Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Soleman Itlay*
Universitas Cenderawasih telah menyerahkan kajian akademiknya atas pelaksanaan Otonomi Khusus Papua kepada Gubernur Papua, Lukas Enembe pada pertengahan September lalu. Kajian yang disusun atas permintaan Enembe kepada Rektor Universitas Cederawasih, Dr Ir Apolo Safanpo ST MT itu juga telah diteruskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Papua pada akhir September.
Sebagai produk akademis, kesahihan hasil kajian itu dipertanyakan, karena tidak adanya kejelasan metodologi serta data apa yang digunakan. Sebagai produk politik, legitimasi hasil kajian itu dipertanyakan, karena proses kajian itu tidak melibatkan para pemangku kepentingan Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Alih-alih menyelesaikan persoalan, kajian Universitas Cenderawasih (Uncen) itu justru menimbulkan perdebatan baru, dan bisa berdampak buruk bagi masa depan orang asli West Papua.
Pada hakekatnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) bukan kebijakan khusus milik seorang Lukas Enembe dan Apolo Safanpo. Keberadaan Otsus Papua juga bukan milik Pemerintah Provinsi Papua dan Universitas Cenderawasih. UU Otsus Papua lahir dari darah, air mata, dan tuntutan Papua Merdeka pada tahun 1999, dan merupakan kebijakan politik yang merujuk kepada semua orang asli West Papua.
Siapapun dia, atau lembaga mana pun yang hendak melakukan evaluasi ataupun kajian atas UU Otsus Papua harus mempertimbangkan aspek kepentingan umum dengan cara melibatkan semua pemangku kepentingan Otsus Papua. Kajian juga seharusnya dilakukan secara kolektif oleh tim kajian yang transparan, akuntabel, dan mengikuti kaidah akademis. Tim kajian harus memiliki legitimasi di mata semua elemen masyarakat.
Tidak tepat legitimasi tim kajian Otsus Papua ditumpukan kepada perintah Gubernur Papua semata. Atas dasar apa atau atas dasar legitimasi dari mana Lukas Enembe meminta Uncen melakukan evaluasi Otsus Papua secara akademis?
Orang Papua bukan hanya ada di Provinsi Papua, namun ada juga di Provinsi Papua Barat. Sebagai kebijakan politik etis, Otsus Papua diberlakukan untuk tujuh wilayah adat di kedua provinsi itu. Tidak logis kalau Gubernur Papua Lukas Enembe sendiri menugaskan Uncen membuat kajian Otsus Papua, tanpa melibatkan Gubernur Papua Barat dan pemangku kepentingan di Papua Barat.
Tidak terbuka, tidak partisipatif
Satu persoalan besar dalam kajian Otsus Papua dari Uncen adalah prosesnya yang tidak diketahui oleh rakyat Papua, yang sedari awal tidak mengetahui Enembe menugaskan Uncen. Sejumlah akademisi yang terlibat dalam penyusunan kajian itu juga tidak bekerja secara terbuka, seolah kebijakan Otsus Papua hanya miliki mereka saja.
Pada saat yang sama, banyak akademisi dari Uncen, Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, Sekolah Tinggi Teologi GKI IS Kijne, Universitas Ottow Geissler ataupun Universitas Yapis Papua yang dahulu menyusun Rancangan Undang-undang yang akhirnya disahkan menjadi UU Otsus Papua tidak dilibatkan dalam proses kajian Uncen itu. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang dahulu juga menyusun rancangan itu juga tidak dilibatkan tim kajian Uncen.
Pada 2 Oktober 2020, saya bertemu M Solossa, dosen senior Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Uncen. Beliau adalah salah satu akademisi yang ikut menyusun RUU yang kemudian disahkan menjadi UU Otsus Papua, dan mengalami berbagai tarik-ulur yang terjadi dalam proses pengesahan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua.
Baca juga: Kriminalisasi Kebebasan Demokrasi, Suatu Bentuk Kejahatan Kemanusiaan di Papua
Begitu mendengar Gubernur Papua menugaskan Uncen membuat kajian Otsus Papua, ingatannya pun kembali kepada masa 1999, ketika Gubernur Papua Jap Solossa menunjukkan Uncen sebagai penanggung jawab untuk merancang, merumuskan, dan menyiapkan draf Otsus Papua. Kala itu, meskipun Uncen ditunjuk sebagai penanggung jawab, Uncen melibatkan pemangku kepentingan dari tujuh wilayah adat.
Waktu itu, 20 tahun silam, Uncen juga melibatkan para akademisi dari perguruan tinggi lain, serta lembaga swadaya masyarakat seperti ElsHAM Papua.Bahkan Presidium Dewan Papua yang pro kemerdekaan Papua pun dilibatkan dalam proses penyusunan konsep Otsus Papua itu.
Draft dari para akademisi mendapatkan masukan, koreksi, dan perbaikan dari semua pemangku kepentingan politik di Papua, hingga hampir 10 kali. Setelah jadi, Uncen bersama Gubernur Papua, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua, dan para tokoh masyarakat maupun tokoh adat pergi ke Jakarta, menyerahkan berkas itu kepada pemerintah yang kala itu dipimpin Gus Dur.
Draft awal itu murni isi hati orang West Papua. Namun, sampai di Jakarta, kolonial Indonesia mengubah pasal demi pasal sesuai dengan kepentingannya di Papua. Meski itu bertentangan dengan hati nurani orang West Papua, setidaknya pihaknya sudah berusaha keras dengan mengikuti prosedur akademis yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Akan tetapi, kali ini Solossa tidak melihat keterbukaan dan tingkat partisipasi serupa terjadi dalam penyusunan kajian pelaksanaan Otsus Papua oleh Uncen. Setelah tahu Gubernur Lukas Enembe meminta Uncen membuat kajian atas pelaksanaan Otsus Papua, Solossa pun menghubungi Rektor Uncen, menyatakan kapan Rektor akan mengajak akademisinya berdiskusi untuk menyiapkan kajian itu.
Saat itu, Rektor menyatakan pihaknya masih menunggu informasi lebih lanjut dari Pemerintah Provinsi Papua. Solossa pun terkejut, ketika dari media sosial ia mengetahui kajian itu telah selesai disusun, dan telah diserahkan kepada Gubernur.
Mempertimbangkan Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian yang sifatnya akademis, ada standarisasi untuk mengukur validasi data, analisa dan pertimbangan yang disampaikan melalui kajian-kajian teoritis dan bersifat ilmiah. Salah satu instrumen penelitian yang paling penting adalah soal metode pengumpulan data.
Secara umum, baik penelitian yang sifatnya kualitatif maupun kuantitatif pasti selalu akan berhadapan dengan metode pengumpulan data, baik itu data primer maupun data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara di lapangan. Misalnya, mengamati dinamika apapun yang terjadi di tempat yang ditargetkan untuk melakukan kajian ilmiah dengan tetap fokus pada pokok persoalan yang sedang dikaji saat itu. Hal itu didukung dengan wawancara dengan cara melibatkan pihak-pihak dan organisasi yang berperan penting dibalik sebuah isu yang menjadi pusat perhatian akademis.
Sedangkan, data sekunder adalah berkaitan dengan data-data atau informasi tambahan yang dikumpulkan dari berbagai sumber-sumber guna mendukung dalam penelitian. Misalnya, mengumpulkan data dari hasil penelitian di perpustakaan, internet, buku-buku, jurnal ilmiah, data pemerintah dan lainnya.
Baca juga: Memungkinkan Pikiran Allah Melalui Kasih di Papua
Kajian Uncen atas pelaksanaan Otsus Papua seharusnya memperhatikan dinamika dan situasi politik West Papua selama pemberlakukan Otsus, dan berbagai respon pemerintah pusat atas dinamika dan situasi politik Papua itu. Salah satu dinamika terpentingnya adalah semakin banyaknya orang asli Papua, baik yang merasakan dampak positif ataupun dampak negatif Otsus Papua serta, menolak pemberlakuan Otsus Papua diperpanjang. Kelompok yang pro kemerdekaan Papua juga menolak pemberlakuan Otsus Papua diperpanjang.
Penolakan ini sangat keras, meminta pemerintah kolonial Indonesia untuk mencabut UU Otsus Papua. Mereka yang menolak menilai selama hampir 20 tahun Otsus orang Papua tidak merasakan apa-apa. Otsus Papua juga tidak berhasil memadamkan api nasionalisme orang Papua.
Di pihak lain, Jakarta terus memaksakan kehendaknya untuk melanjutkan UU Otsus Papua. Di balik dinamika sosial politik itu—pro dan kontra dibalik polemik Otsus Papua saat ini, ada aktor-aktor yang perlu diperhatikan, didekati, dan dilibatkan dalam kajian apapun atas Otsus Papua.
Tim kajian harus menanyakan kepada setiap aktor, apa yang melatarbelakangi tuntutan mereka. Aktor itu termasuk kelompok pro kebijakan UU Otsus Papua, baik tokoh, orang, atau organisasi yang mendukung pemerintah kolonial Indonesia.
Selain itu, ada aktor penting lain yang tidak boleh dilupakan, yaitu tokoh, orang, atau kelompok gerakan nasional Papua, yang mendukung pengakuan kedaulatan politik Papua, menuntut penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Papua, penyelesaian kontroversi sejarah Pepera 1969, dan meminta referendum bagi rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. Mereka antara lain Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat(TPNPB), Presidium Dewan Papua, Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Para aktor itulah yang harus diwawancarai tim kajian Uncen, ditanyai apa kemauan mereka masing-masing, terlepas dari pro dan kontra sikap politik mereka. Kajian Otsus Papua harus merujuk pada aktor utama yang mendominasi isu Papua Merdeka, karena merekalah yang berhasil membuat kolonial Indonesia melahirkan UU Otsus Papua, demi memadamkan api kemerdekaan West Papua.
Apakah tim kajian Uncen melakukan hal itu? Apa kategori dan klasifikasi data primer dan data sekunder yang mereka gunakan dalam kajian mereka? Apakah metode pengumpulan data tim kajian Uncen itu merujuk kepada sumber-sumber data itu, dan informasi itu didapatkan dari mana saja? Kapan dan berapa lama mereka mengumpulkan data?
Melakukan kajian ilmiah terhadap kebijakan publik yang berlaku hampir 20 tahun seperti Otsus Papua, dengan kompleksitas Papua sebagai daerah konflik, membutuhkan waktu yang cukup lama. Tim kajian Uncen terkesan melakukan kajian buru-buru, dan menyerahkan hasilnya dengan begitu cepat, hingga patut dipertanyakan. Kajian itu bahkan telah diserahkan tanpa didahului seminar ilmiah yang lazim dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik.
Orang West Papua Berhak Bertanya
Baru-baru ini saya bertemu beberapa kelompok pro kemerdekaan West Papua, yang baru saja bebas dari masa tahanan. Salah satunya Steven Itlay, Ketua KNPB Wilayah Timika yang tahun lalu ditahan dan diadili dengan dakwaan makar pasca insiden persekusi dan rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya.
Steven Itlay menjelaskan tentang keterlibatan kelompok kontra Otsus Papua, yang menolak perpanjangan Otsus Papua, sekaligus menolak kajian ilmiah dari Uncen tersebut. Dia mengaku, bahwa hampir semua kelompok pro nasionalis dan kontra pemerintah kolonial Indonesia di West Papua tidak tahu dan tidak pernah dilibatkan tim kajian Uncen. Penyerahan kajian Otsus Papua dalam rentang waktu yang singkat tanpa melakukan pertanggungjawaban publik patut dipertanyakan oleh semua kalangan masyarakat di Papua dan Papua Barat.
Orang Papua punya hak menuntut agar Pemerintah Provinsi Papua dan Uncen mempublikasikan hasil kajian ilmiah Uncen terhadap Otsus Papua itu. Pemerintah Provinsi Papua dan Uncen berkewajiban memenuhi tuntutan orang Papua untuk membaca dan mendapatkan informasi tentang kajian ilmiah tersebut.
Baca juga: Tanah Kami, Mama Kami – Perspektif Teologis tentang Sumber Kehidupan Orang Papua
Hal itu sangat penting, bahkan bagi Gubernur Papua Lukas Enembe dan Uncen sendiri. Keterbukaan itu memberi kesempatan bagi publik menilai posisi dan keberadaan Lukas Enembe, yang katanya akan kembalikan Otsus Papua kepada rakyat Papua. Keterbukaan itu juga memberi kesempatan bagi publik menilai posisi Uncen sebagai lembaga akademik yang netral dan berkewajiban menyiapkan konsep, jalan keluar, jalan alternatif dan memberikannya pertimbangan solutif atas persoalan Papua. Keterbukaan itu juga penting untuk meredakan ketidakpuasan atau kecurigaan masyarakat Papua terhadap Pemerintah Provinsi Papua dan Uncen, khususnya Gubernur Lukas Enembe dan Rektor Apolo Safanpo.
Jalan untuk Akhiri Polemik Otsus Papua
UU Otsus Papua lahir dari akumulasi dampak perundingan masa lalu, seperti New York Agreement, kontrak karya PT Freeport Indonesia, integrasi/aneksasi Papua pada 1 Mei 1963, Pepera 1969, berbagai operasi militer di Papua, berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, serta dampak lainnya. Orang West Papua, bahkan sejumlah peneliti, menyebut Otsus Papua lahir karena tuntutan Papua Merdeka, sebuah tuntutan yang diajukan oleh mayoritas orang kulit hitam di timur Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Otsus Papua dulu adalah “jalan tengah”. Namun kini, Otsus Papua menjadi polemik, karena semakin banyak orang Papua yang menolak Otsus Papua.
Ada jalan yang bisa ditempuh untuk mengakhiri polemik Otsus Papua, yaitu membentuk tim perundingan segitiga berskala internasional. Terlepas apakah Otsus Papua akan dievaluasi secara ilmiah atau tidak, tim perundingan yang dimediasi pihak ketiga yang netral dan independen dapat dipercaya untuk menghasilkan solusi atas polemik Otsus Papua.
Jika ada pihak ketiga yang netral, independen, berkompeten, dan profesional-bisa Perserikatan Bangsa-bangsa atau negara yang tidak memiliki hubungan bilateral dengan Indonesia maupun ULMWP misalnya-proses itu dapat saja melakukan kajian ilmiah yang melibatkan akademisi internasional. Berikan kepercayaan penuh kepada pihak ketiga untuk melakukan evaluasi Otsus Papua secara ilmiah, dan kemudian menyiapkan konsep perundingan/perjanjian dengan tetap melibatkan pihak PBB yang memiliki mekanisme hukum internasional.
Tidak ada yang salah kalau PBB berpartisipasi dalam menentukan kebijakan Otsus Papua, karena kolonial Indonesia adalah anggota PBB. PBB pun pernah ikut campur dalam persoalan West Papua, melalui UNTEA.
Persoalan Otsus Papua, maupun berbagai persoalan lain di West Papua, tidak bisa diselesaikan dalam skala Jakarta-Papua atau seperti dialog Jakarta-Papua yang ditawarkan oleh Jaringan Damai Papua. Konflik di Papua, termasuk polemik Otsus Papua saat ini, terjadi akibat dari perundingan gelap masa lalu yang rata-rata tidak melibatkan orang Papua.
Maka, untuk saat ini harus ditempuh jalan perundingan yang sama, tapi dengan tetap mengedepankan orang West Papua sebagai prioritas utama dalam menentukan kebijakan atau masa depan Papua. Singkat katanya, kolonial Indonesia dan TPNPB, ULMWP, KNPB serta sejumlah elemen pro kemerdekaan West Papua harus duduk di satu meja perundingan segitiga yang sama rendah dan sama tinggi, dibawah kendali pihak ketiga yang paling netral, independen, berkompeten dan profesional.
* Penulis adalah masyarakat Papua di Jayapura.
Editor: Aryo Wisanggeni G