Tujuh pasal dalam UU Otsus akan diatur dengan dua PP

Tangkapan layar suasana diskusi daring membahas mengenai RPP UU Otsus Papua
Tangkapan layar suasana diskusi daring membahas mengenai RPP UU Otsus Papua - Jubi/Arjuna

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Kepala Sub Direktorat Provinsi Papua dan Papua Barat Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Budi Arwan, menyatakan sebanyak tujuh pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang revisi UU Otsus Papua akan diatur dengan dua peraturan pemerintah atau PP.

Pernyataan itu dikatakan Budi Arwan, dalam diskusi daring yang digelar Kelompok Khusus DPR Papua, 1 Oktober 2021.

Read More

“Dari kurang lebih 20 pasal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021, kurang lebih ada tujuh pasal yang mendelegasikan diatur dalam PP. Karena itu, kita simplikasi penyusunan PP-nya menjadi dua PP,” kata Budi Arwan.

Menurutnya, penyusunan PP pertama mengenai kewenangan dan kelembagaan pelaksanaan kebijakan Otsus Papua. Ini merupakan amanat Pasal 4 (ayat 7) UU Otsus mengenai pelaksanaan kewenangan).

Pasal 6 UU Otsus mengenai pengangkatan anggota DPRP Papua, Pasal 6A UU Otsus mengenai pengangkatan anggota DPR Kabupaten/Kota (DPRK). Pasal 68A mengenai pembentukan badan khusus serta Pasal 76 mengenai proses pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota.

“Pasal 76 itu, memang ini tidak amanat namun menjadi pedoman penting bagi pemerintah untuk melakukan pemekaran yang menjadi prakarsa dari pemerintah,” ujarnya.

Katanya, penyusunan PP kedua tentang penerimaan, pengelolaan, pengawasan, dan rencana induk percepatan pembangunan dalam rangka pelaksanaan Otsus Provinsi Papua. Ini merupakan amanat Pasal 34 ayat (18) UU Otsus mengenai pengelolaan, pembinaan, dan pengawasan, serta rencana induk penerimaan dalam rangka pelaksanaan Otsus.

Pasal 56 ayat (9) mengenai penyelenggaraan kegiatan pendidikan, Pasal 59 ayat (8) mengenai penyelenggaraan kegiatan kesehatan, dan Pasal 36 ayat (2) mengenai pengalokasian dana bagi hasil (DBH) migas.

Meski Pasal 36 ayat (2) dianggap tidak amanat, namun dinilai sejalan dengan pasal 34 DBH migas, namun ada substansi yang memang harus diatur. Subtabsi mengenai pendanaan DBH migas yang harus diberikan 10 persen kepada masyatakat adat.

Ia mengatakan ini ruang yang diberikan untuk diatur. Sebab, pemerintah ingin memastikan afirmasi bagi orang asli Papua, terutama masyarakat adat secara komunal, agar mendapatkan porsi dari dana Otsus ke depan.

“Nanti akan diatur dalam perdasus, bagaimana, apa yang diharapkan dari yang telah diatur dalam PP tersebut untuk dirasakan manfaatnya oleh masyarakat adat secara komunal,” katanya.

Baca juga: RPP UU Otsus mesti perkuat tiga substansi utama

Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atau DPD RI, Filep Wamafma, berpendapat rancangan peraturan pemerintah Undang-Undang Otonomi Khusus (RPP UU Otsus) mesti memperkuat tiga subtansi utama.

Menurutnya, tiga substansi utama itu, yakni kewenangan, afirmasi untuk orang asli Papua, dan masyarakat adat Papua.

“RPP ini [mesti] mengarah pada dua hal orang asli Papua dan masyarakat adat Papua. Dua hal itu yang menjadi subjek utama. Orang asli Papua secara personal, dan masyarakat adat sebagai komunal,” kata Filep Wamafna.

Katanya, ia memang belum membaca secara keseluruhan draf RPP UU Otsus. Akan tetapi, ia berpendapat dalam RPP tersebut banyak menggunakan istilah penduduk.

Padahal kata Wamafma, penduduk adalah istilah umum. Dapat digunakan untuk menyebut semua orang atau siapapun yang ada di Papua.

“Konteks RPP mesti mengerucut pada orang asli Papua dan masyarakat adat Papua. Tinggal bagaimana rumusannya yang penting mengacu pada dua hal ini,” ucapnya. (*)

Editor: Dewi Wulandari

Related posts

Leave a Reply