Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi – Terbang di pegunungan Papua memiliki tantangan yang berbeda dari penerbangan pada umumnya. Kondisi medan, cuaca, dan arah angin yang cepat berubah menjadi tantangan bagi para pilot yang mengemudikan pesawat berbadan kecil. Ditambah lagi keadaan landasan pacu yang masih alakadarnya membuat pilot harus punya keterampilan khusus dalam mengendalikan pesawat.
“Semua keadaan ini cukup berisiko terhadap keselamatan penerbangan,” kata Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto, Jumat, (6/11/2020).
Hari menyebut kondisi geografis Lembah Baliem di Jayawijaya misalkan, dikelilingi pegunungan sehingga pesawat sering kesulitan mendarat pendaratan atau tinggal landas. Semua pesawat yang menuju Lembah Baliem, menurut dia, harus menemukan pintu masuk lembah dan pintu itu menjadi satu-satunya jalan utama.
Pesawat yang tidak memiliki kemampuan terbang tinggi harus terbang di antara celah pegunungan Jayawijaya. Pilot mesti piawai mengendalikan pesawat dan meliuk-liuk di antara lereng pegunungan. Celah atau lereng pegunungan yang menjadi ‘jalur’ pesawat kecil ini disebut ‘Gap’ kemudian diikuti dengan nama lokasi.
Dalam lingkup penerbangan perintis di Papua, sudah akrab dengan istilah Gap Bokondini, Wamena North Gap (Pass Valley), dan lain-lain. Gap Bokondini cukup populer karena posisinya sangat menguntungkan dengan kawasan yang cukup luas untuk bermanuver. Dan secara statistik, kondisi cuaca di Bokondini menjadi representasi kondisi cuaca di atas Wamena.
Baca juga : Penerbangan extra ke Wamena berakhir hari ini
Jalur penerbangan di Nabire dibuka lagi pekan ini
Penerbangan dari dan ke Yahukimo dimulai 4 Juli
Hari menjelaskan, kalaupun pilot bisa menemukan sebuah celah di lapisan awan yang tebal dan bisa terus terbang di bawahnya, kemudian mendarat dengan selamat, cara terbang seperti itu adakalanya berbahaya. “Musababnya, awan-awan yang mengantung rendah membuat jarak pandang kurang kurang lapang dan agak sulit membedakan satu lembah dari lembah lainnya,” kata Hari menambahkan.
Dengan begitu, pilot harus selalu sigap dengan kondisi di sekelilingnya. Jangan kaget jika pilot terpaksa ‘ngepot’ demi menyelamatkan awak dan penumpang karena menghindari lereng pegunungan yang ujug-ujug di depan mata karena jarak pandang terhalang awan rendah tadi. Pilot juga harus ekstra waspada dengan kondisi cuaca yang tidak menentu.
Ketegangan juga saat hampir tiba di tujuan, ketika ermukaan tanah yang rata di pegunungan Papua sangat terbatas. Pada umumnya, lapangan penerbangan perintis di pegunungan Papua terletak di pinggir tebing dengan salah satu sisinya berupa jurang yang cukup dalam. Lebar dan panjang landasan pacunya pendek. Umumnya proses take off dan landing hanya bisa dilakukan dari satu arah.
Karena itu, proses lepas landas atau mendarat di lapangan terbang perintis membutuhkan keterampilan pilot. Pesawat harus bisa self starting tanpa bantuan ground support unit. “Salah sedikit, pesawat bisa tergelincir ke dalam jurang,” kata Hari mengingatkan.
Kondisi landasan penerbangan perintis juga masih sangat minim sarana pendukung. Posisi landasan terbang yang tidak lurus dan runway tidak berpagar. Akibatnya, binatang bebas berkeliaran di sekitar landasan dan menjadi pemandangan yang biasa ketika pesawat hendak lepas landas dan mendarat.
Proses lepas landas dan mendarat juga sangat tergantung pada cuaca. Cuaca di pegunungan Papua sulit diprediksi.
Pada umumnya landasan untuk penerbangan perintis di daerah pegunungan bisa digunakan sebelum pukul 10.00 WIT karena angin lebih tenang dan cuaca relatif cerah. Biasanya di atas pukul 10.00 WIT langit mulai tertutup awan tebal dan cuaca mudah berubah.
Perubahan cuaca, seperti pembentukan awan, kabut tebal, atau hujan, tentu mengganggu jarak pandang. Terlebih lapangan terbang perintis di pegunungan tidak dilengkapi fasilitas meteorologi, sehingga sangat terbatas kemampuan untuk mengukur indikator cuaca secara akurat dan tidak mampu melakukan perkiraan cuaca. Belum semua lapangan terbang di pegunungan Papua dilengkapi dengan communication chanel karena kontur wilayah dan kondisi geografis tidak mendukung. (*)
Editor : Edi Faisol