agustus 1962 dengan diadakannya Perjanjian New York (New York Agreement) yang dimediasi oleh Amerika dan PBB. Perjanjian tersebut mengisyaratkan dua hal: 1) peralihan administrasi wilayah Papua dari Belanda kepada Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) pada 1 Oktober 1962 untuk selanjutnya diserahkan kepada Indonesia; 2) Pemerintah Indonesia, dengan bantuan PBB, melakukan referendum sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional pada tahun 1969.

Pada 1 Mei 1963, menindaklanjuti Perjanjian New York, UNTEA menyerahkan sepenuhnya wilayah Papua kepada Indonesia. Peralihan ini terjadi bukan tanpa konflik, operasi militer atas perintah Soekarno, 19 Desember 1961 (Trikora) masih berlanjut. Rakyat Papua saat itu dalam bayang-bayang intimidasi, penculikan, pembunuhan dan pemerkosaan.

Baca juga: Teologi Pembebasan: Tuhan Yesus tidak melarang West Papua merdeka

Setelah peralihan wilayah administrasi, Indonesia mempersiapkan segala strategi, baik diplomasi internasional, maupun operasi intelijen melalui intimidasi dan pembunuhan terhadap rakyat Papua, untuk menyatakan sikap mendukung Indonesia  secara aklamasi saat Pepera 1969.

Orang Papua tentu menolak pendudukan Indonesia dengan gerakan pemberontakan secara gerilya pada 1965 di Manokwari karena sebelumnya–1 Desember 1961–melalui New Guinea Raad, mereka memiliki nation state symbol yang diakui secara de facto (Djopari, 1993:100).

Indonesia kemudian mengusulkan tata cara pemungutan suara dengan sistem musyawarah. Sistem ini sangat bertentangan dengan praktik internasional, yakni, one man one vote (satu orang satu suara). Sebanyak 1.025 orang telah dipilih tanpa mekanisme yang jelas, dan dianggap sebagai representasi dari sedikitnya 800.000 orang Papua saat itu. Selain dilakukan di bawah ancaman dan intimidasi.

Baca juga: Urgensi pengawas partisipatif Pemilu 2024

Setelah Pepera dimenangkan oleh Indonesia secara manipulatif, cacat moral dan hukum, maka demi memantapkan nasionalisme Indonesia kepada rakyat Papua, Indonesia menempuh jalur dialog dalam bentuk operasi militer besar-besaran (bdk. Asyhari-Afwan, 2015:32). Dialog itu berlangsung dalam bentuk pertanyaan, “kamu pilih Indonesia atau mati?, kamu OPM atau bukan?”. Di situ, terjadi proses dialog antara rakyat Papua dan pemerintah melalui militer (bdk. pengakuan korban dalam laporan ICTJ & ELSHAM, 2012: 13-18).

Pemerintah Indonesia beranggapan bahwa Papua sudah final menjadi bagian sah dari Republik Indonesia, sementara rakyat Papua sampai hari ini masih beranggapan bahwa Pepera tidak sah karena dilangsungkan di bawah tekanan militer, bahkan tidak jarang korban kekerasan dialami oleh anak-anak dan perempuan (Tim Dokumentasi, 2009-2010: 20-31). Dialog yang dibangun sebelum dan sesudah Pepera di bawah pemerintahan Orde Baru nampaknya gagal total menasionalisasikan orang Papua.

Periode Otonomi Khusus 2001

Setelah runtuhnya rezim diktator Soeharto (1998), pendekatan pemerintah terhadap rakyat Papua tampaknya lebih soft. Status Papua sebagai Daerah Operasi Militer (bdk. Tebay, 2009:2) tidak lagi diberlakukan. Otsus dijadikan sebagai opsi pemerintah untuk menjawab tuntutan referendum rakyat Papua yang diwakili oleh Tim 100. Pemerintah menganggap Otsus sebagai sebuah pendekatan yang lebih manusiawi.

Pemerintah seakan-akan tampaknya telah belajar dari pendekatan dialogis masa lalu yang sangat militeristik dan intimidatif, sehingga Otsus dijadikan sebagai tawaran dialogis demi menghambat kemungkinan tuntutan merdeka di kemudian hari.  Pendekatan dialogis dalam kemasan Otsus ini tidak lagi berisi doktrinasi nasionalisme, tetapi lebih pada penguatan lokal, baik berupa capacity building, penguatan basis ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan orang asli Papua (Asyhari-Afwan, 2015:33-34).

Kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah perlahan-lahan mulai dibangun kembali dengan dilibatkannya elite-elite asli Papua dalam mengelolah dana Otsus. Pemerintah berkeyakinan bahwa Otsus merupakan jalan menuju kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan rakyat Papua di tanahnya sendiri. Namun keyakinan pemerintah itu justru sangat kontras dalam realisasinya. Otsus gagal mensejahterakan rakyat Papua (ICTJ & ELSHAM, 2012:9-11).

Kepercayaan rakyat Papua terhadap retorika pemerintah luntur kembali. Pemerintah dan sebagian elite politik asli Papua justru menjadi aktor utama penghancuran berbagai aspek fundamental kehidupan rakyat (bdk. Yoman, 2012). Lagi-lagi, pada era Otsus, pendekatan yang dianggap paling manusiawi ini belum juga mampu menjadi jawaban atas masalah Papua.

Mencegah keberadaan kaum neo-sofisme

Melihat kerumitan penyelesaian berbagai kompleksitas masalah Papua yang selalu diwarnai narasi optimistis palsu dari pemerintah dan sebagian elite asli Papua, lalu muncul pertanyaan: pendekatan seperti apa yang hendak dilakukan? Bagaimana mengidentifikasi persoalan Papua agar menemukan duduk perkara sebenarnya? Dan bagaimana solusinya?

Dahulu, untuk membongkar pembusukan retoris para sofis, Sokrates menggunakan metode dialogis yang disebut maieutika (metode kebidanan). Metode ini dilakukan dengan cara bertanya terus-menerus sambil mengamat-amati hal-hal konkret dan beragam coraknya tetapi pada jenis yang sama. Kemudian unsur-unsur yang berbeda dihilangkan sehingga tinggallah unsur yang sama dan bersifat umum, itulah pengetahuan sejati (Achmadi, 2008:48).

Sejak sebelum, saat dan sesudah Pepera dan saat Otsus Papua diberlakukan sampai saat ini, pemerintah terus membangun narasi bahwa dia telah mensejahterakan rakyat Papua. Selain itu, dalam konteks Papua sendiri, pemerintah telah berhasil mengkotak-kotakkan rakyat Papua berdasarkan suku, kelas dan gender dengan retorika perpecahan secara sistemik, sehingga menimbulkan konflik vertikal dalam tubuh rakyat Papua sendiri.

Baca juga: Muktamar NU Setelah Bilangan Dzikir

Retorika perpecahan yang dibangun oleh pemerintah, baik di pusat, maupun daerah melalui sebagian elite asli Papua sendiri itulah yang dimaksudkan penulis sebagai gelagat “neo-sofisme”.

Untuk membongkar pembusukan retoris “neo-sofisme”, metode maieutika ala Papua yakni dialog yang dimediasi pihak ketiga mesti terus didorong. Dialog tentu bukan hal baru dalam tradisi setiap suku di Papua. Sejak turun-temurun, dialog selalu dijadikan sarana penyelesaian konflik, baik dalam keluarga dan klan, maupun suku.

Karena itu, demi mencegah munculnya “neo-sofisme”, marilah dengan rendah hati para pihak yang bertikai membuka diri untuk duduk setara mendialogkan, mengidentifikasi dan mencari solusi atas kompleksitas masalah Papua secara bermartabat. Kita tidak ingin terus hidup dalam kebohongan dan kemunafikan. Kita tidak ingin moralitas buruk para sofis justru menjadikan kita sebagai “neo-sofisme” yang akan dicatat dalam sejarah peradaban manusia Papua. (*)

Referensi:

Achmadi, Asmoro. 2008. Filsafat umum, Ed. I. Cet. 8; Jakarta: PT. RAJAGrafindo Persada.

Ahbel-Rappe, Sara & Kamtekar, Rachana. 2006. A Companion to Socrates, Malden-USA: Blackwell Publishing Ltd.

Asyhari-Afwan, Budi. 2015. Mutiara Terpendam Papua, Potensi Kearifan Lokal untuk Perdamaian di Tanah Papua, Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural Studies.

Djopari, John. 1993. Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Kelompok Kerja  Pendokumentasian Kekerasan & Pelanggaran HAM Perempuan Papua. 2009-2010. Stop Sudah!, Jakarta: PT. Sandiwan Media Cipta.

Laporan International Center for Transitional Justice & ELSHAM Papua. 2012. Masa Lalu yang  Tak Berlalu: Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua Sebelum dan Sesudah Reformasi.

Syadali, Ahmad dan Mudzakkir. 1997. Filsafat Umum,  Cet.I; Bandung:  CV. Pustaka Setia.

Tebay, Neles. 2009. Dialog Jakarta-Papua Sebuah Perspektif Papua. Jakarta: SKP Jayapura.

Yoman, Sokrates. 2012. Otonomi Khusus Papua Telah Gagal. Jayapura: Cenderawasih Press.

* Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timoteus Marten

Leave a Reply