Politik anggaran di Papua belum untungkan kelompok perempuan

Pelatihan Penyusunan Anggaran di Papua
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengadakan pelatihan Politik Anggaran dan Peran DPRD yang berlangsung di Kota Jayapura, Rabu (27/10/2021). - Jubi/Hengky Yeimo

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Politik anggaran publik di Papua dinilai belum menguntungkan kelompok perempuan. Hal itu dinyatakan Direktur Eksekutif Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat atau PT PPMA Papua, Naomi Marasian selaku pemateri dalam pelatihan Politik Anggaran dan Peran DPRD yang diselenggarakan Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) di Kota Jayapura, Rabu (27/10/2021).

Marasian yang membawakan materi bertajuk “Kebijakan anggaran Responsibel terhadap Gender” menyatakan diskriminasi dan kesenjangan gender di Papua terjadi karena semua aspek kehidupan didominasi oleh laki-laki. Tidak adanya perspektif gender dari para pemangku kepentingan dalam proses penyusunan anggaran tidak memberi perhatian terhadap kebutuhan kelompok perempuan.

Read More

Kesenjangan alokasi anggaran bagi kebutuhan kelompok perempuan itu masih menjadi pengalaman empirik perempuan di Papua. “Perempuan diperlakukan tidak adil dalam semua sektor kehidupan, baik ekonomi, kesehatan,” kata Marasian.

Baca juga: Kesimpangsiuran data jadi masalah serius dalam proses penganggaran

Politik anggaran di Papua juga belum cukup berpihak kepada kebutuhan kelompok anak dan disabilitas. Marasian mengatakan partai politik harus punya visi yang berpihak kepada masyarakaat kecil dan rentan, termasuk perempuan anak dan kaum disabilitas.

“[Kemauan] partai [politik] [memenuhi] kuota [perempuan dalam proses pencalonan anggota DPR itu penting, sehingga membuka ruang untuk pendidikan politik bagi perempuan, anak, serta kaum disabilitas. Anggota DPR jangan membangun pola eksklusivisme, harus memiliki sensitifitas, mampu bekerja cepat dan bisa mengevaluasi implementasi kebijakan yang telah dibuat,” kata Marasian.

Marasian mengatakan perlu ada kebijakan untuk memastikan politik anggaran di Papua responsif terhadap persoalan gender di semua  aspek. Ia mengingatkan, jika perempuan tidak diberikan ruang untuk memberdayakan diri, persoalan justru akan semakin rumit, karena diskriminasi gender akan semakin menguat.

Baca juga: Dewan Adat kurang dilibatkan dalam perencanaan anggaran di Papua

Ia menegaskan perempuan memunyai hak sama dalam pembangunan. Pandangan Hak Asasi Manusia (HAM) juga mengedepankan kesetaraan gender. “HAM sebuah konsep hukum normatif juga mengatur tentang hak setiap orang untuk mendapatkan hak dasarnya. Dalam konteks perempuan, semua aspek [pemenuhan HAM] harus berpihak kepada perempuan,” kata Marasian.

Menurutnya, Pemerintah Provinsi Papua maupun DPR Papua harus merumuskan strategi untuk mencapai keadilan kesetaraan gender. Salah satunya dengan memastikan setiap kebijakan/peraturan dirumuskan dengan memperhatikan usulan kelompok perempuan dan kaum disabilitas di Tanah Papua. “Agar  permasalahan yang terjadi di masyarakat, khususnya [yang] berhubungan dengan perempuan, dapat diminimalisir,” kata Marasian.

Frida Tabita Klasin, aktivis Papuan Women’s Working Group mengungkapkan beberapa kondisi yang kerap menghambat peran perempuan dalam perencanaan dan politik anggaran di Papua. Diantaranya, pemikiran dan sikap menomorduakan kaum perempuan dengan mengatasnamakan kebiasaan atau adat/budaya patriarki.

Baca juga: FITRA membuat pelatihan perencanaan anggaran di Papua

Situasi itu membuat kelompok perempuan tidak dapat menyampaikan pendapatnya, karena dibatasi dalam [berbicara] ruang publik atau bersuara atas pengambilan kebijakan publik. “Tidak ada yang berubah, perempuan jadi tulang punggung keluarga, tetapi apa yang mereka dapatkan jauh dari cukup. Kemiskinan mewarnai kehidupan perempuan, termasuk tingginya kasus kematian ibu melahirkan,” paparnya.

Frida mengatakan pembangunan yang baik harus melibatkan partisipasi semua pihak, termasuk perempuan. Namun, partisipasi tersebut belum sepenuhnya terwujud, karena dominasi kelompok laki-laki yang kerap mengatasnamakan adat untuk membuat kebijakan yang lebih berpihak kepada kebutuhan kelompok laki-laki ketimbang kelompok perempuan. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply