Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Negara dinilai tidak bertanggung jawab dan mengabaikan kondisi para warga sipil Kabupaten Nduga dan Intan Jaya yang mengungsi karena konflik bersenjata di sana. Hal itu disampaikan Kepala Bidang Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Sinode Gereja Kristen Injili di Tanah Papua, Pdt Dora Balubunselaku pembicara dalam diskusi publik Ada Apa di Intan Jaya yang digelar di Kota Jayapura, Papua, Selasa (9/3/2021).
Pdt Dora Balubun menilai negara lakukan pembiaran terhadap kondisi ribuan warga pengungsi Nduga dan Intan Jaya yang meninggalkan kampung halamannya dan mengungsi gara-gara konflik bersenjata. “Negara harus bertanggung jawab atas pengungsi itu. Negara tidak boleh tinggal diam, sudah ada utang besar negara terhadap orang Papua, pertama kasus [pengungsi Nduga sejak] 2018, dan kini kasus [pengungsi Intan Jaya],” kata Balubun.
Balubun meminta pemerintah mengambil langkah nyata untuk menangani para pengungsi dari Nduga dan Intan Jaya. “Apa tanggung jawab pemerintah pusat kepada warga negara yang mengungsi itu? Apakah hanya dibiarkan begitu saja?” tanyanya.
Menurut Balubun, Gereja- gereja mengalami sejumlah kendala dalam melakukan pendampingan bagi pengungsi. “Apa lagi ini, [menjelang Paskah] kami harus lakukan pendampingan,” kata Balubun.
Ia mengkritisi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di Tanah Papua yang saat ini lebih sibuk membangun infrastruktur dibandingkan mengurus manusianya.
“Pemerintah bicara bagaimana lakukan pembangunan di Papua, tapi mereka tidak berfikir bagaimana bangun manusia Papua yang mengungsi, kebutuhan mereka saat ini apa? Mereka juga punya hak untuk hidup seperti manusia Papua lainnya,” tuturnya.
Narasumber lainnya, Yanuarius Weya menuturkan wilayah Kabupaten Intan Jaya dahulu bukan merupakan zona konflik di Papua, hingga akhirnya dibentuk menjadi kabupaten baru pada 2008. Pada 2012, mulai terjadi konflik di Papua.
Baca juga: Indonesia berjuang di Papua bukan karena orangnya, tetapi karena kekayaannya
“Di Intan Jaya itu di tahun 2012 baru kekerasan mulai nampak, dengan terjadinya penikaman yang di lakukan tukang ojek terhadap kepala suku di Omeo. Kalau sekarang ini di kampung sebelah bunyi [tembakan], nanti kampung sebelah lagi bunyi [tembakan]. Orang tua, mereka trauma, sehingga ada yang lari kehutan dan juga ke kabupaten tetangga,” jelas Yanuarius Weya yang juga sebagai narasumber.
Weya menuturkan sejumlah kasus penembakan warga sipil di Intan Jaya membuat masyarakat meninggalkan kampung halaman mereka, dan tidak bisa kembali ke sana. Ironisnya, kekerasan dan penembakan paling banyak terjadi di Sugapa dan Hitadipa, dua wilayah basis pelayanan Gereja-gereja di Intan Jaya.
“Kekerasan yang terjadi paling banyak itu di Sugapa dan Hitadipa, Di kedua kampung itu pertama kali misi pelayan dilakukan. Tempat itu keramat, orang mau merokok, makan pinang, apalagi darah orang mau jatuhkan di situ, sangat tidak bisa. [Akan tetapi]aparat TNI/Polri masuk, menempati gedung sekolah, puskesmas dan bunuh pendeta, itu membuat masyarakat tambah Takut,” tutur Weya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G