Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kebijakan afirmatif untuk mengutamakan calon anggota legislatif orang asli Papua tidak berlaku efektif, karena tidak dilengkapi aturan kuota. Peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua tidak mengatur kuota calon anggota legislatif asli Papua dalam daftar bakal calon anggota legislatif yang diajukan partai politik.
Hal itu dinyatakan dosen Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Cenderawasih Jayapura di Papua, Yakobus Richard Murafer di Jayapura, Senin (20/5/2019). “Salah satu penyebab mengapa minim caleg orang asli Papua yang lolos ke legislatif di daerah pada Pemilihan Umum 2019 adalah kurangnya regulasi yang melindungi kepentingan orang asli Papua,” ujar Yakobus Murafer kepada Jubi, Senin (20/5/2019).
Baca juga: Kepala daerah dan LMA diminta membuat rekomendasi bersama soal kuota kursi DPRD untuk OAP
Murafer membandingkan kebijakan afirmatif calon anggota legislatif (caleg) asli Papua dengan kebijakan afirmatif caleg perempuan yang telah dijalankan partai politik peserta Pemilihan Umum (Pemilu). Menurutnya, model pengaturan kebijakan afirmatif caleg asli Papua yang normatif sama sekali berbeda dari model pengaturan kebijakan afirmatif caleg perempuan yang konkret.
Pasal 245 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan daftar bakal caleg yang diajukan partai politik harus memuat sekurang-kurangnya 30 persen caleg perempuan. Sementara aturan rekrutmen politik yang dirumuskan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus) tidak mengatur proporsi atau kuota keterwakilan caleg orang asli Papua (OAP) dalam daftar bakal caleg yang diajukan partai politik peserta Pemilu dalam daerah pemilihan di Papua.
Baca juga: Perdasus parpol lokal dan rekrutmen politik OAP yang macet di Kemendagri mesti diperjuangkan
“Kalau melihat konteks saat ini, (proporsi caleg asli Papua dalam daftar bakal caleg yang diajukan partai) merupakan kewenangan partai. (Itu terjadi karena kuota caleg asli Papua) belum ada aturan hukumnya,” kata Murafer.
Murafer menyatakan kekosongan aturan kuota caleg asli Papua itu harus diatasi dengan membuat aturan turunan Pasal 28 UU Otsus. Aturan kuota itu bisa dirumuskan dalam Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) atau Peraturan Daerah Khusus). Ia menegaskan selama aturan kuota itu tidak diundangkan, partai politik tidak dapat dipaksakan menjalankan amanat UU Otsus untuk memprioritaskan orang asli Papua dalam penyusunan daftar bakal caleg di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), hingga Dewan Perwakilan Rakyat RI.
Baca juga: Perlu strategi selamatkan kursi untuk OAP di legislatif
Wakil Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRP, Emus Gwijangge mengatakan DPRP bukan tidak peduli dengan situasi semakin berkurangnya keterwakilan orang asli Papua dalam parlemen di Papua. Sejak sejak 9 September 2016, DPRP telah mengesahkan Perdasus tentang partai politik lokal dan rekrutmen politik partai politik di Papua. Perdasus itu tidak bisa diberlakukan karena belum mendapat penomoran dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Ketika kami konsultasikan ke Kemendagri, belum ada jawaban hingga kini. Perdasus itu masih tertahan di Jakarta,” kata Emus Gwijangge. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G