Perjuangan Viktor Yeimo menurut perspektif moral Immanuel Kant

Tahanan Politik Papua
Juru bicara Internasional KNPB, Victor Yeimo saat berbaring di ruangan paru-paru RSUD Jayapura. - Jubi/Theo Kelen

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Aris Yeimo

Publik Indonesia gempar dengan berita penangkapan Victor Yeimo. Dia adalah juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat. Dia disangkakan dengan pasal berlapis tentang delik makar, penghasutan untuk melawan penguasa, pembakaran, pencurian, penggunaan tenaga bersama untuk melakukan kekerasan, kepemilikan senjata pemukul dan penikam, dan delik UU ITE (Jubi.co.id, 10/5/2021).

Read More

Penangkapan Viktor, bagi sebagian besar rakyat Papua, adalah cacat hukum. Semua delik yang dituduhkan kepadanya dianggap tidak berdasar, sedangkan bagi Polda Papua, penangkapan Viktor sangat legal. Sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Keberatan kedua pihak ini tentu akan dibuktikan oleh penasihat hukum masing-masing sesuai ketentuan-ketentuan hukum formil.

Pada artikel ini, penulis merasa tidak tertarik membahas siapa itu Viktor secara personal ataupun keterlibatannya bersama Komite Nasional Papua Barat, juga menyangkut legalitas atau pun ilegalitas penangkapan dan delik hukum yang ditimpakan kepadanya. Penulis hanya membatasi diri pada penilaian baik atau buruk tindakan dan esensi perjuangan Viktor yang akan diuraikan dalam perspektif moral otonom dan moral heteronom menurut Immanuel Kant secara ringkas.

Siapa Immanuel Kant?

Immanuel Kant dilahirkan pada tanggal 22 April 1724 di wilayah Baltik di Köenigsberg, yang dulu adalah ibukota provinsi Jerman yang terpencil, Prusia Timur (sekarang menjadi Kaliningrad di Rusia). Ia dilahirkan dalam keluarga yang sederhana, namun amat religius. Kant hidup pada saat Aufklarung  (zaman pencerahan akal budi) sedang berkembang di Jerman.

Pada tahun 1732, di usia 8 tahun, Kant memulai pendidikan di sebuah sekolah yang berlandaskan semangat Pietisme (gerakan Lutheran yang menekankan ajarannya pada kehidupan agama formal dan ortodoks), di Fridericianum Collegium. Di sekolah itu Kant dididik berdasarkan ajaran Pietisme, dengan semangat dan kedisiplinan yang tinggi serta mengedepankan aspek penghargaan akan pekerjaan dan kewajibannya (Tjahjadi, 1991:25).

Pada tahun 1742, di usia 18 tahun itu, Kant menyelesaikan pendidikan di Fridericianum Collegium, dan melanjutkan jenjang perkuliahannya di universitas Köenigsberg. Pada 1755, Kant meraih gelar ‘doktor’. Dengan gelar ‘doktor’ itu, Kant mengajar mata kuliah metafisika, geografi, pedagogi, fisika dan matematika, filsafat, dan ilmu falak di almamaternya, Universitas Köenigsberg.

Selain itu, Kant juga menaruh minatnya di bidang logika dan metafisika. Ia banyak mempelajari kedua bidang yang diminatinya itu, sehingga akhirnya, pada tahun 1770, ia mendapat gelar profesor di bidang logika dan metafisika. Kant meninggal pada 1804 di usia 80 tahun akibat gangguan penglihatan, hilang ingatan (Tjahjadi, 2007:44-46).

Moral menurut Immanuel Kant

Menurut filsuf yang terkenal dengan ungkapan der bestirnte himmel ȕber mir und das moralische gezets in mir itu, moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah. Sebuah sikap atau perbuatan dinilai belum atau tidak bernilai moral, jika tidak didasari dorongan batiniah.

Bagi Kant, moralitas akan tercapai jika manusia menaati hukum lahiriah karena sadar bahwa hukum tersebut sebagai sebuah kewajiban yang mesti dilakukan atas dasar kodrat kebaikan yang terkandung dalam hukum tersebut (Tjahjadi, 1991:48; bdk. Dewantara, 2017:48).

Kant sendiri masih membedakan moralitas ke dalam dua bagian: moralitas otonom dan moralitas heteronom. Pada aspek moralitas otonom, manusia sadar akan kewajibannya yang harus ditaati sebagai sesuatu yang dikehendaki, karena diyakini sebagai hal baik. Ini merupakan prinsip tertinggi moralitas. Sedangkan moralitas heteronom, manusia melakukan kewajibannya berdasarkan dorongan tertentu dari luar dirinya (Tjahjadi, 1991:48).

Selain itu, menurut Kant, ada dua jenis prinsip yang mendasari tindakan manusia: maxime dan kaidah objektif. Maxime adalah prinsip yang lahir dari subjektivitas manusia. Unsur subjektivitas itulah yang menjadi dasar sebuah tindakan. Baik-buruk sebuah tindakan ditentukan oleh maxime yang mendasarinya (Suseno, 1998:147). Sementara, kaidah objektif mengandung sebuah imperatif atau yang biasa disebut sebagai imperatif kategoris. Hukumnya mutlak, berlaku umum dan tanpa syarat, yang harus dilakukan sebagai kewajiban (Bird, 2006: 293).

Perjuangan Viktor: moral atau immoral?

Di dalam kasus Viktor Yeimo, sangatlah terasa penilaian subjektif terhadap esensi perjuangannya. Dia dipandang hanya dari satu aspek sebagai pejuang politik.

Namun, pada aspek moral, apa yang diperjuangkannya adalah murni suara hati rakyat yang tentunya bukan termasuk dalam kategori “suara hati yang keliru/erroneous conscience” (bdk. Dewantara, 2017:21-23). Alasannya sangat berdasar. Bahwa memang ada ketidakadilan selama ini.

Ketidakadilan itu dirasakan sejak integrasi/aneksasi sampai hari ini. Pelanggaran HAM, perusakan lingkungan hidup, marginalisasi, diskriminasi, kemiskinan, status politik Papua, dan semua kompleksitas masalah Papua. Semua ini menjadi akumulasi luka batin rakyat yang selama ini terpendam. Itulah dasar perjuangan Viktor. Dia secara sadar, tahu dan mau menjadi “penyambung lidah rakyat”.

Pada konteks moral otonom dan heteronom Kant, perjuangan Viktor harus dipandang dari dua sisi. Pertama, dia sebagai orang asli Papua; Kedua, dia sebagai pejuang hak asasi manusia. Sebagai orang asli Papua, tentu dia sudah mengalami secara pribadi bagaimana perlakuan negara selama ini terhadap dirinya atau bahkan rakyat umumnya. Oleh karena kepedihan pengalaman empirik yang semakin menggores nuraninya, ia bertindak.

Apakah tindakan Viktor itu buruk? Secara moral, tidak. Ia sedang melaksanakan kewajiban atas dasar keyakinan batinnya bahwa yang sedang diperjuangkan dan dibela adalah kodrat kebaikan yang terkandung dalam tindakannya itu sendiri.

Ia secara pribadi benar-benar menyadari bahwa keputusan untuk bertindak demi kodrat kebaikan adalah kewajiban moralnya tanpa intervensi berbagai faktor eksternal.

Sebagai pejuang hak asasi manusia, dia sedang berupaya menerjemahkan prinsip bonum commune bono privato praeferri debet (kepentingan umum lebih penting/harus selalu diutamakan daripada kepentingan pribadi). Demi prinsip ini dia tampil sebagai figur. Segala beban luka batin rakyat dibebankan di atas pundaknya.

Dia bertindak bukan hanya demi kepentingan dirinya. Ada nilai kebaikan universal yang diperjuangkannya demi kebaikan bersama.

Penutup

Kasus penangkapan Viktor sudah dibawa ke ranah hukum. Satu hal penting yang kiranya menjadi catatan bersama adalah bahwa hukum positif dibuat atas dasar pertimbangan moral dan dengan tujuan menciptakan kebaikan bersama. Atas dasar itu, kiranya kodrat kebaikan yang terimplisit pada tindakan moral Victor dijadikan sebagai ide penuntun atau referensi primer dalam penyelesaian kasus ini. (*)

Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura, Papua

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply