POHR : Desakan Komisi HAM PBB, bukti Indonesia apatis terhadap persaolan HAM

papua
Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) Thomas C.H Syufi - Doc Pribadi

 

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Koordinator Papuan Observatory for Human Rights (POHR) Thomas C.H Syufi mengatakan, apatisme Indonesia terhadap persoalan HAM, ekosob, lingkungan, pendidikan dan kesehatan di Papua, membuat masyarakat internasional makin menaruh curiga terhadap pemerintah Indonesia atas keterpurukan situasi HAM di Papua dan Papua Barat.

Read More

“Sudah berulang- ulang kali badan PBB yang diwakili Komisi HAM meminta pemerintah Indonesia, perlu menegakkan hak asasi manusia bagi rakyat Papua. Namun hal itu tidak pernah direspons baik oleh pemerintah Indonesia. Sehingga kami minta agar pemerintah Indonesia serius menanggapi desakan Dewan Hak Asasi Manusia PPB melalui Special Procedures Mandate Holders atau SPMH,” katanya kepada Jubi melalui pesan layanan Whatsapp, Jumat, (18/2/2022).

Bahkan katanya,  lembaga-lembaga non-pemerintah(NGO) yang berkonsentrasi di lembaga HAM termasuk negara-negara yang terhimpun dalam Afrika, Karibia, dan Pasifik(ACP) juga mendesak pemerintah Indonesia memberi izin untuk Komisaris Tinggi HAM PBB turun ke tanah Papua, memantau langsung situasi dan perkembangan HAM masyarakat Papua yang selama ini diberitakan terpuruk.

“Oleh sebab itu pemerintah Indonesia harus memberikan hak melakukan klarifikasi dan memberikan penjelasan mengenai sejumlah kasus dugaan penghilangan paksa, penggunaan kekerasan berlebihan, penyiksaan, dan pemindahan paksa di Papua dan Papua Barat,”.

Baca Juga: 

Dag Hammarskjöld, Sekjen PBB yang ingin Papua jadi bangsa merdeka

Jangan gunakan alasan pandemi COVID-19 untuk hambat kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua

Namun menurutnya,  Jakarta tidak pernah peduli dengan suara korban di bumi Cenderawasih, tidak mau dengar suara ACP, Washington, Uni Eropa, suara kaum moralis tentang kemelut kemanusiaan di Tanah Papua.“Hal ini akan merugikan reputasi dan kedaulatan Indonesia di masa depan,” katanya.

Syufi mengatakan, negara Indonesia juga harus belajar dari sejarah Timor Timur masih terpahat rapi dalam benak bangsa ini. Timor Timur merdeka karena Jakarta banyak mensimplifikasi problem HAM bahwa semua itu persoalan minor dalam negeri.

“Namun terakhir, Indonesia seperti disapu banjir bandang HAM,yang membawa pulau Timor Timur keluar dari Indonesia melalui proses referendum 30 Agustus 1999,”.

Pada kunjungan para petinggi negara- negara APEC Indonesia di Bogor 15-16 November 1994 di Bogor, yang mana Bill Clinton(Presiden AS) pun ikut hadir, hingga menjadi momentum politik bagi aktivis Timor Timur menduduki Kedubes AS di Jakarta. Presiden Soeharto pun kelabakan dan isu Timor Timur langsung diketahui oleh Presiden AS.

“Dan ketika Soeharto jatuh dari kursi presiden, selain Australia, Amerika di bawah Presiden Bill Clinton yang mendesak BJ Habibie memberi referendum untuk Timor Timur. Bisa jadi (berlaku) untuk Papua ke depan,” katanya.

Dia berharap, ide tentang pemekaran yang dibahas oleh pemerintah dan DPR yang berbasis pada analisis BIN itu bisa ditangguhkan. Pemerintah diminta mengurungkan niat untuk membangun politik “settler colonialism” dan “devide et impera” ala politik zaman Romawi dan Belanda .

“Desain politik mengubah penduduk asli dengan penduduk penduduk imigran/ orang luar dan politik memecah belah dan menguasai. Ini intrik politik yang dicurigai oleh warga Papua dan masyarakat internasional karena dikategorikan sebagai genosida,” katanya.

Syufi menegaskan, pemekaran sama sekali tidak membawa orang Papua jadi lebih baik taraf hidupnya.. Justru membuka peluang banjiran penduduk dari luar untuk menguasai orang Papua, hingga orang Papua teralienasi, tertindas, dan menuju pada permusnahan.

“Saya sarankan kepada pemerintah Indonesia segera fokus membuka dialog dengan rakyat Papua untuk menyelesaikan berbagai akar konflik di tanah Papua, salah satunya adalah pelanggaran HAM,” katanya.

Menurutnya karena tuntutan HAM, sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. HAM bisa menjadi pintu masuk kemerdekaan Papua. Maka, jangan lagi ada perbedaan persepsi di antara para petinggi atau instituasi negara, TNI-Polri, Istana, Kemlu harus berkolaborasi dan saling mendengarkan.

“Timor Timur merdeka karena Kemlu memperjuangkan kepalsuan isu yang diproduksi oleh TNI-Polri. Kemlu perlu mendengarkan pendapat para aktivis dan LIPI, karena di situlah representasi objektivitas problem Papua,” katanya.

Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua, Latifah Anum Siregar mengatakan pemerintah Indonesia harus memenuhi permintaan itu. Special Procedures Mandate Holders adalah mekanisme internasional, sehingga pemerintah Indonesia harus tanggung jawab ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui SPMH.

“Sebagai bentuk tanggung jawabnya, maka pemerintah Indonesia mesti memberikan jawaban berdasarkan bukti-bukti yang ada kepada Dewan Hak Asasi Manusia PPB melalui SPMH,” kata Siregar.

Menurutnya, pemerintah harus menjelaskan apa yang dikatakan pemerintah sebagai upaya penegakan hukum yang tegas dan terukur.

“Harus benar-benar secara profesional, dan masyarakat sipil merasa dilindungi, juga tidak dikriminalisasi,” katanya.

Editor: Syam Terrajana

Related posts

Leave a Reply