Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Kalau mencari peruntungan dalam usaha diibaratkan mencari jodoh, lirik lagu Tiffany Kenanga, “Jangan Bersedih”, boleh jadi penyemangat. “Mati satu tumbuh seribu, patah hati jangan mengeluh. Masih banyak hati yang lain, yang menanti tuk kau singgahi.”
Mencari peruntungan usaha dan mencari jodoh mungkin memang sama susahnya. Tapi, kalau sudah ketemu jodoh, pastilah menyenangkan.
Minwadi Trapen (43 tahun), perempuan asli Papua yang sehari-hari mencari nafkah di Pasar Youtefa, Kota Jayapura, biasa memperdagangkan berbagai pangan lokal, terutama ubi jalar, singgong, keladi, dan pinang. Meski dapat menyambung hidup, perputaran uang dari menjual berbagai pangan lokal itu terlalu kecil.
Trapen yang sudah lima tahun berdagang berbagai pangan lokal itu tetap kesulitan mengembangkan usahanya. Tapi Trapen tak mudah menyerah. Terbesit dalam hati Trapen untuk mencoba peruntungan dengan berdagang sayuran yang jarang dijual pedagang asli Papua, yaitu tomat. Trapen mulai berjualan tomat sejak dua bulan lalu.
Baca juga: Pemkot Jayapura akan pindahkan pedagang ke Pasar Baru Youtefa
“Saya berpikir harus mencari penghasilan tambahan. Awalnya saya ditawari oleh pedagang dari Koya, saya disuruh jualan tomat. Ternyata sangat laku,” ujar Trapen saat ditemui Jubi di Pasar Youtefa, sambil simbuk memasukkan tomat dagangannya ke kantong plastik warna putih, Sabtu (24/10/2020).
Meski tak lantas meninggalkan pangan lokal yang tetap menjadi jualan utamanya, Trapen ternyata “berjodoh” dengan tomat. Awalnya Trapen hanya menjual satu keranjang, yang ternyata selalu habis dalam beberapa jam. Kini, setiap harinya ia menjual dua keranjang tomat.
“Saya kalau jualan tomat cepat jadi uang. Saya mulai semangat jualan. Lumayan untungnya. Satu keranjang berisi 40 kilogram tomat saya beli dengan harga Rp100 ribu. Kalau habis terjual, jadi [uang] Rp350 ribu. Buat tambah-tambah penghasilan,” ujar Trapen sambil tersenyum.
Biarpun kebanyakan perempuan asli Papua cenderung hanya menjual komoditas pangan lokal, Trapen tak malu berjualan tomat. Perempuan yang tinggal di dekat Pasar Youtefa itu terbiasa berbaur dengan para pedagang dari Koya. Ia juga tak ragu untuk berebut tomat dari para tengkulak yang tengah membongkar muatan di Pasar Youtefa.
“Satu kantong plastik isi 2 kilogram saya jual Rp10.000 ribu. Satu hari saya biasa jual dua keranjang, dari jam 06.00 WP sampai jam 12.00 WP. Sekarang [harga tomat] lagi murah, mungkin lagi musim panen,” ujar Trapen.
Baca juga: Pedagang mulai berjualan di Pasar Baru Youtefa akhir Oktober
Trapen berharap “jurus dagang” untuk berani berdagang sayuran berbeda itu akan mengilhami Mama-mama Papua untuk piawai menambah penghasilan. “Sebenarnya, kalau kita mau dan tidak malu, kita juga bisa bersaing dengan pedagang lainnya. Kenapa mereka bisa, baru kita Mama-mama Papua tidak bisa? Harus semangat,” ujar Trapen.
Eunike Pekey, yang berdagang di dekat lapak Minwadi Trapen, mengaku juga tergiur menambah jenis barang dagangannya, termasuk berjualan toman, agar bisa meraih lebih banyak omzet. Akan tetapi, Pekey tidak ingin mengganggu rezeki Trapen.
“Mungkin kalau sudah pindah di Pasar Baru Youtefa, saya coba jualan tomat dan pangan lokal. Memang harus mencari jenis dagangan lain. Jualan singkong dan ubi jarang ada yang beli, dan penjualnya banyak,” ujar Pekey.
Dengan berjualan komoditas pangan lokal seperti singkong, keladi, dan ubi, dalam sehari Pekey mendapat omzet paling banyak Rp100 ribu. Padahal, setiap hari pengeluaran rumah tangganya sudah lebih dari Rp100 ribu.
“Saya bersyukur, bisa makan dan ada sedikit buat anak-anak. Akan tetapi, harus juga ada uang tabungan, buat berjaga-jaga kalau sakit, supaya tidak susah cari uang,” ujar Pekey. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G