Victor Yeimo: Persoalan politik tidak bisa diselesaikan dengan hukum

Victor Yeimo Ikuti Sidang di PN Jayapura, Papua
Juru Bicara Internasional KNPB, Victor Yeimo seusai mengikuti sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Jayapura, Senin (21/2/2022). - Jubi/Hengky Yeimo

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat atau KNPB, Victor Yeimo mengatakan persoalan atau konflik politik tidak bisa diselesaikan dengan penegakan hukum atau pemidanaan. Hal itu dinyatakan Yeimo menanggapi pembacaan dakwaan makar terhadap dirinya di Pengadilan Negeri Jayapura, Kota Jayapura, Senin (21/2/2022).

Yeimo mengatakan tuduhan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum melalui dakwaan terhadap dirinya berisi asumsi politis yang tidak sesuai fakta. “Saya menganggap saya ditangkap [dan] diadili dengan kepentingan politik kekuasaan tanpa independensi, profesionalisme, dan proporsionalitas  dalam menegakkan keadilan, kebenaran, dan pedamaian,” katanya.

Read More

Yeimo mengatakan pemerintah Indonesia   semestinya mencontoh langkah yang ditempuh Perancis dalam menyelesaikan konflik politiknya dengan warga Kaledonia Baru, serta langkah Papua Nugini dalam menyelesaikan konflik politiknya dengan Bougainville. Perancis dan Papua Nugini memiliki menyelenggarakan referendum sebagai langkah untuk meresolusi konflik politik mereka secara damai.

Baca juga: Victor Yeimo: Saya dikriminalisasi dengan dakwaan yang dipaksakan

“Pendekatan yang saya sebutkan itulah pendekatan [yang lazim pada] era sekarang ini. [Itu pendekatan] yang terbuka, demokratis, humanis, sebagaimana negara ini memiliki cita-cita untuk menciptakan perdamaian dunia,” kata Yeimo.

Yeimo mengatakan Indonesia harus mengambil langkah penyelesaian secara politik itu, demi memutus mata rantai kekerasan di Tanah Papua.  Hanya dengan penyelesaian politik seperti itulah rekonsiliasi bisa terwujud.

“Sudah banyak instrumen yang dapat digunakan, misalnya laporan kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jaringan Damai Papapua. Undang-undang Otonomi Khusus [juga mengatur pembentukan] Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi [atau] KKR. [Itu] ada dalam Undang-undang Otonomi Khusus, [namun] tidak pernah difungsikan, walaupun pasal itu ada untuk menyelesaikan sejarah konflik politik. Itulah juga alasan mengapa kami sampaikan Otonomi Khusus Papua gagal,” katanya.

Baca juga: Victor Yeimo:  Saya tidak merencanakan aksi 19 Agustus 2019

Yeimo menegaskan bahwa orang Papua adalah manusia, bukan monyet. “Maka bila kami ditangkap, dipenjara, ditembak, hanya karena menyampaikan aspirasi politik secara damai dan demokratis, maka sudah tentu kami anggap negara merancang dan memperlakukan kami, orang Papua, bukan sebagai manusia,” tegasnya.

Yeimo menyatakan orang Papua menuntut negara Indonesia untuk berdialog justru karena orang Papua menghormati keberadaan negara. Akan tetapi, para pejabat negara justru mengelak, dan mengambil langkah pendekatan keamanan ataupun hukum, yang justru membuat persoalan Papua berlarut-larut.

“Berulangkali kami dianggap monyet, atau pandangan rasis lain [karena] menyampaikan pendapat, [meminta] dialog, membicarakan solusi. [Padahal] itu tidaklah satu kejahatan terhadap negara, [tuntutan] itu justru memartabatkan negara. Sebaliknya jika kita terus membiarkan konflik dan menghindari dari masalah [konflik politik] dengan mengkriminalisasi aspirasi politik memakai pasal makar, maka itu satu kejahatan terselubung, karena itu sama dengan meniup bara dalam sekam. Suatu waktu, [bara itu] dapat menyala dan membakar kedamaian antara semua ras bangsa, agama, golongan di atas Tanah Papua,” kata Yeimo.

Baca juga: Viktor Yeimo didakwa makar

Victor Yeimo menegaskan unjuk rasa yang terjadi di Kota Jayapura pada 19 Agustus 2019 tidak ada hubungannya dengan KNPB, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), ataupun berbagai akvitas politik pro kemerdekaan Papua di dalam ataupun luar negeri. Menurutnya, unjuk rasa 19 Agustus 2019 murni dilatarbelakangi kemarahan rakyat Papua melihat rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019.

Yeimo juga menegaskan kehadirannya dalam aksi 19 Agustus 2019 adalah sebagai massa aksi, dan bukan mewakili KNPB. Ia juga menegaskan dirinya tidak merencanakan unjuk rasa anti rasisme tanggal 29 Agustus 2019, dan bahkan ia tidak menghadiri atau mengikuti aksi 29 Agustus 2019.

“Aksi demonstrasi itu tidak ada kaitannya dengan KNPB, ULMWP, serta aktivitasnya di dalam dan di luar negeri. Aksi menolak rasisme itu murni dari rakyat Papua, karena dipicu kejadian rasis di Surabaya. Saya hadir sebagai peserta, dan bukan mewakili KNPB, sama dengan kehadiran [para anggota] DPR Papua, Majelis Rakyat Papua, ataupun TNI/Polri,” kata Yeimo.

Baca juga: Sidang Viktor Yeimo, polisi jaga ketat pintu Pengadilan Negeri Jayapura

Yeimo menegaskan semua aspirasi yang diperjuangkannya melalui KNPB tidak pantas diadili di pengadilan, karena aspirasi itu merupakan aspirasi politik yang seharusnya diselesaikan secara politik melalui dialog damai. Yeimo meyakini dialog adalah jalan keluar untuk membuka, membicarakan, dan menyepakati solusi dari aspirasi politik di Papua.

Yeimo juga menegaskan bahwa segala tindakan rasisme terhadap orang Papua harus diakhiri. “Perlu diketahui, bahwa rasisme adalah musuh bersama. Tidak ada manusia yang lahir sebagai binatang. Senjata dan penjara adalah suatu bentuk kelemahan kekuasaan,” kata Victor Yeimo.  (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G 

Related posts

Leave a Reply