Papua No. 1 News Portal | Jubi
Persekusi, rasisme, dan intimidasi terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, Jawa Timur serta Semarang, Jawa Tengah beberapa hari lalu mesti dicegah agar tidak meluas.
Menurut Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey, kepada Jubi, Selasa (20/8/2019), teriakan rasisme terhadap mahasiswa Papua juga dialami mahasiswa Papua di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Senin (19/8/2019). Namun situasi di wilayah ini segera diredam aparat kemananan dan Pemprov Sulsel.
“Tugas aparat keamanan dan pemerintah sejumlah daerah, segera mencegah kejadian serupa meluas di kota studi di daerah lain,” kata Ramandey.
Menurutnya, masyarakat dan ormas di berbagai daerah mesti menyadari bahwa tindakan persekusi, rasisme, dan intimidasi memicu reaksi dari pihak korban, dan simpati publik. Tindakan rasisme bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi, Ras, dan Etnis.
“Aksi di luar Papua ini memang ada sebab-akibat. Tapi misalnya di Surabaya, orang-orang di sana mesti dapat menunjuk siapa oknum mahasiswa yang dituduh membuang bendera, karena bendera dipasang di luar pagar. Bisa saja orang lain yang bukan mahasiswa,” ujarnya.
Mestinya perangkat pemerintahan di wilayah itu mengkomunikasikannya, karena ini masalah simbolik.
Sikap ormas di Surabaya kemudian memicu reaksi secara luas dan demo di Provinsi Papua dan Papua Barat. Akan tetapi, sikap Kapolri, Tito Karnavian yang datang ke Surabaya untuk memastikan rasa nyaman bagi anak-anak Papua, dan memberi perintah kepada seluruh jajaran kepolisian di daerah lain, agar memberi pengawasan kepada anak-anak Papua di setiap daerah, merupakan langkah tepat. Aparat keamanan di daerah lain mesti mengambil langkah serupa.
“Ajakan Presiden sebagai sikap reaktif Presiden patut diapresiasi. Gubernur Jawa Timur, dan Gubernur Sulsel juga menyampaikan permohonan maaf, itu patut diapresiasi. Langkah-langkah ini penting untuk mencegah kejadian serupa meluas,” katanya.
Wakil Ketua I DPR Papua, Edoardus Kaize, mempertanyakan kapasitas ormas di Indonesia.
“Ormas ini bukan bagian dalam pemerintahan di negara ini. Dia organisasi massa di luar pemerintahan. Jangan bertindak seolah-olah bagian dari pemerintahan,” kata Kaize.
Ia juga mempertanyakan pernyataan berbagai pihak di Surabaya, yang menyatakan tak ada teriakan permintaan memulangkan mahasiswa Papua, sebab dalam video yang beredar jelas-jelas ada teriakan-teriakan seperti itu.
Di Malang, aparat keamanan di lokasi kejadian semestinya dapat mencegah bentrokan antara mahasiswa Papua dan ormas reaksioner.
Dia mengatakan tindakan rasisme sudah berulang kali, dan harus ditelusuri apakah ada sentimen tertentu terhadap orang Papua. Sebagai orang asli Papua dirinya sangat marah, kecewa, dan tidak menerima dengan perkataan-perkataan rasisme.
“Ini kan kita manusia. Kalau kami orang Papua yang menyatakan hal serupa kepada orang non-Papua, pasti mereka juga marah. Ini mesti diselesaikan secara tuntas, agar ke depan hal serupa tidak terjadi lagi,” katanya.
Jangan halangi protes warga Papua
Frits Ramandey menyatakan aparat keamanan dan pemerintah daerah yang ada di Papua jangan membatasi aksi protes terhadap perlakukan rasisme, persekusi, rasisme, dan intimidasi kepada mahasiswa Papua di Malang, Surabaya, dan Semarang.
“Dalam konteks Papua, pemerintah daerah dan kepolisian jangan mencegah gerakan protes masyarakat. Akan tetapi memfasilitasi aksi protes itu dengan baik. Jangan dihambat, karena kalau dihambat bisa mengundang reaksi lain,” kata Ramandey.
Aksi protes masyarakat Papua ini juga sebagai peringatan dan pelajaran kepada oknum pelaku persekusi, rasisme, dan intimidasi agar tidak mengulanginya.
Dia pun meminta kepolisian di Surabaya mesti mengungkap oknum yang melakukan tindakan rasisme.
“Kalau melihat video insiden di Surabaya yang beredar di publik, kan ada oknum TNI. Pihak pihak TNI mesti menangkap yang bersangkutan dan memintai klarifikasi mengapa mengintimidasi berlebihan dengan kata-kata yang mengandung unsur rasis,” katanya.
Dengan mengungkapkan pelaku intimidasi, rasisme dan persekusi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, serta memfasilitasi protes massal rakyat Papua, rasa persatuan, persaudaraan, rasa kepercayaan dan toleransi tetap dijaga.
Komnas HAM Papua memberangkatkan dua tim ke Manokwari dan Sorong, Papua Barat, Rabu (21/8/2019). Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa pascarusuh penangannya tidak menimbulkan reaksi lain, atau serangan aparat kepada masyarakat asli Papua dalam komunitas tertentu.
“Jangan sampai dengan kejadian ini, aparat keamanan menyisir kelompok-kelompok suku tertentu. Komnas HAM ingin memastikan itu. Kami juga ingin memastikan sejauh mana upaya kepolisian mengungkap pelaku tindakan anarkis, tapi mesti terukur,” katanya.
Namun Komnas HAM Perwakilan Papua mengapresiasi Kapolda Papua Barat yang tidak mengerahkan aparat keamanan bertindak refresif terhadap massa saat terjadi kerusuhan di Manokwari dan Sorong.
Katanya, dalam kasus demo rusuh di Papua Barat, kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat dibakar, eks kantor gubernur dibakar, kantor DPR dibakar. Sementara di Sorong, objek vital publik yakni bandara juga tak luput dari kemarahan massa. Tapi pendekatan polisi cukup baik, termasuk pendekatan polisi dalam mengawal demo di Kota Jayapura, persuasif. Pendekatan seperti ini mesti terus dijaga.
Anggota Komisi I DPR Papua bidang pemerintahan, politik, hukum dan HAM, Emus Gwijangge, mengatakan Presiden Joko Widodo dan Kapolri Tito Karnavian, mesti turun tangan menyelesaikan masalah ini.
“Masalah ini tidak cukup diselesaikan dengan minta maaf atau kata-kata memahami apa yang dirasakan orang asli Papua. Mesti ada langkah konkrit dan penegakan hukum terhadap para pelaku,” kata Gwijangge.
Para pengambil kebijakan di pusat juga sebaiknya membubarkan ormas-ormas yang bisa mengancam ketenangan, persatuan dan kesatuan masyarakat di negara ini. Masalah ini mesti segera diselesikan agar tak ada lagi dampak lain-lain yang muncul.
“Masalah rasisme sangat sensitif. Hanya rasisme dan pelanggaran HAM yang dapat mempersatukan orang asli Papua,” katanya.
Namun menurutnya, jika kedua isu ini tak dikelola dengan baik akan berkembang pada isu lain, yang tak diinginkan para pengambil kebijakan di negara ini. Untuk itu, isu rasisme ini jangan anggap sebagai masalah kecil. Apalagi kini di sejumlah, kabupaten lain di Papua juga melakukan demo seperti di Biak, Merauke, dan Nabire. (*)
Editor: Timo Marten