Papua No. 1 News Portal | Jubi
Timika, Jubi – Tinggal menghitung hari, Pendeta Dr. Benny Giay akan menanggalkan posisinya sebagai Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua yang ke-10, setelah memimpin selama dua periode: 2010-2021. Lalu, siapa penggantinya? Kita akan tahu pada 6 November mendatang.
Dalam wawancara bersama Jubi di Timika, Rabu (3/11/2021), Pendeta yang dijuluki sebagai Gembala Bangsa Papua ini menyampaikan sejumlah pesan kepada umat Kingmi dan secara umum bagi orang asli Papua.
“Mengawali konferensi ini, saya ingin kita mengingat kembali para pemimpin gereja kami yang sudah dipanggil Tuhan beberapa tahun ini,” pintanya.
Organisasi gereja ini sendiri telah dipimpin oleh sembilan orang pemimpin sejak tahun 1962 hingga saat ini. Berurutan dari yang pertama, Pdt. Ch. D Paksoal (1962-1972), Pdt. Bernadus Sumilat (1972-1977), Pdt. Yosia Tebay, M. Th (1977-1989), Pdt. Ruben Magai (1986-1987), Pdt. Yusuf Pekey, S.Th (1987-1988), Pdt. Obet Komba, Sm. Th (1988-1992), Pdt. Yhon M. Gobay, S.Th (2002-2004), Pdt. Seblum Karubaba, MA (2004-2010).
Pendeta Benny Giay sendiri terpilih dalam dua kali pemilihan yaitu pada Konferensi Kingmi IX dan X.
Dengan tidak mengurangi penghormatannya bagi para pendahulunya, Pdt. Giay menguraikan sedikit dari banyak tantangan yang dihadapinya dalam masa kepemimpinannya. Baik tantangan bagi organisasi gereja tersebut maupun bagi pribadinya.
“Saya akui bahwa setiap pemimpin sinode, baik di tahun 60-an, 70-an, dan 80-an, itu punya masalah sendiri, punya tantangan sendiri dan sejumlah tantangan yang mereka hadapi sendiri. Pada kesempatan di dalam raker ke-11 ini saya [ingin] angkat sejumlah soal yang kami hadapi dalam 5 atau 10 tahun kerja kami sebagai pengurus sinode,” katanya.
Tantangan dari dalam gereja sendiri, salah satunya adalah munculnya pandemi Covid-19, yang melanda seluruh dunia.
“Di antaranya Covid-19. Corona ini satu masalah yang sangat berpengaruh buat gereja kami, sama seperti masyarakat gereja di Tanah Papua dan bagian dunia lain,” kata Pendeta Giay.
Diakuinya, pandemi yang mulai melanda Papua pada awal 2020 ini dan diikuti dengan berbagai anjuran pemerintah Indonesia, diterima dengan beragam respons khususnya di dalam kehidupan berjemaat dan keluarga jemaat.
“Sebagian mengerti tapi tidak sedikit juga yang belum bisa terima dengan cara pikirnya dan alasannya sendiri,” ujarnya.
Pendeta yang meraih gelar doktor Antropologi Sosial di Vrije Universiteit, Amsterdam ini sangat memahami keputusan setiap umatnya. Menurutnya, keputusan jemaat yang mayoritas orang asli Papua itu tidak terlepas dari ingatan sejarah penderitaan dan kekejaman [memoria passionis] yang dialami orang Papua, pun hingga saat ini. Namun, dirinya terus meminta pekerja gereja untuk selalu mensosialisasikan perihal penyebaran virus ini hingga upaya pencegahan yang dapat diterapkan.
“Ini memang tidak mudah, tetapi kami selalu minta supaya barang ini [pandemi Covid-19] selalu disampaikan di jemaat-jemaat. Barang sederhana seperti pakai masker dan cuci tangan ini,” katanya.
“Saya juga tegaskan bahwa memang pentingnya kita sebagai gereja menaati protokol kesehatan karena kita bisa jadi pembawa penyakit corona. Kalau kita sendiri tidak apa-apa tapi kalau bisa menularkan penyakit itu kepada orang lain dan mereka jadi korban [penyakit], itu tidak boleh. Kita harus mencegah supaya orang lain sejahtera, orang lain tidak kena Covid-19. Itu tergantung perilaku kita,” pesannya.
Baca juga: Konferensi XI Sinode Kingmi di Tanah Papua: Berubah untuk Menjadi Kuat
Tantangan lain yang dihadapi, kata Pendeta, adalah terkait isu politik, rasisme, hingga militerisme.
“Termasuk masalah-masalah yang sudah diungkapkan LIPI sebagai empat akar masalah di Papua, yaitu rasisme, kegagalan dalam pembangunan, pemerintah dalam membangun ekonomi, masyarakat Papua dalam kesehatan dan pendidikan. Lalu ada perbedaan pandangan terhadap sejarah Papua dan pelanggaran HAM,” katanya.
Sebagian besar penyebaran jemaat Kingmi berada di wilayah adat Lapago sebanyak 10 kabupaten dan Meepago enam kabupaten. Sejumlah kabupaten di antaranya hingga kini berstatus ‘daerah konflik’ seperti Nduga, Puncak, Intan Jaya, Dogiyai, dan Yahukimo.
Kabupaten Puncak yang meliputi Puncak Selatan dan Timur serta Kabupaten Intan Jaya, yang nota bene ditunjuk menjadi tuan rumah Konferensi XI Sinode Kingmi ini pun terpaksa harus memindahkan tempat pelaksanaan ke Mimika, yang berdampak pula pada penundaan waktu hingga satu tahun.
Selain karena Covid-19, penundaan dan pemindahan juga disebabkan lahirnya gelombang pengungsi secara masif dari kampung-kampung ke pusat Ilaga, yakni pusat ibu kota Puncak. Begitu pula Intan Jaya. Hingga hari ini, sejumlah kampung di Distrik Sugapa harus mengungsi ke sejumlah gereja karena kontak tembak antara aparat keamanan Indonesia dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
“Dampak lain yang ditimbulkan tentu trauma yang berkepanjangan di keluarga. Suami ditembak, istri ditembak, anak ditembak, sampai ternak juga ditembak, kebun-kebun dihancurkan, atau laporan yang saya terima perempuan yang bisa ke kebun dan itu harus melapor di pos-pos keamanan. Barang-barang begini yang buat orang Papua trauma,” kata Pendeta.
“Sayang sekali karena kami tidak lihat ada upaya dari pemerintah seperti trauma healing bagi korban-korban ini, yang mayoritas jemaat gereja. Atau minimal upaya berikan rasa adil buat korban yang mati ditembak, siapapun pelakunya. Itu kami tidak lihat. Barangkali hanya kasus Pdt. Yeremia Zanambani yang proses hukumnya kita lihat, mungkin itu karena ramai di media, yang lain ini tidak ada. Ini tantangan besar bagi kita semua, termasuk gembala-gembala,” imbuhnya.
Hadirkan Damai Sejahtera
Pdt. Benny Giay mengatakan terlalu banyak dan berat tantangan bagi dirinya serta para gembala dalam merespons berbagai persoalan yang dihadapi umatnya dan orang Papua secara umum. Namun, upaya perbaikan keadaan itu harus terus dilakukan.
“Karena kami dipanggil dan diutus ke dunia yang penuh tantangan untuk memperjuangkan perdamaian di Tanah Papua, seperti semangat dalam lagu hymne Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua: Papua Damai Sejahtera,” ujarnya.
Para gembala dan pekerja gereja ditantangnya untuk setia dalam tugas pelayanan bagi semua umat manusia.
“Dalam dunia penuh penindasan dan ketidakadilan itulah kita dipilih dan diutus Tuhan ke dunia itu untuk ‘bercahaya seperti bintang di dunia’. Saudara para koordinator, badan pengurus klasis, badan pengurus jemaat, guru sekolah minggu, pimpinan dan guru sekolah teologi, biro, dan departemen di lingkungan Gereja Kingmi di Tanah Papua: hari ini Tuhan mengutus kita ke dunia itu,” katanya.
“Bagaimana kita akan menjaga obor Injil supaya tetap menyala di tanah ini? Apa upaya kita supaya bendera Kristis tetap berkibar? Mari kita menerima utusan Tuhan hari ini dan berubah untuk menjadi kuat,” pesan Pdt. Benny Giay. (*)
Editor: Dewi Wulandari