Papua No.1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Anggota DPR Papua Jhon NR Gobai melakukan reses di Nabire pada Selasa (29/6/2021).
Reses digelar dengan cara diskusi terbuka guna mencari masukan-masukan atau pendapat dari para tokoh masyarakat tentang isi hati orang Papua.
Menurutnya, hasil diskusi kemudian akan dijadikan bahan dalam rapat-rapat atau sidang di DPR Papua.
Diskusi ini berlangsung di Kantor Kelurahan Kalibobo, Distrik Nabire Papua, yang dihadiri oleh para tokoh adat, kepala suku dan tokoh pemuda.
Tokoh pemuda dari Suku Besar Yerisiam Sima, Frans Beratabui mengusulkan agar DPR Papua mengeluarkan regulasi yakni perdasi dan perda khusus yang mengatur tentang pemetaan wilayah adat.
Sebab saat ini, perampasan tanah adat terus terjadi, baik oleh orang Papua sendiri maupun perusahaan. Apalagi jika ada perusahaan, masyarakat adat akan diadu domba dan berpotensi konflik.
“Perlu ada pemetaan wilayah adat maka harus ada aturan hukumnya. Hari
ini, sesama Papua bisa terjadi konflik karena perampasan tanah. Belum lagi kalau ada perusahaan masuk, lalu mengadu domba masyarakat adat. Contohnya kami di Sima,” usul Beratabui.
Kepala Suku Yaur, Saul Waiwowi ikut memberikan pendapat tentang Otonomi Khusus Papua. Menurut Saul, pelaksanaan UU Otsus memiliki beragam versi dari berbagai kalangan dan tidak seirama. Misalnya beda antara Papua dan Jakarta, yang artinya pelaksanaan Otsus dikendalikan dari Jakarta.
“Jadi sebenarnya Otsus ini untuk siapa? Imbasnya masyarakat hanya dengar otsus dan otsus tapi tidak ada kesejahteraan yang diperoleh,” ucap Saul.
Saul meminta agar pemerintah menggelar dialog, seperti dialog Helzinky dan Aceh. Namun dialog ini harus dilangsungkan antara pemerintah pusat dan perwakilan dari tujuh wilayah adat di Papua.
“Menurut saya, harus ada dialog. Kalau tidak referendum saja,” kata Waiwowi.
Sekretaris II Suku besar Wate Nabire, Jhon Wayar meminta DPRP untuk mengingatkan Pemprov tentang pekerjaan yang dikerjakan pengusaha dari Provinsi.
Sebab, jika ada pekerjaan fisik yang dilakukan di Kabupaten Nabire dan berdekatan dengan rumah penduduk, sering diabaikan dengan tidak memperhatikan kendala yang akan terjadi.
Contohnya, di jembatan penghubung Kampung Sanoba dan Waharia yang kini
terbengkalai. Selain itu ada rumah penduduk di sana yang hendak digusur tanpa pertanggungjawaban baik dari OPD pemilik pekerjaan maupun kontraktornya.
“Kalau ada pekerjaan yang dikerjakan kontraktor dari Provinsi, kadang
mengabaikan hak masyarakat. Seperti di jembatan Sanoba. Ada rumah yang tergusur di sana, tanpa pertanggungjawabannya. Saya minta DPRP suarakan hal ini di Provinsi,” kata Wayar.
Piter Homba, tokoh pemuda suku Yaur meminta agar perlu ketegasan dari
Pemrov dalam pembatasan sosial di hari minggu.
Sebab banyak orang tidak menghargai hari Minggu sebagai hari ibadah bagi umat Kristen. Misalnya, di areal wisata Hiu Paus. Di sana ada perkampungan yang
sedang melakukan ibadah, namun pengunjung sering berlalulalang disaat ibadah berlangsung.
“Ini mungkin di daerah lain juga. Kalau di Nabire, sudah ada perda tentang larangan beraktivitas di hari Minggu sebelum ibadah usai yakni pukul 12.00 siang. Tapi kenyataannya, masih ada yang tidak memperhatikan hal ini. Saya minta ada perda dari Provinsi untuk diterapkan oleh pemprov dan pemkab. Perda ini harus dipertegas lagi, masa Aceh bisa tapi di Papua tidak,” ucapnya.
Anggota DPR Papua Jhon NR Gobai menjelaskan, hasil dari diskusi ini
akan dijadikan sebagai bahan evaluasi dan masukan ke Provinsi. Sehingga, dalam kebijakannya memperhatikan saran dan masukan dari masyarakat.
“Saya lalukan reses dan jaring aspirasi masyarakat. Nanti akan saya sampaikan ke Provinsi,” jelas Gobai. (*)
Editor: Edho Sinaga