Papua No.1 News Portal | Jubi
Penjualan Karolina Yom melonjak sejak mengikuti pameran pada Festival Danau Sentani, tahun lalu. Sementara itu, Hulda Nari mempersembahkan karya perdananya untuk Gereja.
SUDAH setahun ini Karolina Yom bergelut dengan barang bekas. Di tangan perempuan berusia 53 tahun itu, ongokan sampah tersebut disulap menjadi barang pajangan yang menawan.
Yom mendaur ulang bekas botol air kemasan dan cangkang kerang danau. Dia merangkaikannya dengan sendok es krim, rapia, dan pembersih telinga (cotton bud) sehingga menjadi sebentuk replika bunga hias.
Perempuan Sentani asal Kampung Ifale itu juga menggunakan dahan atau ranting pohon liar sebagai batang miniatur tanaman tersebut. Yom dengan tekun lagi cekatan merangkai satu per satu bahan-bahan itu sehingga menjadi replika bunga hias yang siap untuk dijual.
“Mama sudah (menjalani) usaha ini sejak lebih dari setahun lalu. Karena sakit, Mama tidak bisa berjualan beberapa hari lalu,” katanya kepada Jubi, Selasa (12/11/2019).
Yom membuka lapak dagangan bunga hias di Pasar Pharaa. Hari itu, dia memajang sebanyak delapan pot bunga hias bikinannya untuk dijual.
Sepohon bunga hias dibanderolnya seharga Rp150 ribu. Itu sudah beserta potnya. Jika tanpa pot, dihargakan Rp100 ribu sepohon.
Yom bisa menghasilkan dua pohon hias dalam sehari. Aktivitas itu dilakukannya pada malam hari, setelah pulang dari berjualan dan membereskan rumah.
“Mama bikin itu (bunga hias) sampai pukul 12 malam (Waktu Papua). Pagi sampai siangnya, Mama mengurusi rumah, dan ke pasar (berjualan),” ujarnya.
Uang dari hasil menjual bunga hias itu digunakan Yom untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, dan pendidikan anak. Salah seorang anaknya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP).
“Mama punya anak bungsu sedang (masih) sekolah di SMP Negeri 1 Sentani. Jadi, Mama gunakan (hasil penjualan bunga hias) untuk uang jajan, transportasi dan kebutuhan sekolah dia,” kata ibu dari enam anak tersebut.
Sejak mengikuti pameran pada Festival Danau Sentani 2018, bunga hias bikin Yom semakin banyak peminatnya. Pemesanan berdatangan dari para konsumen.
“Saya belum bisa pastikan (jumlah pesanan) saat ini karena baru berjualan (kembali). (Keuntungan penjualan bunga hias) memang tidak besar, tetapi Puji Tuhan bisa mencukupi (kebutuhan keluarga dan pendidikan anak),” kata Yom.
Mengkreasikan kresek
Seni merangkai bunga hias juga ditekuni Hulda Nari. Dia biasa menghasilkan dan menjual sebanyak 2-3 miniatur pohon bunga dari kantong keresek sebagai bahan utama. Semua bahan diperolehnya dengan membeli, kecuali ranting pakis.
Ranting pakis yang disertai daun difungsikan sebagai batang untuk pohon miniatur. Nari mendapatkannya dengan mengambil di hutan di sekitar tempat tinggalnya.
Perempuan berusia 48 tahun tersebut baru sebulan ini menekuni usaha kerajinan miniatur pohon hias. Modal awalnya hanya Rp100 ribu. Uang itu untuk membeli pot bunga, dan sejumlah bahan serta peralatan kerja.
Nari semula bekerja secara kelompok dengan perajin serupa di kampungnya, tetapi belakangan membuka usaha sendiri. Dia berjualan di sebuah kios sederhana di pinggiran Jalan Ifar Gunung, Sentani.
“Sewaktu kelompok (dikerjakan berkelompok), paling (juga cuma) di atas lima pot (hasilnya). Pembuatannya memang tidak mudah karena (kantong kresek) harus dilipat dan digunting rapi,” katanya.
Nari menjual hasil kerajinannya seharga Rp150 ribu sepohon. Proses membentuk kresek menjadi sekuntum bunga replika menjadi pekerjaan tersulit bagi ibu dari tujuh anak tersebut. Itu butuh kesabaran dan ketekunan.
“Memasang dan menyusunnya mudah, tetapi proses pelipatannya yang sulit. Itu tidak bisa sembarangan,” ujarnya
Karya Nari juga banyak diminati pembeli. Dari hasil usahanya itu, Nenek dari tiga cucu tersebut pun bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan menyelesaikan pembangunan rumah.
Sebagai ungkapan syukur dan memohon keberkatan Tuhan, Perempuan asal Geyem itu mempersembahkan karya perdananya sebagai hiasan untuk sejumlah gereja. Salah satunya, Gereja Baptis Imanuel Toladan.
“Persembahan Ibu Hulda (Nari) ini sangat bagus. Kami menyampaikan terima kasih karena usaha (karya) pertamanya dipersembahkannya buat Tuhan,” kata Iton Kogoya, Pengurus Gereja Baptis Imanuel Toladan. (*)
Editor: Aries Munandar