Methy Rosalina Ronsumbre si “Anggrek hitam” Papua

Methy Rosalina Ronsumbre - Jubi/IST
Methy Rosalina Ronsumbre – Jubi/IST

Papua No. 1 News Portal | Jubi 

Jayapura, Jubi -Kepergianya mengangetkan publik di tengah situasi Papua yang sedang bergejolak oleh berbagai masalah yang terjadi.  Berita duka tentang kematian seorang Perempuan bernama lengkap Methy Rosalina Ronsumbre merupakan pukulan berat. Rasa kehilangan sosok perempuan hebat pengajar FISIP Universitas cenderawasih (Uncen) yang selama ini tulus mengabdi di berbagai lapisan masayarakat.

Read More

Rasa duka tak hanya menyelimuti kalangan akademisi, yang merupakan rekan sejawatnya, namun juga dari kelompok Mama – mama pedagang yang sehari-hari bergelut dengan sampah debu jalanan dan genangan becek, termasuk para aktivis jalanan yang kerap membaktikan hidup bagi Pembebasan Papua atau pun dari para praktisi hukum, dan para aktivis Gereja.

Semasa hidup Methy Rosalina Ronsumbre banyak hadir mengisi celah yang selama ini tak terjembatani di antara berbagai jenis kelompok yang ada di masyarakat Papua. Perempuan berdarah Biak asal kampung Ambroben itu merupakan “Anggrek Hitam” yang sangat langka.

Ia perempuan luwes yang tak hanya mampu menempatkan diri sebagai seorang akademisi, namun hadir bersama terik panas menemani para demonstran mahasiswa yang tergelitik melihat kepincangan sosial di sekitarnya.

Ronsumbre mampu mempraktikkan Ilmu Sosiologi yang selama ini ia ajarkan di kampus. Nuraninya terusik mencerna realitas masyarakatnya karena kesadaran dan kecintaannya yang tulus pada kehidupan itu sendiri.

Ia tak bisa santai duduk manis di kampus, namun juga banyak bercengkerama dengan anak-anak muda yang biasanya di beri label “aktivis garis merah” dan dianggap separatis atau pemberontak dan juga musuh negara.

Sikap santai, cuek, tak ambil pusing dengan apa kata orang, Ronsumbre memilih jalanan yang tak banyak diminati oleh seorang perempuan dengan karir baik. Hanya kesetiaan, ketajaman nurani dan cinta pada kehidupanlah yang menuntun dan menguatkan langkahnya. Meski itu dibayar dengan pengorbanan waktu, tenaga, dan dana tanpa ada ada keluhan.

Dalam aktivitasnya di Gereja, Ronsumbre  memilih mengambil peran pro bono dengan alasan íngin melayani Tuhan.

Ia seorang akademisi perempuan Papua yang hebat, dibalik sikap lembut, ramah dan supel juga berhati sekeras batu karang halnya negeri leluhurnya yang terkenal sebagai kota Karang Panas, Biak.

Ronsumbre tak hanya sibuk berkutat dengan para mahasiswa sebagai seorang pengajar, namun sering menghabiskan waktu bersenda gurau bersama Para Mama-mama pedagang sayuran di Pasar Mama-mama Papua.

Di luar itu para aktivis Papua Merdeka, menyebut Ronsumbre sebagai guru ideologi yang mengajarkan doktrinasi yang tak berhenti memperjuangkan Pembebasan Papua dari segala macam penindasan dan penjajahan.

Ia sangat  memahami teori Pertentangan Kelas Marxis, Teori Hegemoni Gramschi, Teologi Pembebasan Gustavo Gutierrez, Pendidikan KaumTertindas milik Paolo Fereire, hingga Revolusi Kacang Tanah dari Amilcar Cabral, atau Teori Rasa Inferioritas Bangsa Terjajah Frantz Fanon.

Ide dan gerakan Ronsumbre selalu hadir menyalakan api revolusi, tak lelah mengajar untuk mencerdaskananak bangsa, dan juga terus mempraktikkan teori-teori revolusioner dalam kerja-kerja praktis mendampingi kelompok-kelompok masyarakat tertindas dan termarginalkan.

Ia mentransformasikan ide dan amunisi pemikiran praktis berdasar pengalamannya bergelut dan mendengar keluh-kesah kaum terpinggir yang selama ini tak dianggap penting.  Perempuan perkasa yang sederhana ini tak sekedar berteori, tapi tetap konsisten menjaga idealis hingga akhir hayat.

Perjalanan kritis Ronsumbre dilalui sejak aktivisme semasa mahasiswa sebagai proses tahapan yang dilalui sebagai perempuan muda progresif. Prinsip dunia perempuan yang selalu berhubungan dengan usaha memelihara kehidupan menjadi dasar dia membangun  perempuan Papua berdiri tegar dalam barisan Perjuangan Pembebasan Nasional Papua.

Baginya perempuan tak hanya sebagai pelengkap, tapi benar-benar mengambil peran terlibat aktif memperjuangkan Papua baru yang aman, tentram, bebas dari penindasan dan penghisapan serta berdaulat penuh.

Kini Anggrek hitam Papua itu telah pergi dengan meninggalkan kenangan kiprah yang menyentak kesadaran kebangkitan perempuan Papua.

Selamat jalan ke rumah keabadian Anggrek Hitam Papua…!(*)

Penulis             : Ester Haluk

Editor              : Edi Faisol

Related posts

Leave a Reply