Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Direktur Eksekutif WALHI Papua, Primus Peuki mengatakan pihaknya akan terus berfokus kepada upaya untuk menolak pembukaan food estate, dan menuntut negara melindungi hak masyarakat adat mengelola wilayahnya. Hal itu dinyatakan Primus Peuki saat dihubungi Jubi melalui panggilan telepon pada Jumat (25/2/2022).
Peuki menegaskan konsep food estate tidak sesuai dengan konteks Papua. Konsep itu juga mengabaikan hak ulayat masyarakat adat, karena menerbitkan izin pembukaan lahan yang sangat luas bagi industri/korporasi. Padahal setiap jengkal tanah di Papua merupakan tanah ulayat yang ditempati masing-masing masyarakat adatnya.
“Papua seolah-olah tanah tak bertuan. Masyarakat adat, Orang Asli Papua, hingga pemerintah [daerah] sekali tidak dilibatkan dalam perencanaan kebijakan program food estate. Kami akan melakukan advokasi serta melindungi tanah adat dari program dan kebijakan apapun yang merugikan masyarakat adat,” kata Peuki.
Baca juga: WALHI: MIFEE berubah jadi food estate, tapi tetap rugikan masyarakat adat
Ia mengatakan lokasi tanah yang dicadangkan untuk proyek food estate mencapai 2,68 juta hektare, dan lebih dari 2 juta hektare di antaranya berada di kawasan hutan yang menjadi penghidupan masyarakat adat setempat. Selain membahayakan kelangsungan hidup masyarakat adat, proyek itu juga berpotensi mendorong laju konversi dan degradasi hutan.
“[Proyek itu] memberi ancaman lingkungan hidup dan relasi masyarakat dengan alam. Para investor tidak melihat orang Papua, tapi mereka selalu memandang Tanah Papua yang kaya, selalu dijadikan objek pembangunan. Kapitalisme dengan beragam wajah hadir dan diproteksi melalui berbagai produk hukum dan kebijakan,” katanya.
Peuki mengatakan hak masyarakat adat atas tanah ulayatnya kembali diuji oleh kebijakan pemerintah untuk melanjutkan pembangunan food estate di Papua. “Sesungguhnya program food estate di Papua bukan hal baru. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menyebutnya program Merauke Integrated Food and Energy Estate atau MIFEE. Bagi Orang Asli Papua, MIFEE melahirkan banyak persoalan dibanding manfaat. Kami akan [memperjuangkan] proteksi Orang Asli Papua dari kepentingan pemerintah,” kata Peuki.
Ia menayatakan WALHI Papua juga akan terus berkampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas pentingnya lingkungan hidup, menolak deforestasi, dan menghentikan kerusakan hutan di Papua.
Baca juga: WALHI: Food estate di Papua justru merampas hak masyarakat adat
“Kami juga akan memperkuat gerakan lingkungan hidup dengan melibatkan masyarakat adat Papua, petani, nelayan, kaum profesional pemuda dan kaum perempuan agar semua orang berbicara tentang lingkungan tapi juga ancaman kerusakan hutan di Papua. Hutan bagi [orang] Papua itu sesuatu yang penting, sakral, tidak [boleh] habis atas nama pembangunan,” katanya.
Aktivis lingkungan, Wirya mengatakan Eksekutif Nasional WALHI maupun WALHI Papua menolak program food estate, karena food estate dinilai bukan jawaban atas masalah Papua. “Satu-satunya cara bagi pemerintah untuk memperlihatkan keberpihakannya terhadap Orang Asli Papua adalah menaruh memenuhi kedaulatan Orang Asli Papua atas tanah, hutan dan hak lainnya,” katanya.
Wirya mengatakam masyarakat adat di Papua membutuhkan produk hukum yang menegaskan pengakuan, penghormatan, perlindungan, pemberdayaan, dan pengembangan hak-hak Orang Asli Papua dan masyarakat adat. “Otonomi Khusus seharusnya segera merealisasikan kebutuhan masyarakat adat,” kata Wirya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G