Papua No. 1 News Portal | Jubi
Merauke, Jubi – Sebagian petani transmigran di Papua mengeluarkan kocek besar untuk membuka lahan pertanian di atas lahan gambut, dan hampir putus asa karena tak membuahkan hasil.
Pemerintah daerah sudah merevitalisasi lahan gambut untuk pertanian, tapi baru sebagian karena persoalan ‘penyesuaian anggaran’.
Saat ini tercatat 11.000 hektare lahan gambut di Merauke, Papua. Namun, lahan ini bukan hanya diperuntukkan bagi pertanian, tapi juga perkebunan pengembangan sagu, yang menjadi target program Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau pembukaan lahan lebih dari satu juta hektare untuk menjaga ketahanan pangan nasional.
Lahan gambut yang tersisa di Kabupaten Merauke tersebar sebagian besar di KHG Sungai Ifuleki Kumbe-Sungai Lekiagi dan sedikit di KHG Sungai Kumbe-Sungai Bian berdasarkan data lahan gambut Kementerian Pertanian tahun 2019, diakses melalui PRIMS Gambut
Saidan, 70 tahun, adalah petani transmigran dari Jawa Timur yang sudah menjadi warga Kampung Sumber Mulya, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua. Ia mengadu nasib ke Tanah Papua di era Orde Baru dalam program transmigrasi sekitar 1980-an.
“Memang banyak suka duka kami alami ketika baru tiba di Merauke, saat itu, tepatnya di Kampung Sumber Mulya. Daerahnya masih hutan dan sangat terisolir,” ungkap Saidin saat ditemui Jubi di rumahnya, Selasa (15/9/2020).
Pada awalnya, Saidan membuka lahan pertanian dengan peralatan tradisional, termasuk menggunakan tenaga sapi untuk membajak lahan.
Tapi, seiring perjalanan waktu, pemerintah mulai memberikan perhatian dengan memfasilitas alat pertanian seperti traktor tangan, jonder, serta alkon. Peralatan dan ketekunannya membuahkan hasil.
Areal pertanian yang awalnya hanya dibuka seperempat hektare, kini sudah mencapai enam hektare. Tapi dua hektare di antaranya ditelantarkan karena masih lahan gambut.
Saidan berusaha menanam di atas lahan gambut melewati empat musim tanam atau sekitar dua tahun, hingga akhirnya memilih ‘angkat tangan’.
“Begitu padi tumbuh, langsung mati,” kata Saidan.
Percobaan menanam di atas lahan gambut juga ikut menguras kocek Saidan. Sekalinya membuka lahan persawahan di area gambut basah, biaya dikeluarkan mencapai Rp4 juta, untuk kebutuhan menyewa mesin traktor untuk membajak, biaya penanaman, pupuk, dan lain-lain.
“Kalau tidak salah, sekitar 2014 saya buka. Hanya dua tahun kemudian, sekitar 2016, saya tak olah lagi dan membiarkan begitu saja, lantaran tak memberikan hasil,” ungkapnya.
Menurutnya, tanah gambut memiliki zat azam sangat tinggi, ditambah lagi air dari rawa masuk di areal persawahan dan mengendap.
Butuh penanganan khusus
Saidan berpikir keras untuk membuka kembali lahan gambut dua hektare itu untuk pertanian. Tapi perlu penanganan khusus, yang tak bisa ia lakukan sendirian.
“Perlu bantuan dari Pemerintah Kabupaten Merauke berupa kapur dolomit. Sehingga dapat menetralisir zat asam di lahan,” katanya.
Sambil menunggu buah dari harapan itu, Saidin memilih mengelola lahan miliknya di tempat lain yang tak memiliki zat asam tinggi seluas 4 hektare.
“Kini lahan sudah digarap rutin setiap tahun dan memberikan hasil sangat baik. Satu hektare, baik musim tanam pertama (rendengan) dan musim tanam kedua (gadu), kami bisa mendapatkan sampai 60 karung beras ukuran 50 kilogram,” ujarnya.
Dengan tekun bertani selama puluhan tahun, di negeri rantau Saidan bisa menghidupi tujuh anak – yang saat ini semuanya sudah berkeluarga.
“Namun saya tetap ke sawah setiap hari, mengingat satu-satunya sumber pendapatan yang diharapkan adalah dari padi agar bisa makan sehari-hari,” katanya.
Nasib Saidan tak sebaik petani lainnya, Gimo, 37 tahun. Beberapa tahun belakangan ini, ia berhasil memanfaatkan tiga hektare lahan gambut basah untuk pertanian. Tapi itu pun perlu perjuangan.
“Memang setelah buka pertama 2013 dan ditanami padi, semuanya mati. Tidak sampai di situ saja, musim berikutnya ditanam, namun tetap mati. Sempat putus asa, lantaran biaya yang dikeluarkan sangat banyak,” katanya.
Gimo juga meniru upaya yang dilakukan Sahidan, menanam berkali-kali, dan gagal. Sampai akhirnya, transmigran ini mendapat bantuan pupuk dolomit dari Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk menetralkan zat asam di lahan gambut.
Pada 2017, lahan gambut tiga hektare itu akhirnya bisa ditanami padi dan dapat dipanen hasilnya.
Kini ia mengaku rutin menanam setahun dua kali, dan tak ada hambatan. Bahkan hasil panen ‘sangat menggembirakan’ di area gambut. Satu hektare bisa mendapatkan sampai 60 karung gabah (ukuran karung 50 kilogram).
Saidan dan Gimo adalah dua dari ratusan petani yang mengandalkan lahan untuk bertahan hidup di Kampung Sumber Mulya. Berdasarkan catatan pemerintah desa jumlah lahan pertanian di Sumber Mulya ini mencapai 100 hektare. Sekitar 10 persen atau 100 hektare adalah gambut basah, yang baru bisa diolah petani 40 hektare.
Desa-desa di Kabupaten Merauke yang diintervensi Badan Restorasi Gambut melalui program Desa Peduli Gambut, diakses melalui PRIMS Gambut
“Tantangan membuka lahan baru di atas tanah gambut bukan isapan jempol. Semua petani di Kampung Sumber Mulya menghadapinya,” kata Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kampung Sumber Mulya, Arif Wijaya.
“Saya juga punya lahan pertanian satu hektar di area gambut. Betul beberapa kali mengalami kegagalan, baru kini sudah bisa ditanam dan mendapatkan hasil gabah yang baik,” kata Arif.
Tapi Arif mengakui butuh modal besar dan usaha yang tak bisa dilakukan petani sendirian untuk membuka pertanian di lahan gambut.
Setiap kali pejabat Dinas Pertanian dan Horltikultura Kabupaten Merauke berkunjung ke wilayahnya, Arif mengaku selalu meminta agar diberikan bantuan kapur dolomit untuk menetralkan keasaman lahan gambut. Namun kata dia, jawaban atas permintaan itu belum terealisasi.
Satu hektare lahan butuh dua ton kapur dolomit
Kepala Kampung Sumber Mulya, Muhamad Arwani, mengakui baru setengah dari luasan lahan pertanian di desanya bisa dimanfaatkan petani.
“Betul lahan gambut itu adalah milik masyarakat setempat yang telah bersertifikat. Sekitar 40 hektare telah diolah untuk area persawahan. Sedangkan 60 hektare belum digarap,” katanya.
Secara umum, dari luasan 40 hektare, dibuka petani sejak 2011 silam. Tak semua petani memahami cara-cara menetralkan zat asam air rawa dengan pupuk dolomit.
Setelah bertahun-tahun gagal membuka pertanian di lahan gambut, barulah pada 2017 dan 2019, BRG memberi pendampingan dan pupuk dolomit, termasuk bantuan bibit padi jenis Ibrida Padi Sawah (INPARI) dari pemerintah maupun pupuk NPK, urea serta SP-36.
“Namun, baru 40 hektare saja yang sudah bisa dimanfaatkan untuk pertanian,” kata Arwani.
Menurut Arwani, karakter gambut di wilayahnya berbeda dengan di Kalimantan dan Sumatera karena memiliki kedalaman 20-50 scentimeter. Kata dia, sejauh ini gambut juga tak mengalami kerusakan, meskipun pengelolaan lahan dengan sistem mekanisasi atau menggunakan alat pertanian seperti traktor tangan maupun jonder.
“Lalu kesadaran petani tak membakar jerami padi. Mereka membiarkan jerami menjadi pupuk,” katanya.
Arwani mengatakan untuk menetralisir zat asam di satu hektare lahan gambut membutuhkan dua ton pupuk dolomit. Harga satu kilogram doloimit mencapai Rp8.000, sehingga biaya yang dibutuhkan merevitalisasi satu hektar lahan gambut mencapai Rp16 juta.
“Bagaimana mungkin petani dengan pendapatan pas-pasan menyiapkan dana dengan cara kredit guna biaya pembajakan lahan sampai menanam, lalu harus membeli kapur lagi. Tentunya sangat memberatkan,” kata Arwani.
Berdasarkan catatan kepala desa, Kampung Sumber Mulya dihuni 200 keluarga, yang umumnya hidup bertani. Mereka menginginkan agar lahan gambut yang tersisa 60 hektare dibuka.
“Hanya persoalannya adalah bantuan kapur dolomit dari pemerintah tak kunjung diberikan, padahal telah diusulkan,” kata Arwani.
- Gambut
Sumber :
- Data lahan Gambut – BBSDLP, Kementerian Pertanian 2019
- Data Fungsi Ekosistem Gambut – KLHK 2017
- Data HGU – KLHK 2017
- Data IUPHHK – KLHK 2017
- Data HTI – KLHK 2
Komponen | Luas (Ha) |
Luas Lahan Gambut | + 160.000 Ha |
Gambut Lindung | + 48.000 Ha |
Konsesi di Gambut Lindung | + 6.554 Ha |
Gambut Budidaya | + 112.000 Ha |
Konsesi di Gambut Budidaya | + 33.074 Ha |
- Restorasi BRG
2.1 Revitalisasi
Sumber : Laporan Tahunan BRG 2018
Tahun | Kegiatan Revitalisasi | Pelaksana |
2018 | Pengolahan Ikan Introduksi Hasil Tangkapan Nelayan Di Kampung Boha Suaka Margasatwa Danau Bian Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua | LLPM UNMUS |
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui Pemanfaatan Pekarangan Rumah Di Kampung Kolam Suaka Margasatwa Danau Bian Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua | LLPM UNMUS | |
Usaha Ternak Babi Pada Masyarakat Kampung Toray, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua | LLPM UNMUS | |
Usaha Peningkatan Mutu Pati Sagu Melalui Penggunaan Mesin Press Konvensional, Pemenuhan Kebutuhan Air Dengan Pembuatan Sumur Dan Penerapan Irigasi Tetes Pada Budidaya Tanaman Buah-Buahan Pada Masyarakat Kampung Erambu, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua | LLPM UNMUS |
2.2 Desa Peduli Gambut
Sumber : Laporan Tahunan BRG 2019
Tahun | Desa | Kegiatan |
2017 | Desa Kaliki | • Pemetaan Sosial (Ekonomi)
• Penyusunan Profil Desa Gambut • Penempatan Fasilitator Desa • Pelatihan Perdes • Pelatihan Kerangka Pengaman Sosial • Lokakarya Perencanaan Desa • Pelatihan Bumdes |
Desa Sumber Mulya | • Pemetaan Sosial (Ekonomi)
• Penyusunan Profil Desa Gambut • Penempatan Fasilitator Desa • Pelatihan Perdes • Pelatihan Kerangka Pengaman Sosial • Lokakarya Perencanaan Desa • Pelatihan Bumdes |
|
Desa Sumber Rejeki | • Pemetaan Sosial (Ekonomi)
• Penyusunan Profil Desa Gambut • Penempatan Fasilitator Desa • Pelatihan Perdes • Pelatihan Kerangka Pengaman Sosial • Lokakarya Perencanaan Desa • Pelatihan Bumdes |
|
2019 | Desa Pachas | • Pemetaan Sosial (Ekonomi)
• Penyusunan Profil Desa Gambut • Penempatan Fasilitator Desa • Lokakarya Perencanaan Desa • Pelatihan Bumdes |
Desa Wan | • Pemetaan Sosial (Ekonomi)
• Penyusunan Profil Desa Gambut • Penempatan Fasilitator Desa • Lokakarya Perencanaan Desa • Pelatihan Bumdes |
- Restorasi oleh Mitra untuk Lahan Gambut
Tahun | Kegiatan | Mitra |
2018 | Komoditi Lokal Potensial Di Lahan Gambut Di Kabupaten Merauke Papua Memanfaatkan Hasil Riset Dan Inovasi Untuk Dijadikan Pilot Project Restorasi Gambut Yang Terintegrasi. | Universitas Cendrawasih |
- Degradasi
4.1 Bekas area terbakar
Sumber : Data burn scar – KLHK 2015 – 2019
Tahun | Luas (Ha) |
2015 | 291.077 Ha |
2016 | 174.787 Ha |
2017 | 28.352 Ha |
2018 | 87.368 Ha |
2019 | 107.623 Ha |
4.2 Titik Panas
Sumber Modis Catalog LAPAN
Tahun | Titik |
2013 | 169 |
2014 | 3339 |
2015 | 27795 |
2016 | 2933 |
2017 | 2080 |
2018 | 8226 |
2019 | 6359 |
2020 ( hingga agustus ) | 2693 |
4.3 Kehilangan tutupan pohon
Sumber : Global Forest Watch
Tahun | Titik | Luas ( Ha ) |
2018 | 118.042 | + 10.623 Ha |
2019 | 106.445 | + 9.580 Ha |
2020 ( hingga agustus ) | 29.058 | + 2.615 Ha |
Persoalan saluran irigasi
“Persoalan lain yang dialami petani di kampungnya adalah saluran irigasi maupun kanal-kanal tak kunjung diperbaiki pemerintah,” jelas Arwani.
Padahal usianya sudah tua karena dibangun sejak 2010 silam. Sehingga air rawa leluasa masuk dan terendam di areal persawahan.
“Berulang kali kita usulkan kepada pemerintah agar dilakukan renovasi kembali saluran irigasi, hanya saja tak ditanggapi sampai sekarang. Kondisi demikian yang terus mencemaskan petani,” ujarnya.
Dikatakan, jika saluran irigasi tak diperbaiki, membuat petani menjadi susah merevitalisasi lahan gambut.
“Kan fungsinya melarutkan kandungan zat asam, agar tak masuk ke areal persawahan. Namun kondisi kanal lama tak diperbaiki, sehingga tak berfungsi baik,” ungkap dia.
Di sisi lain, Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan Kabupaten Merauke, Ratna Nauce, berjanji akan mengadakan bantuan pupuk dolomit untuk petani ‘dengan menyesuaikan anggaran’.
“Kita juga berharap sisa lahan 60 hektare di Kampung Sumber Mulya yang belum dibuka, dapat direalisasikan,” katanya, seraya menambahkan lahan milik masyarakat di kampung-kampung di Distrik Kurik, masuk juga dalam Program Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau program pembukaan lahan lebih dari satu juta hektar untuk menjaga ketahanan pangan Nasional.
Dinas mencatat lahan gambut di seluruh Kabupaten Merauke mencapai 11.000 hektare.
“Tetapi luasan itu selain pertanian, juga perkebunan khususnya pengembangan sagu di dua kampung lokal yang didiami orang asli Papua,” ungkap Ratna.
Menyangkut irigasi yang tak kunjung direhabilitasi, Ratna mengakui itu sebagai wewenang Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Merauke. Tetapi, kata dia, ketika ada usulan dari petani, pihaknya selalu melakukan koordinasi bersama dinas terkait. (*)
Editor: Angela Flassy