Siasat bertahan hidup Mama Papua di tengah pandemi

Papua
Lapak pedagang ikan segar di Pasar Pharaa, Sentani, Kabupaten Jayapura - Jubi/Yance Wenda.

Papua No.1 News Portal | Jubi

Pandemi Covid-19 memunculkan dilema baru bagi banyak orang. Mereka harus membatasi aktivitas dalam mencari nafkah, tetapi tidak ada alternatif sebagai sumber pemasukan keluarga.

Read More

DELIA Mallo kerap tidak sampai hati melihat nasib Mama-mama Papua di Pasar Pharaa, Sentani, Kabupaten Jayapura. Mereka pasti banyak merugi akibat dampak pandemi Covid-19, sedangkan pemenuhan kebutuhan hidup tidak pernah berkompromi.

“Kasihan, toh! Dagangan belum laku, dorang su harus pulang,” kata Mallo saat berbelanja di Pasar Pharaa, Kamis (25/6/2020).

Pembatasan aktivitas umum dan perdagangan selama pandemi Covid-19 membuat para pedagang harus pulang lebih awal dari biasa. Kekhawatiran warga terhadap penularan korona semakin menggerus pendapatan pedagang.

“Sejak (pandemi) Covid1-9 saya menjadi takut (berlama-lama belanja). Setelah membeli ikan, saya langsung pulang,” ujar Mallo.

Karena harus cepat pulang, pedagang pun banting harga. Jika tidak begitu, dagangan mereka bisa semakin tidak laku lantaran membusuk.

Mujair, misalnya dibanderol hingga separuh dari harga normal. Ikan yang dipanen dari Danau Sentani itu biasa dijual seharga Rp80 ribu-Rp100 ribu setumpuk, tetapi saat ini hanya Rp40 ribu-Rp50 ribu setumpuk. Setumpuk mujair beratnya bisa mencapai lebih dari 1 kilogram.

“Supaya jangan sampai tidak laku, ikan-ikan itu kami lepas (jual) dengan harga murah. Yang penting, besok masih bisa (ada modal untuk) berjualan,” kata Anace Suebu.

Mama Suebu menggelar dagangannya di meja berukuran 2 x 3 meter di Pasar Pharaa. Pendapatannya merosot sejak pandemi Covid-19.

“Mama bisa dapat Rp1 juta sehari, sebelum (pandemi) Covid-19. Sekarang ini, hancur betul (pendapatan anjlok),” ucapnya

Suebu juga membatasi pembelian ikan. Perempuan Papua asal Sentani itu tidak sanggup lagi membeli dalam jumlah banyak. Pendapatannya seret, dan isi dompetnya pun semakin terkuras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

“Mama suruh langganan (penampung ikan) sabar dulu. Mama tra bisa beli banyak ikan lagi karena modal su hancur-hancuran,” kata ibu empat anak tersebut.

Dilema baru

Pandemi memunculkan dilema baru bagi banyak orang. Mereka harus membatasi aktivitas dalam mencari nafkah, tetapi tidak ada alternatif sebagai sumber pemasukan keluarga.

Tidak hanya Suebu, ada ratusan bahkan mungkin ribuan Mama-mama Papua harus menghadapi dilema serupa. Perekonomian mereka terpuruk akibat hantaman pandemi Covid-19.

“Mama biasa bikin (jual) 20 roti bakar. Sekarang, 15 roti saja. Harganya Rp15 ribu (sebuah),” kata Karolina Fonataba, penjual roti bakar di Pasar Pharaa.

Semasa awal pandemi covid-19, perempuan asal Biak Numfor itu sempat mengalihkan lokasi usahanya ke eks Pasar Doyo Baru. Itu untuk menyiasati pembatasan waktu beraktivitas di Kabupaten Jayapura. Eks Pasar Doyo Baru berada tidak jauh dari kediaman Fontaba sehingga waktu berjualannya sedikit lebih leluasa.

Sejak itu, Fontaba juga menambah jenis dagangannya, yakni sagu. Bahan untuk pembuatan papeda tersebut dijualnya seharga Rp10ribu-Rp20 ribu sepotong. “(Mengandalkan) pendapatan dari berjualan roti saja tidak cukup (untuk kebutuhan sehari-hari).

Fonataba tidak bertahan lama di lokasi yang baru itu. Dia kemudian balik lagi berjualan di Pasar Pharaa. Dagangannya masih tetap sama, yakni roti bakar dan sagu potong.

“Di eks Pasar Doyo Baru pembelinya malah lebih sepi. Paling hanya 5-10 roti terjual (setiap hari),” kata Perempuan berusia 65 tahun, tersebut.

Walaupun telah menambah jenis dagangan dan kembali berjualan di Pasar Pharaa, pendapatan Fonataba masih jauh dari normal. “Dahulu bisa dapat Rp150ribu-Rp200 ribu, sekarang cuma Rp50 ribu-Rp100 ribu (sekali jualan). Sekarung sagu biasa habis (terjual) dalam tiga hari, sekarang bisa sepekan.”

Berbagai cara ditempuh Fonataba agar kepulan asap dapur mereka tidak benar-benar padam akibat hantaman pandemi. “Mama juga antar (jualan) roti ke rumah-rumah. Bayarnya, bisa bisa kapan-kapan.”

Strategi bertahan hidup dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19 juga dilakoni Mariche. Dia sehari-hari berjualan sirih-pinang di eks Pasar Doyo Baru. ”Biar orang bilang, Covid-19 itu berbahaya, saya tetap berjualan. Kalau tidak begitu, kami mau makan apa.”

Namun, perempuan asal Demta tersebut pun mau, tidak mau mengurangi stok jualannya agar tidak merugi. “Saya biasa ambil (jual) 2-3 kantong, tetapi sekarang dikurangi. Uang (modal) sudah menipis dan pembeli sangat sepi.” (*)

 

Editor: Aries Munandar

Related posts

Leave a Reply