Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi– Dulu sebelum gempa bumi dan tsunami, warga Kampung Warbon dan Saukobye masih tinggal di wilayah Korem pantai. Akibat gempa dan tsunami pada 1996, warga bermukim di wilayah hutan adat Warbon.
Tak jauh dari permukiman di daratan hutan adat Warbon, terdapat mata air Wabaf yang keluar menjadi kali Warbondori dan bermuara di pondok wisata Pantai Warbon. Melalui muara kali ini, nelayan Kampung Sakobye dan Warbon menambatkan perahu mereka di dekat sumber air minum dan mandi bagi warga kampung di dekat kali Warbon. “Mata air ini tak pernah kering,”kata Alex Abrauw kepada jubi di kediamannya, Kamis lalu (3/3/2022).
Ada pula sagu yang tumbuh, Jubi memantau terdapat pula 10 perahu yang tinggal rapi tertutup daun-daunan. Rupanya tak sebagian besar warga kedua kampung ini berprofesi sebagai nelayan. butuh nyali besar untuk melaut memang. Gelombang laut di pantai Korem cukup tinggi, berhadapan langsung dengan Lautan Pasifik. Kalau pun hendak melaut memasuki bulan April, orang kampung setempat menyebutnya “musim wampasi”, gelombang pasti berkurang.
Berkebun dan nelayan
Tak heran kalau berkebun menjadi pilihan utama bagi mereka, berladang dengan cara yang oleh para antropolog disebut “Slash and burn agriculture.” Cara bertani ini adalah suatu areal di hutan milik keret tertentu dibersihkan lalu ditanami batang keladi dan ubi talas. “Jenis tanaman yang biasa di tanam keladi “japan”, ubi jalar Ransyo,ubi talas Ifen dan sayuran, “kata Mama Besina Rumbrapuk Abrauw .
Menurutnya, biasanya bapak bapak yang membersihkan kebun. kaum perempuan bertugas menanam.
Kebun keladi kalau sudah panen, butuh delapan bulan, sehingga harus bikin kebun lebih dari satu agar panen bisa terus terjaga dan stok pangan selalu tersedia.
Selain menanam keladi, kata Mama Besina Ambrauw masyarakat sejak 1997 sudah mulai menanam sirih dan pinang. Karena lebih cepat panen dan hasilnya sangat menguntungkan.
Pakar konservasi Dr Yance de Freter dan Conservation Internasional Indonesia (CII) di Manokwari, menilai perladangan berpindah di daerah tropis termasuk kepulauan di Biak, sesuai dengan kondisi tanah hutan tropis.
“Hampir semua tanah tropis tidak sesuai untuk pertanian intensif. Kesuburan tanah daerah tropis merupakan suatu sistem/siklus pemanfaatan energi secara tertutup dan sangat rentan terhadap sinar matahari produsen(tumbuhan dan binatang) terhadap gangguan, ” katanya.
Perladangan berpindah sebenarnya pemanfaatan lahan tropis yang sesuai sebab setelah lahan kehilangan kesuburan maka peladang akan membiarkan lahan tersebut (follow period) untuk untuk memperbaiki siklus energinya. Tak heran kalau para peladang akan membiarkan kebun lama tinggal selama hampir lima tahun agar kembali subur dan banyak zat haranya.(*)
Editor: Syam Terrajana