Selama 2021, LBH Papua tangani 57 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak

Pemidanaan di Papua
Foto ilustrasi penjara - pixabay.com

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Tim Perempuan dan Anak Divisi Sipil dan Politik Lembaga Bantuan Hukum Papua, Novita Opki mengatakan sepanjang 2021 pihaknya menangani 57 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dari 57 kasus itu, sejumlah 20 kasus diantara merupakan kasus kekerasan yang dilakukan secara daring.

“Dari 57 kasus yang kami dampingi, kasusnya beragam. Kami tangani mulai dari konsultasi, maupun dalam advokasi litigasi dan non litigasi,” kata Novita Opki saat ditemui Jubi di Kota Jayapura, Rabu (23/2/2022).

Read More

Opki menjelaskan ada kecenderungan semakin bertambahnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilakukan secara daring. “Biasanya kasusnya seperti penyebaran foto yang disebarkan di media sosial ataupun aplikasi layanan pesan, juga pesan berbau seksual yang menyerang perempuan,” katanya.

Sepanjang 2021, LBH Papua menangani 20 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilakukan secara daring. “Baik itu yang konsultasi maupun yang langsung kita tangani. Usai mendapatkan laporan, kami langsung laporkan ke bagian Cyber Polda Papua,” kata Opki.

Baca juga: Ini contoh kekerasan negara terhadap perempuan dan anak di daerah konflik Papua

Opki mengatakan para pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak sering kali justru orang yang telah tahu aturan hukum. “Beberapa kasus kekerasan seksual pelakunya adalah aparat penegak hukum. Ada juga oknum pejabat pejabat daerah, oknum aparat aparat negara. Jadi dapat dikategorikan bahwa pelakunya adalah orang atau kelompok yang sebenarnya sudah sadar terhadap hukum sendiri,” katanya.

LBH Papua juga melakukan advokasi terhadap perempuan atau anak yang berhadapan dengan hukum. “LBH Papua menangani kasus perempuan dan anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Kategorinya adalah pelaku perempuan, maupun pelaku anak. Kami melihat hak-hak yang harus didorong terhadap akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum,” katanya.

Opki membeberkan bahwa dalam sejumlah kasus perempuan yang berhadapan dengan hukum adalah pelaku dalam kejahatan yang terkait dengan narkotika. “Biasanya kasus ganja,” ujarnya.

Baca juga: UU KKR diharapkan bisa selesaikan kasus pelanggaran HAM berat terhadap perempuan

Menurutnya, dalam mengadvokasi kasus anak yang berhadapan dengan hukum, LBH Papua mengedapankan upaya restorative justice. “Untuk menangani perkara anak, biasanya kami mendorong restorative justice, penyelesaian masalah di luar hukum melalui pendekatan yang lebih efektif dan melihat hak anak sebagai anak yang harus dilindungi oleh hukum,” ujarnya.

Opki mengatakan pada tahun 2021 juga LBH Papua mendapatkan pengaduan dari perempuan dan anak yang berada di daerah konflik. Di antaranya Kabupaten Nduga dan Intan Jaya.

“Pada bulan November kami diberikan kepercayaan untuk mendorong akses keadilan bagi anak-anak yang berada di daerah [konflik], khususnya di Intan Jaya. Persoalkan yang ditemui juga sangat kompleks,”katanya.

Sulit mengadili pelaku

Ada banyak hambatan dalam mengadvokasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Papua. Salah satunya, sulit membawa pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak ke pengadilan.

“Kasus yang sukar ke pengadilan itu misalkan perempuan korban kekerasan dari orang yang mempunyai kepentingan tertentu, atau misalkan punya jabatan tertentu. Biasanya kita mendapatkan hambatan  untuk mendorong advokasi dan mendapatkan keadilan bagi perempuan dan anak yang mendapatkan kekerasan,” katanya.

Opki menyatakan jika kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak melibatkan pejabat, aparat penegak hukum di Papua juga meminta agar kasus itu diselesaikan secara kekeluargaan. “Saya melihat itu karena ada faktor relasi kuasa dari pihak pelaku dan korban pemerkosaan, sehingga kasus serius itu kemudian tidak diproses hukum,” katanya.

Baca juga: Sa Perempuan Papua sarankan pendekatan komunitas untuk advokasi kekerasan seksual

Opki juga menilai aparat penegak hukum di Papua kurang memahami persepktif perlindungan perempuan dan anak dalam hal terjadinya kasus kekerasan terhadap kedua kelompok rentan itu. Hal itu juga menyulitkan upaya untuk membawa pelaku ke pengadilan.

“Misalkan kalau ada Kekerasan Dalam Rumah Tangga, biasanya kami membawa kasus itu sampai ke kepolisian, [tapi] mereka mengatakan bahwa itu urusan keluarga, jadi biar urus secara baik-baik. Padahal, Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah tindak pidana. Kasusnya ada 20 kasus lebih,” kata Opki.

Opki mengatakan pihaknya juga kesulitan mendampingi perempuan yang menjadi istri aparat keamanan. “Ada oknum polisi dan oknum tentara yang melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap anak-anak maupun istrinya. Cara melakukan kekerasan fisik, atau penelantaran keluarga. Ada beberapa kasus yang kami masih dorong, ada yang sudah sampai ke pengadilan, ada juga yang dapat hambatan karena kepentingan [aparat penegak hukum] untuk saling melindungi,” katanya.

Menurut Opki, ada tiga kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berhasil didorong hingga sampai ke pengadilan. “Kalau sepanjang tahun 2021 sebenarnya ada banyak juga yang kita sudah proses kasusnya melakukan kekerasan seksual terhadap anak dan kita sudah sampai ke jalur hukum,” ujarnya.

KabarPapua.co pada 21 Januari 2022 melansir pernyataan Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah (Polda) Papua, Kombes Ahmad Mustofa Kamal yang menyebut Polda Papua sepanjang 2021 menangani 221 kasus pengaduan kekerasan perempuan dan anak. Kasus kekerasan itu dilakukan dengan beragam cara.

Baca juga: Dukung peran perempuan di ruang publik untuk cegah kekerasan

“Sekitar 221 kasus tersebut terdiri dari 54 kasus kekerasan fisik dan psikis terhadap anak, 58 kasus persetubuhan, 23 kasus  pencabulan, 11 kasus pemerkosaan, 53 kasus penganiayaan, 4 kasus pengeroyokan, 6 kasus pelantaran dan 12 kasus perzinahan. Sejumlah 221 kasus kekerasan perempuan dan anak itu [ditangani] Subdit IV Remaja, Anak dan Wanita Direktorat Resese Kriminal Umum Polda Papua,” kata Kamas, sebagaimana dikutip dari KabarPapua.co.

Kamal mengatakan Polda Papua bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Komisi Nasional dan Komisi Nasional Anti Kekerasan pada Perempuan (Komnas Perempuan) untuk melakukan pendampingan korban dan penanganan kasus itu. Ia menyatakan polisi juga telah memiliki unit pelayanan khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Saya meminta masyarakat agar tidak takut melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami atau yang terjadi di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Polri memiliki Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) yang khusus menangani kejahatan atau kekerasan terhadap perempuan serta anak. Jadi jangan takut atau ragu melaporkan,” katanya. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply