Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: RP Alexandro Rangga, OFM*
Pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua bukanlah solusi karena tidak menjawab akar persoalan Papua. Selain itu pemekaran hanya akan memperbanyak masalah lama di daerah otonom yang baru. Masalah-masalah lama tersebut dijabarkan oleh beberapa pernyataan berikut.
“Pemekaran tidak akan menyejaterahkan orang Papua tetapi kaum pendatang.” “Pemekaran akan semakin meningkatkan jumlah transmigran di Tanah Papua.” “Pemekaran hanya akan semakin memarjinalkan orang Papua.” “Kami tolak pemekaran karena pemekaran sarat dengan kepentingan para elite politik nasional dan lokal di Papua.”
Terlepas dari pro dan kontra serta beragamnya pendapat tentang akar persoalan di Papua, penulis mencoba menganalisis dan mengkaji kebijakan pemekaran di Papua, yang akan mulai dibahas Rancangan Undang-Undang (RUU) pada tahun 2022 dan diharapkan pada tahun 2023 sudah ada Daerah Otonom Baru (DOB) di Tanah Papua, dengan bertolak dari akar persoalan Papua sebagaimana yang telah dijabarkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam bukunya Papua Road Map.
Baca juga: Peduli Paniai: peduli siapa?
Empat akar persoalan di Papua itu ialah kegagalan pembangunan, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua (OAP), kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik wilayah Papua.
Pertama, kegagalan pembangunan. Menurut pemerintah Indonesia, pemekaran di Papua bertujuan untuk mempercepat pemerataan pembangunan, mempercepat peningkatan pelayanan publik, mempercepat kesejahteraan masyarakat serta mengangkat harkat dan martabat OAP.
Upaya percepatan pembangunan demi mendekatkan pelayanan dan pengawasan terhadap jalannya kebijakan-kebijakan pemerintahan sangatlah mendesak di Papua, karena situasi geografis Papua yang amat sulit.
Dengan membagi Papua dan Papua Barat menjadi menjadi enam wilayah administrasi, yaitu, Papua Barat Daya, Papua Barat, Papua Tengah, Pegunungan Tengah, Papua Selatan, dan Papua Tabi-Saireri, kesulitan geografis dan rentang kendali pengawasan terjawab sudah.
Baca juga: Paham tanah dan krisis ekologis di Papua
Persoalannya ialah pendekatan pembangunan dan kesejahteraan selama ini dianggap gagal dan mendapat penolakan dari orang Papua. Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2021 masih terendah di Indonesia. Belum lagi pendekatan pembangunan akhir-akhir ini yang berwajah militeristik yang acap kali memakai cara-cara kekerasan dan represif, serta tidak menghormati orang Papua sebagai pemilik tanah ini;
Kedua, marginalisasi dan diskriminasi orang asli Papua. Adanya kebijakan pemekaran di Papua yang mendapatkan kekhususan berupa pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota yang dapat dilakukan tanpa melalui tahapan daerah persiapan dan tanpa harus memenuhi persyaratan dasar dan persyaratan administratif sebagaimana tercantum pada pasal 93 PP No.106/2021, akan semakin memarginalkan dan mendiskriminasi orang asli Papua, karena kehadiran mereka tidak dihargai dan dipedulikan sama sekali dalam proses pengambilan kebijakan.
Bahkan Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representatif kultural Papua beberapa kali menolaknya secara terbuka di media massa. Lebih jauh, 34 DOB di Papua yang sudah disahkan oleh DPR dinilai gagal, tidak menyejaterahkan OAP dan malah menjadikan mereka kelompok marginal di daerah mereka sendiri.
Baca juga: Buku Nahkoda Tangguh di Tengah Badai, belajar dari kepemimpinan Ketua KPU Arief Budiman
Layanan pendidikan dan kesehatan misalnya, tetaplah buruk dengan tidak adanya guru dan proses belajar mengajar maupun puskesmas yang kosong melompong.
Kebijakan pemekaran yang disertai dengan program transmigrasi besar-besaran sebagai upaya meng-upgrade jumlah penduduk di suatu Daerah Otonomi Baru (DOB) memperparah diskriminasi struktural ini. Jamak ditemukan di pusat-pusat kota, pusat-pusat ekonomi, bahkan pusat-pusat pemerintahan yang ditempati dan dikuasai oleh para pendatang hanya menyisakan kepala daerah yang adalah OAP.
Kalaupun OAP tidak siap dalam proses pembangunan, setidaknya salah satu amanat UU Otsus 2001 berupa proteksi terhadap orang asli Papua mestinya ditegakkan. Hal inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan, pembangunan di Papua untuk siapa? Untuk orang asli Papua atau kaum migran yang didatangkan ke Papua?
Baca juga: Keterbukaan informasi mencegah korupsi
Ketiga, kekerasan dan tuduhan pelanggaran HAM. Kebijakan pemekaran tanpa proses persiapan, tanpa pemenuhan persyaratan dasar dan administratif sudah mengindikasikan (akan) adanya kekerasan dan pelanggaran HAM (baru) karena bersifat elitis dan tidak menyentuh masyarakat akar rumput (grass root). Masyarakat akar rumput Papua yang tidak tahu-menahu dengan baik akan memerotes dan menolak pemekaran.
Pendekatan yang sering dibuat oleh pemerintah menghadapi penolakan ini ialah operasi militer berupa pengerahan besar-besaran aparat keamanan. Beberapa kasus di Intan Jaya, Puncak Jaya hingga Pegunungan Bintang menjadi contoh konkret.
Dengan tidak adanya penyelesaian hingga kini kasus-kasus HAM di Papua, setidaknya tiga kasus yang telah diakui oleh Menkopolhukam Mahfud MD, yang terjadi selama masa pemerintahan Jokowi, yakni kasus Wasior Berdarah (13 Juni 2001), Kasus Wamena (2003) dan Paniai (2014), menjadi sinyalemen buruk terjadinya kasus-kasus yang baru.
Terakhir, sejarah dan status politik wilayah Papua. Pemerintah Indonesia telah menegaskan bahwa sejarah dan status politik wilayah Papua dalam bingkai NKRI telah final dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Bahkan hingga kini tidak ada satu pun negara yang mempersoalkan kedaulatan Indonesia atas Papua.
Baca juga: Degradasi Persipura dan konspirasi Jakarta di Papua
Akan tetapi, pemerintah Indonesia pun tidak dapat menafikan fakta bahwa wacana akan sejarah dan status politik wilayah Papua ke dalam NKRI yang dinilai manipulatif masih hidup dalam pikiran dan keyakinan orang Papua, yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi.
Keyakinan ini makin kuat karena kebijakan pemekaran Daerah Otonomi Baru di Papua yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia bersifat politik strategis untuk menjaga Papua tetap dalam NKRI, terutama dengan metode top down yang kontraproduktif dengan legitimasi Otsus.
Ini semua justru semakin menebalkan aspirasi untuk mengatur diri sendiri (baca; merdeka). “Kalo dong (Indonesia) tra mo dengar kami, pisah saja supaya kam[i] ator diri sendiri.”
Bertolak dari kajian atas keempat poin di atas, dapat disimpulkan bahwa pemekaran sebagai upaya pemerintah Indonesia, untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan OAP bukanlah solusi yang menjawab akar persoalan di Papua. Sebagaimana Otsus 2001, yang juga merupakan kebijakan pemerintah Indonesia telah dinilai gagal, demikian pula pemekaran akan gagal.
Baca juga: Semangat anak-anak “kaki abu” di rutan Polda Papua
Oleh karena itu, solusi terbaik ialah dialog antara pemerintah Indonesia dan orang Papua. Dialog yang bertolak dari evaluasi holistik dan komprehensif atas apa sebenarnya yang menjadi akar persoalan di Papua, akan menghasilkan solusi atau cara mengatasinya yang dapat diterima oleh semua pihak.
Jika tidak, meskipun pendekatan pembangunan dan kesejahteraan pada dasarnya baik, pelaksanaannya tidak akan efektif karena tidak ada kerja sama dari semua pihak, apalagi jika terus diganggu oleh kelompok bersenjata.
Jika pemerintah Indonesia tidak mau mendengarkan LIPI yang adalah lembaga resmi bentukan negara, tidak mau mendengarkan suara gereja dan suara masyarakat akar rumput asli Papua untuk berdialog, Papua akan terus bergejolak dan kita hanya membuang banyak energi, untuk menghalau asap dan bukannya memadamkan api. (*)
* Penulis adalah staf SKPKC Fransiskan Papua
Editor: Timoteus Marten