Papua No.1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Lima tahun terakhir situasi Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua semakin memburuk akibat ekstrakasi juga eksploitasi sumber daya alam dan pendekatan militerisme yang agresif serta represif di Tanah Papua.

Dalil pembangunan dan pengamanan alat vital negara sangat kontradiktif dengan situasi dan kondisi masyarakat pribumi diareal-areal perusahan dengan proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang masif. Sementara negara sejauh ini lalai dalam memenuhi hak rakyat atas akses terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan dan pemenuhan terhadap rasa aman.

Hal pemenuhan rasa aman ini erat kaitannya dengan pendekatan militerisme di Papua yang masif sejak Operasi Tri Komando Rakyat 1963 oleh Pemerintah Republik Indonesia. Sekarang ini militerisme telah menjadi corak dan watak kepemimpinan di hampir berbagai kawasan di dunia pada akhir 2019, sekitar 45,7 juta orang mengungsi karena konflik bersenjata, kekerasan umum atau pelanggaran HAM menurut Pusat Pemantauan Pengungsian Internal (Internally Displacement Monitoring Centre atau IDMC).

Trend ini menunjukan suatu kecenderungan pengabaian oleh negara, termasuk kecenderungan penggunaan alat perang dalam hal ini kekuatan bersenjata oleh dua atau lebih pihak yang bertikai dalam satu negara.

IDMC oleh UNHRC secara spesifik mendata pengungsi Internal atau Internally Displaced Person(IDP). Pengungsi Internal adalah orang-orang yang berada di negaranya sendiri dan tetap berada dibawah perlindungan pemerintahnya, meskipun pemerintah itu adalah alasan pemindahan mereka.

Pengungsi Internal sering pindah ke daerah lain yang masih dalam satu wilayah negara, para pengungsi ini termasuk dalam kelompok yang rentan dilanggar hak-hak asasi manusianya oleh negara. Di Papua sendiri telah terjadi pola pengungsi internal akibat konflik bersenjata sejak 2018 di Kabupaten Nduga dan meluas sampai ke Kabupaten Intan Jaya di 2019 hingga memasuki 2021 ini.

Jumlah total pengungsi untuk kedua wilayah sampai dengan febuari 2021 ini mencapai 37.466.000 orang. Sepanjang tahun 2015 – 2021, Koalisi Perempuan Bergerak Selamatkan Manusia Papua menyoroti tingginya angka kematian ibu dan anak didaerah konflik secara spesifik di Nduga dan Intan Jaya.

Jumlah Ibu dan Anak yang meninggal akibat konflik antara TNI-POLRI dan TPNPB berjumlah 206 jiwa (Oktober 2015 – 17 Februari 2021) dengan rincian 21 Perempuan Dewasa (Nduga) dan 187 Anak; 3 Anak (Intan Jaya), 96 Anak (Nduga), 1 orang pelajar Sekolah Menengah Pertama (Nduga), 26 Balita dan 25 Bayi (Nduga).

Kematian yang tinggi ini tidak hanya diakibatkan oleh timah panas aparat keamanan, tetapi juga karena minimnya akses dan pelayanan kesehatan yang buruk bagi Ibu dan anak sebagaimana yang terjadi di Mbua, Kabupaten Nduga yang menewaskan 30 anak dalam sebulan pada 2015.

Tragedi kematian puluhan anak-anak di Mbua membuat Kemeterian Kesehatan RI menetapkan status Kondisi Luar Biasa (KLB) saat itu. Sayangnya penanganan yang terlambat dan kelalaian negara memenuhi Hak Atas Pelayanan dan akses Kesehatan ini mengakibatkan 54 anak meninggal hingga Januari 2016.

Potret kesehatan yang terabaikan ini diperparah dengan situasi konflik, dimana rakyat sipil harus mengungsi dan menjadi kelompok rentan serta korban kekerasan berlapis oleh negara.

Pengungsi Nduga telah berjumlah 37.000 jiwa sejak Desember 2018. Memasuki desember 2019 Pasca penembakan Pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya,466 rakyat sipil telah mengungsi dan tersebar di tiga kabupaten.  Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak, dan Nabire. Ada 3 anak Sekolah Dasar (SD) yang meninggal selama dalam pengungsian di Nabire, ketiganya adalah murid SD YPPK Titigi yang gedung sekolahnya kini dijadikan Markas Koramil Persiapan Hitadipa, Intan Jaya.

Dengan situasi konflik yang berlarut-larut dan keengganan pemerintah menarik militer dari Nduga dan Intan Jaya, maka rakyat sipil yang masih bertahan dan atau dalam pengungsian akhirnya menjadi korban.

Melihat jumlah korban kebanyakan Perempuan dan Anak, negara tentu saja dinilai lalai dan gagal dalam memenuhi hak asasi Perempuan dan Anak yang menjadi korban konflik bersenjata dan pelanggaran HAM di Intan Jaya dan Nduga.

Sedangkan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan adanya pengakuan terhadap prinsip persamaan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. Prinsip persamaan ini menghapuskan diskriminasi, karenanya setiap warga negara mempunyai hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin, kedudukan, dan golongan.

Rakyat Nduga dan Intan Jaya berhak mendapatkan perlindungan akan rasa aman yang dijamin oleh Indonesia dalam hukum internasional melalui penandatangan Konvenan Hak sipil dan Politik serta Konvenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang dipertegas dalam ratifikasi Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat.

Pada moment perayaan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2021 ini, Koalisi Perempuan Bergerak selamatkan Manusia Papua secara tegas menolak dan mengecam segala bentuk atau tindakan apapun oleh agen negara baik militer maupun pemerintah yang dengan sengaja mengabaikan Hak hidup, Hak atas Kesehatan, Pendidikan, Ekonomi, sosial, budaya dan sipil politik terhadap Masyarakat Adat Papua dari Nduga dan Intan Jaya.

Mereka mendesak negara dengan seluruh aparaturnya mulai dari Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, dari Pusat hingga Daerah untuk menghentikan pendekatan militeristik dalam menyelesaian konflik di Tanah Papua.

Pemerintah Republik Indonesia berkewajiban memperhatikan dan bertindak cepat dan adil dalam mengurus kehidupan korban masyarakat sipil yang harus mengungsi dari kampung-kampung mereka karena konflik yang tidak mampu diselesaikan oleh negara.

Di antara para Pengungsi Internal (IDP’s) ada korban perempuan dan anak yang hidupnya terancam dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti makan minum, bekerja, sekolah hingga sulit mengakses layanan kesehatan.

Presiden Republik Indonesia diminta untuk menarik pasukan militer dari seluruh Tanah Papua termasuk dari wilayah-wilayah konflik bersenjata seperti Nduga, Intan Jaya dan Puncak Jaya. Biarkan masyarakat kembali hidup tenang di atas tanah mereka.

Panglima Tentara Nasional Indonesia diminta untuk menarik pasukan dan atau meninggalkan  Sekolah Dasar YPPGI Titigi, Hitadipa di Intan Jaya. Gubernur Papua untuk menghentikan rencana kerjasama eksplotasi tambang Block Wabu yang berada di Intan jaya, bekas pertambangan PT. Freeport yang dikembalikan kepada Negara pada tahun 2015 lalu dengan perkiraan potensi emas sebesar 4,3 juta ore.

Kemudian, ada pula tuntutan untuk mencabut Undang-undang Cipta Kerja nomor 11 Tahun 2020 yang semakin memberi ruang kepada negara dan investor untuk merampas ruang hidup masyarakat adat.

Lalu mengesahkan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat (RUU MA), Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), dan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).

Menghentikan Exploitasi Hutan Adat di Papua dengan mengatasnamakan Pembangunan dan Pengerusakan hutan Papua yang menjadi sumber kehidupan kelangsungan hidup dan eksistensi perempuan Papua sebab hutan adalah pasar (Supermarket) alami bagi perempuan Papua, dan sumber mata pencaharian utama perempuan Papua. Menghentikan Pemekaran-pemekaran wilayah administratif baru yang berpotensi menimbulkan konflik akibat perampasan lahan.

Kemudian, koalisi perempuan bergerak juga menolak dan meminta Pemerintah meninjau termasuk menghentikan implementasi Otonomi Khusus karena tidak menunjukan dampak positif yang siginifikan dalam mengakui, menghargai, menghormati dan memberikan perlindungan terhadap Orang Asli Papua sebagai bagian dari Masyarakat Adat Dunia.

Selain itu, koalisi juga mengajak seluruh masyarakat terutama perempuan di Tanah Papua untuk terus berkondolidasi membangun kekuatan melawan segala bentuk penindasan dan menciptakan ruang aman bagi perempuan.***

Editor: Edho Sinaga

Leave a Reply