Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM perwakilan Papua menilai penangkapan dan penetapan 13 aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) wilayah Merauke, oleh kepolisian setempat justru memunculkan masalah baru.
Kepala Kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey mengatakan pihaknya menyayangkan tindakan polisi, yang dinilai represif itu.
“Kami sayangkan pendekatannya represif. Ini tidak menyelesaikan masalah, justru menimbulkan masalah baru dan menjadi sorotan. Mestinya yang dipakai, cukup pendekatan dialogis. Itu sudah selesai,” kata Frits Ramandey kepada Jubi, Kamis (21/1/2021).
Menurutnya, tim Komnas HAM perwakilan telah mengunjungi para aktivis KNPB itu, pascapenangkapan pada 13 Desember 2020 silam.
Katanya, Komnas HAM perwakilan Papua mengunjungi para aktivis itu untuk memastikan bahwa mereka ditahan dengan fasilitas memadai serta emastikan mereka diperlakukan secara manusiawi, tidak berlebihan.
Komnas HAM perwakilan Papua membenarkan, ada beberapa di antara aktivis yang mengalami luka di bagian kepada dan belakang tubuh.
“Betul ada di antara mereka yang diduga mendapat penganiayaan karena ada luka di kepala dan di belakang. Kami juga mengunjungi sekretariat mereka dan mendengar keterangan mereka,” ujarnya.
Selain menemui aktivis KNPB yang kini ditahan di Polres Merauke, Komnas HAM perwakilan Papua juga meminta klarifikasi beberapa hal kepada Kapolres Merauke sebagai penanggung jawab, dan Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres setempat.
“Sebenarnya mereka ini tidak beda dengan aktivis KNPB di beberapa daerah. Mereka sebenarnya tidak membahayakan,” ujarnya.
Ramandey menyayangkan penangkapan belasan aktivis KNPB yang diduga berlebihan. Padahal ketika itu, mereka tidak melakukan perlawanan.
“Kami memberi masukan kepada Kapolres, karena secara teknis Kapolres yang bertanggung jawab,” ucapnya.
Penangkapan dan penetapan 13 aktivis KNPB Merauke sebagai tersangka, membuat Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua sebagai tim penasihat hukum para tersangka, mengajukan permohonan pra peradilan terhadap kepolisian.
Satu di antara anggota Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua, Latifah Anum Siregar mengatakan termohon adalah Kapolri, Kapolda Papua, dan Kapolres Merauke.
Akan tetapi karena penangkapan terjadi di Merauke dan permohonan pra peradilan diajukan ke Pengadilan Negeri di sana, maka Kapolres Merauke yang hadir sebagai termohon dalam sidang perdana, Senin (18/1/2021).
“Diduga penangkapan, penahanan, penyitaan, penetapan tersangka terhadap 13 aktivis KNPB di Merauke tidak sesuai prosedur. Mereka dikenakan pasal makar,” kata Anum kepada Jubi, Senin (18/1/2021).
Menurutnya, penetapan belasan aktivis KNPB Merauke sebagai tersangka oleh Polres setempat, tidak didahului pemeriksaan sebagai saksi.
Selain itu, saat penangkap polisi tidak menunjukkan surat perintah tugas dan surat perintah penangkapan. Setelah lebih dari satu kali 24 jam baru surat itu diberikan polisi.
Koalisi menilai, proses hukum yang dilakukan polisi tidak berdasarkan hukum dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Juga tidak sesuai peraturan hukum acara yang tertera dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.
Kata Anum, penangkapan dan penggeledahan terhadap para aktivis KNPB itu pada 13 Desember 2020, tidak disertai bukti permulaan yang cukup.
“Alasan polisi menangkap karena ditemukan simbol-simbol makar, ada buku kuning. Itu kata polisi. Tapi kita tidak tahu buku kuning itu siapa punya dan ditemukan bagaimana. Mesti dicari asal usulnya. Siapa yang buat,” ucapnya. (*)
Editor: Edho Sinaga