Dewan Gereja Papua tolak rencana pemekaran provinsi di Tanah Papua

Dewan Gereja Papua
Para pimpinan Dewan Gereja Papua, Presiden Gereja Baptis Papua, Pdt Socratez Sofyan Yoman (paling kiri), Pdt Benny Giay (tengah), dan Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt Dorman Wandikbo (paling kanan) saat menyampaikan seruan Dewan Gereja Papua di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Senin (21/3/2022). - Jubi/Yance Wenda

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Dewan Gereja Papua menolak rencana pemekaran provinsi di Tanah Papua. Pembentukan provinsi baru di Tanah Papua dinilai Dewan Gereja Papua akan mempermudah eksploitasi sumber daya alam Papua dan semakin memarjinalkan Orang Asli Papua.

Hal itu dinyatakan Dewan Gereja Papua dalam keterangan pers di Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura, Papua, Senin (21/3/2022). “Kami terus memprihatinkan tren meningkatnya jumlah migrasi orang Indonesia masuk ke Tanah Papua. Dalam kurun waktu 59 tahun Indonesia menduduki tanah dan manusia di Tanah Papua, dari waktu ke waktu orang Papua terus semakin tersisih dan termajinalkan di atas tanah mereka sendiri,” kata Presiden Gereja Baptis Papua, Pdt Socratez Sofyan Yoman saat membacakan pernyataan resmi Dewan Gereja Papua.

Read More

Yoman menyatakan jumlah Orang Asli Papua di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat saat ini mencapai 2,3 juta jiwa. Padahal, Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah penduduk Provinsi Papua hasil Sensus Penduduk 2020 mencapai 4,3 juta jiwa, sementara jumlah penduduk Provinsi Papua Barat hasil Sensus Penduduk 2020 mencapai 1,134 juta jiwa.

Baca juga: Dewan Gereja Papua: Tarik pasukan dan pulangkan pengungsi dulu, baru dialog

Yoman menyatakan pertambahan penduduk di Papua sangat tinggi, karena tingginya migrasi penduduk Indonesia ke Tanah Papua. Ia menyatakan pada tahun 1971 jumlah penduduk Indonesia di Tanah Papua 36.000 jiwa, dan jumlah Orang Asli Papua 887.000 jiwa.

Hasil Sensus Penduduk 2000—yang dilakukan sebelum ada Otonomi Khusus Papua dan pemekaran provinsi serta kabupaten/kota di Tanah Papua—menunjukkan jumlah penduduk di Tanah Papua mencapai 1,66 juta jiwa. Data hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan jumlah penduduk Provinsi Papua telah berlipat menjadi 2,83 juta jiwa, sementara jumlah penduduk Provinsi Papua Barat mencapai 760,42 ribu jiwa.

“Pemekaran kabupaten/kota maupun provinsi di Tanah Papua telah menjadi senjata ampuh pemerintah dalam melakukan politik penguasaan dan pendudukan di Tanah Papua. Akibat pembangunan dan pemekaran selama 59 tahun, aspek ekonomi dan sosial budaya Orang Asli Papua diambil alih dan dikuasai warga migran dari Indonesia. Mereka juga mulai masuk menguasai dalam politik parlemen dan pemerintahan di Tanah Papua. Saat ini, dari 42 kabupaten/kota di Tanah Papua, 14 kabupaten/kota telah dikuasai kelompok warga migran dari Indonesia,” kata Yoman.

Baca juga: Dimakamkan di pinggir jalan, Yakob Meklok dan Esron Weipsa jadi simbol menolak pemekaran Papua

Dewan Gereja Papua menyatakan pembentukan Provinsi Papua Barat dan berbagai kabupaten baru di Tanah Papua telah dijadikan alasan bagi TNI/Polri untuk membentuk satuan teritorial baru di Tanah Papua. Dewan Gereja Papua juga menyoroti pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III yang berpusat di Timika, ibu kota Kabupaten Mimika.

“Selain itu pusat-pusat militer baru telah dibangun dan terus dipersiapkan. TNI merencanakan pendirian setidaknya 31 Kodim baru di Maluku dan Papua selama tahun 2020-2021. Berangkat dari pernyataan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, akan ada penambahan Kodim baru di wilayah Kodam Kasuari di Provinsi Papua Barat, dan Kodam Cenderawasih di Provinsi Papua. Polri juga merencanakan penambahan Polda, Polres, Polresta, juga pasukan Brimob di Tanah Papua,” kata Yoman.

Dewan Gereja Papua meminta Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, Badan Intelijen Negara dan Komisi II DPR RI untuk menghentikan semua manuver rencana politik pemekaran provinsi untuk membentuk empat provinsi baru di Tanah Papua. Dewan Gereja Papua menyatakan rencana pemekaran itu dipaksakan dan tanpa aspirasi rakyat Papua.

Baca juga: Anggota DPD asal Papua sebut Papua tidak butuh pemekaran

Kami meminta supaya Gubernur, para bupati dan wali kota se-Tanah Papua, dan berbagai [pemangku] kepentingan seperti pihak universitas, akademisi di Indonesia dan di Papua, tokoh masyarakat Papua, tokoh pemuda Papua, tokoh perempuan, dan juga lembaga swadaya masyarakat  yang menjalankan agenda politik Jakarta untuk segera menghentikan semua manuver dan upaya pemekaran Provinsi di Tanah Papua,” kata Yoman.

Dewan Gereja Papua juga meminta Kepala Kepolisian Daerah Papua maupun Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih untuk menghentikan segala tindakan represif kepada rakyat yang menyampaikan aspirasi penolakan Otonomi Khusus dan pemekaran provinsi di Tanah Papua. Yoman menyatakan pihaknya menyesalkan cara aparat keamanan menangani demonstrasi menolak pemekaran di Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo pada 15 Maret 2022.

“Sekali lagi kami menyaksikan tindakan aparat TNI-POLRI yang sewenang-wenang dalam menghadapi warga sipil yang melakukan demonstrasi damai menolak pemekaran propinsi baru di Dekai, Yahukimo pada tanggal 15 Maret 2022. Tindakan represif tersebut mengakibatkan dua orang mati tertembak, delapan orang mengalami luka tembak dan tiga [diantaranya] kritis, serta dua orang ditahan di Polres Yahukimo,” kata Yoman.

Baca juga: Kunjungi Komnas HAM, MRP bahas revisi UU Otsus Papua dan pemekaran

Dalam forum yang sama, Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt Dorman Wandikbo mempertanyakan peranan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM RI untuk memperbaiki situasi HAM di Papua. Wandikbo juga mempertanyakan Komnas HAM RI yang tiba-tiba melontarkan wacana dialog untuk menyelesaikan masalah Papua.

Wandikbo menyatakan Komnas HAM RI seharusnya juga bersuara menyikapi rencana pemerintah memekarkan provinsi di Tanah Papua, dan berbagai rencana TNI/Polri untuk menambah satuan teritorial di Tanah Papua.

“Komnas HAM punya kewenangan untuk menolak pemekaran. Komnas HAM juga punya kewenangan untuk menarik operasi militer, dan menarik pasukan non organik. Hal itu yang Komnas HAM [harus] lakukan,” ujarnya. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply