Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Juru bicara Petisi Rakyat Papua, Jefry Wenda mengatakan pihaknya mengimbau rakyat Papua untuk mengikuti demonstradi damai yang rencananya digelar pada 1 April 2022. Demonstrasi itu akan digelar untuk mendesak pemerintah mencabut Otonomi Khusus Papua Jilid 2, membatalkan rencana pemekaran Provinsi Papua, dan memberikan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi rakyat Papua.
Hal itu dinyatakan Jefry Wenda kepada Jubi pada Senin (28/3/2022). “Kami mengimbau kepada 116 organisasi gerakan akar rumput, pemuda mahasiswa, komunitas/Paguyuban, kepala-kepala suku dan rakyat Papua yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua, serta 718.179 rakyat Papua yang telah menandatangani petisi itu untuk melakukan konsolidasi dan mobilisasi di masing-masing wilayah guna aksi serentak pada 1 April 2022,” kata Wenda.
Wenda mengajak seluruh rakyat Papua yang ada di Papua dan Indonesia untuk menghentikan aktivitas produksi dan memobilisasikan diri serta terlibat aktif dalam aksi nasional Petisi Rakyat Papua. Demonstrasi damai pada 1 April 2022 akan menolak segala produk hukum dan kebijakan kolonial Indonesia yang hakikatnya untuk mempertahankan penjajahan di bumi West Papua.
Baca juga: Petisi Rakyat Papua ingin galang 2 juta dukungan tuntut Hak Penentuan Nasib Sendiri
Wenda menyatakan Petisi Rakyat Papua juga mengharapkan dukungan dari warga non-Papua yang telah lama tinggal dan hidup di Papua. “Kami mengimbau kepada saudara kami non-Papua—baik dari suku Jawa, Madura, Batak, Toraja, Bugis, Nusa Tenggara Timur, dan sebagainya—yang telah lama hidup di atas West Papua dan telah menganggap diri bagian dari bangsa Papua untuk dapat terlibat dalam rencana aksi serentak di seluruh bumi tercinta kita, West Papua,” kata Wenda.
Wenda berharap Dewan Gereja Papua (DGP), Dewan Adat Papua (DAP), dan berbagai lembaga swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dan/atau mengadvokasi aksi nasional Petisi Rakyat Papua itu. “Petisi Rakyat Papua bertanggungjawab atas semua rangkaian aksi nasional yang akan dilaksanakan pada 1 April 2022 diseluruh wilayah Papua dan Indonesia,’ katanya.
Wenda menyatakan ada sejumlah hal yang mendorong Petisi Rakyat Papua merencanakan aksi damai itu. Salah satunya, langkah pemerintah mengumpulkan sejumlah bupati yang wilayahnya akan disatukan menjadi Provinsi Pegungungan Tengah. Menurutnya, Kementerian Dalam Negeri telah mengundang sembilan bupati itu melalui surat tertanggal 4 Maret 2022.
Baca juga: Dewan Gereja Papua tolak rencana pemekaran provinsi di Tanah Papua
“Pertemuan direncanakan [berlangsung] pada 14 Maret 2022, mengagendakan persiapan pemekaran Provinsi Papua di wilayah pegunungan tengah. Pembahasan tersebut didasarkan Pasal 76 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,” kata Wenda.
Wenda menyatakan pihaknya juga mengikuti langkah sejumlah elit politik lokal di Papua dan Papua Barat, termasuk Surat Keputusan (SK) Gubernur Papua Barat No 125/72/3/2020 tentang pembentukan Provinsi Papua Barat Daya. “Ada lagi deklarasi empat bupati [wilayah selatan Papua, Merauke, Asmat, Boven Digoel, dan Mappi]. [Lalu ada] permintaan [pemekaran Provinsi Papua dari] Ketua Asosiasi Pegunungan Tengah Papua, Befa Jigibalom kepada Presiden Joko Widodo di Jakarta,” kata Wenda.
Wenda menyatakan rakyat Papua telah merespon langkah para elit politik Papua itu dengan membuat demonstrasi menolak pemekaran Papua yang berlangsung di banyak tempat, termasuk Jakarta, Yogyakarta, Jayapura, Wamena, Enarotali, dan Dekai. Demonstrasi menolak pemekaran Papua di Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo, bahkan berakhir dengan bentrokan hingga menyebabkan dua demonstran meninggal ditembak polisi.
Baca juga: Bertemu MRP, BEM Uncen serahkan pernyataan sikap menolak pemekaran Papua
“Rakyat Papua menyadari bahwa upaya pembentukan Provinsi Papua Tengah dan [provinsi lainnya] sudah direncanakan jauh sebelum disahkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Rakyat Papua menolak Otonomi Khusus, karena Otonomi Khusus itu diberikan oleh Jakarta untuk meredam gerakan rakyat Papua menuntut kemerdekaan,” kata Wenda. Akan tetapi, Wenda menilai pemerintah pusat justru secara sepihak mengubah substandi Otonomi Khusus Papua, termasuk dengan mengubah aturan pemekaran provinsi di Tanah Papua.
Wenda mengkritik pemekaran wilayah untuk membentuk kabupaten baru di Tanah Papua yang dinilai gagal menyejahterakan Orang Asli Papua. Pemekaran untuk membentuk kabupaten baru di Tanah Papua itu justru dinilai semakin memarjinalisasi Orang Asli Papua.
“Akibat dari [pemekaran itu], banyak terjadi polarisasi. Keberadaan orang Papua sangat jauh dari kata sejahtera. Kondisi rakyat Papua di sektor kesehatan buruk. [Tingkat] buta huruf paling tinggi di Indoneia, [padahal Tanah Papua] wilayah penghasil emas dan migas. Kabupaten Mimika merupakan salah satu kota termiskin di Papua, ironisnya PT Freeport Indonesia berada di sana,” katanya.
Baca juga: Dimakamkan di pinggir jalan, Yakob Meklok dan Esron Weipsa jadi simbol menolak pemekaran Papua
Menurut Wenda, pemekaran tidak menciptakan kesempatan bekerja bagi Orang Asli Papua “Kondisi penjajahan berakibat kepada lambatnya perkembangan sumber daya manusia Papua. [Pemekaran] justru [menimbulkan] perpecahan yang sangat masif, akibat politik pecah-belah antara orang Papua,” katanya.
Wenda juga mengkritik pemekaran dan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) yang selalu dijadikan alasan bagi TNI dan Polri untuk menambah markas aparat keamanan baru di Tanah Papua. “Pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan militeristik di Papua, sampai saat ini. Sepanjang tahun 1962-2004, paling sedikit 500 ribu jiwa rakyat Papua yang meninggal dalam rentetan operasi militer dalam skala besar.Dalam 4 tahun terakhir, operasi militer terjadi di Nduga, Puncak Jaya, Intan Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang. Juga di Maybrat, [Provinsi Papua Barat],” katanya.
Wenda menyebut operasi militer tersebut berdampak merugikan warga sipil, menimbulkan pengungsian, rasa terteror, pelanggaran Hak Asasi Manusia, membuat warga kehilangan rumah dan harta benda. Pengungsi juga kehilangan akses pendidikan dan kesehatan, bahkan akses jurnalis.
Baca juga: Anggota DPD asal Papua sebut Papua tidak butuh pemekaran
“Papua merupakan pulau angka kematiannya tinggi, salah satu penyebabnya adalah mati karena dibunuh. Kematian dalam jumlah yang banyak juga diakibatkan gizi buruk dan kelaparan,” katanya.
Wenda menegaskan pemekaran dan pembentukan DOB di Tanah Papua hanya akan menguntungkan pemodal. Pembangunan jalan, infrastruktur kota, serta aset vital lainnya seperti pembangunan pelabuhan, akan dimanfaatkan para pemodal untuk mengambil kekayaan alam Papua.
“[Pembangunan infrastruktur] itu sangat dibutuhkan guna mendukung percepatan proses angkut barang mentah di Papua. Akses modal menjadi semangat pencaplokan Papua [oleh] NKRI, secara paksa. Pemaksaan dengan kekerasan itu menjadi akar masalah sejarah masa lalu bagi orang Papua. Akar masalah ini yang mesti diselesaikan. Perpanjangan otsus dan membuka daerah pemekaran baru tidak akan pernah menyelesaikan persoalan rakyat Papua,” katanya.
Baca juga: Kebijakan pemekaran Papua inkonsisten dengan kebijakan moratorium pemekaran
Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Cenderawasih, Yakobus Murafer mengingatkan pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Papua harus komunikatif dalam menyikapi polemik pemekaran Provinsi Papua. “Ada pro dan kontra tentang pemekaran daerah. [Semua] aspirasi harus diterima, lalu dibahas oleh pihak terkait,” katanya.
Murafer mengingatkan pengunjuk rasa yang datang menyampaikan aspirasi tidak boleh berseberangan dengan aturan. Sebaliknya, Murafer menegaskan pemerintah Indonesia dan Jakarta harus mendengarkan para pengujuk rasa, karena penyampaian aspirasi itu bagian dari demokrasi.
Murafer menyatakan pemerintah harus belajar dari hasil pemekaran wilayah sebelumnya, yang menunjukkan bahwa tidak semua pemekaran berdampak positif. “Terutama proses pembangunannya, belum dilakukan sepenuhnya, [dan] justru jadi beban pemerintah pusat,” katanya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G