Perempuan Papua harus menjadi garda terdepan sastra Papua

Komunitas Sastra Papua
Diskusi daring Komunitas Sastra Papua pada Rabu (12/8/2020). – Jubi/Timo Marten

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Perempuan harus menjadi garda terdepan dalam memajukan sastra di Tanah Papua. Demikian dikatakan Koordinator Komunitas Sastra Papua atau Kosapa, Hengky Yeimo dalam diskusi daring yang disiarkan melalui zoom, facebook dan youtube, Rabu, (12/8/2020).

Diskusi daring bertema “Progres Perempuan untuk Sastra Papua” pada Rabu sore hingga petang itu menghadirkan Alfrida Yamanop (penulis puisi dan novel), Vonny Aronggear (penulis cerpen dan puisi), Aprilia Wayar (novelis), dan Ummu Fatimah Lestari (penulis buku mop Papua), yang dipandu Rina Krebru.

Read More

Yeimo berkata, diskusi ini bertujuan agar perempuan Papua sebagai garda terdepan untuk mengajak orang Papua untuk mewariskan sastra Papua. Perempuan Papua juga diharapkan berupaya membangkitkan rasa cinta akan sastra Papua, dan mengajak orang Papua agar memulai menulis dan membaca untuk mengembangkan literasi di Tanah Papua.

Yeimo menyatakan Kosapa ingin menjadikan sastra Papua media edukasi sastra Papua dan pengembangan literasi bagi masyarakat Papua.  “Hari ini dimulai oleh perempuan Papua,” kata Hengky Yeimo.

Menurut jurnalis Jubi.co.id itu, perkembangan sastra di Papua dewasa ini meningkat pesat dan merata. Orang asli Papua yang kental dengan budaya tutur perlahan mulai berubah dan meminati sastra tulisan.Hal itu mengindikasikan bahwa pendokumentasian tentang sastra di Papua sedang bertumbuh subur.

Sejak 2009 perkembangan sastra di Papua tidak didominasi oleh kalangan tertentu, suku tertentu, laki-laki atau perempuan. “Semakin lama, sastra bertumbuh subur dan muncul dari setiap daerah, didokumentasikan oleh anak-anak muda Papua, dengan cara meracik sastra yang berciri khas Papua. Perkembangan pendokumentasian sastra tidak sebatas puisi, cerpen, novel, buku tetapi juga dieksplorasi dalam berbagai aspek kehidupan seperti tarian, nyanyian, drama, teater,” katanya.

Baca juga: Untuk Papua yang bebas dan setara, suara perempuan Papua dalam kolaborasi “Tonawi Mana”

Berangkat dari perkembangan itu, Kosapa menyediakan ruangan bagi perempuan Papua, untuk berbicara tentang produk sastra yang telah didokumentasikan dan dikembangkan oleh penulis-penulis sastra di Tanah Papua. Yeimo menyatakan perkembangan perempuan Papua dalam khazanah susastra merupakan satu cermin kebangkitan sastra di Papua.

Menariknya, demikian menurut Yeimo, perempuan Papua lebih jeli dan cermat memotret kehidupan orang Papua dibanding penulis laki-laki. Melalui diskusi daring pada Rabu, Yeimo berharap dapat memperoleh pengalaman dari penulis perempuan menulis kehidupan orang Papua dari sastra lisan ke sastra tulis, karya karya mereka menjadi dokumentasi yang utuh guna memajukan literasi di Papua.

Aprilla Wayar berpesan agar orang-orang di Papua banyak membaca, terutama generasi muda. “Baca apa saja. Menulis tidak harus seperti yang dibicarakan dalam teori-teori,” kata Wayar.

Sedangkan Vonny Aronggear mengajak generasi muda Papua untuk menulis dan membaca, sebab menulis dan membaca sebagai media kontrol. “Baca tanpa fungsi kontrol ibarat seni tanpa keindahan,” katanya.

Di sisi lain, Alfrida Yamanop mengingatkan bahwa menulis itu penting. Dengan menulis kita dapat memperkenalkan Papua. “Kita juga punya tanggung jawab moral untuk Papua. Dan meneruskan sesuatu yang punya insting, bergizi. Mulai saja dulu, menulis. Terkait membaca dan menulis, saya berharap [kedua aktivitas itu] berjalan beriringan. Intinya kita sama-sama membangun peradaban yang bermartabat di Tanah Papua,” katanya.

Peneliti mop dari Balai Bahasa Papua, Ummu Fatimah Lestari menuturkan berbagai anekdot dalam mop Papua merupakan prosa rakyat berisi cerita atau anekdot. Ummu merekomendasikan agar pemerintah harus memiliki kebijakan yang tertulis untuk sastra minoritas, sehingga setidaknya mendorong mop Papua menjadi bahan pembelajaran di sekolah.(*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply