Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Sejumlah aktivis dari berbagai lembaga advokasi isu gender di Tanah Papua melakukan diskusi bertajuk “Konsultasi Perempuan Menghadapi Ketimpangan Ekonomi dan Menguatkan Suara Komunitas”. Diskusi itu digelar di Kota Jayapura, Kamis (11/11/2021).

Dalam keterangan pers tertulis yang diterima Jubi pada Sabtu (13/11/2021), aktivis perempuan Papua dan Koordinator TIKI Papua, Fien Jarangga mengatakan persoalan ketimpangan gender dan kekerasan yang dialami perempuan Papua masih sama dibandingkan pada 2008. Saat itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Fajar mendokumentasi kesaksian 200 perempuan Papua yang menjadi korban kekerasan.

Dokumentasi itu telah diterbitkan menjadi laporan resmi Komnas Perempuan berjudul “Stop Sudah!”. Akan tetapi, 13 tahun setelah laporan itu terbit, belum ada perbaikan atas situasi ketimpangan gender dan kekerasan terhadap perempuan Papua.

“Pada tahun 1963-2009, masalahnya sama. Situasinya tidak berubah. Yang berubah sekarang adalah banyak anak-anak yang sarjana,” ujar Jarangga.

Baca juga: Negara Indonesia gagal melindungi hak atas rasa aman perempuan di Papua

Menurut Jarangga, kemiskinan dan marginalisasi yang dihadapi perempuan beragam. Perempuan Papua kehilangan akses terhadap alat produksi (ekonomi), kehilangan kesempatan akses terhadap pendidikan dan kesehatan, dan akses terhadap sumber daya alam (hutan, laut dan tanah).

Pimpinan Lekat Papua dan dosen Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (Uncen), , Jackson Yumame mengatakan perempuan, baik di Papua, maupun secara umum di Indonesia, adalah kelompok yang terdiskriminasi dan termarjinalisasi. Perempuan bahkan sulit untuk mendapatkan akses di bidang ekonomi, kesehatan, dan pendidikan.

Padahal perempuan memainkan peran penting dalam konteks pembangunan secara luas.“Keberhasilan kita ditentukan oleh keberhasilan ekonomi perempuan dalam berumah tangga, yang akan berdampak kepada masyarakat dan negara. Dua hal yang bisa dorong [peningkatan keberhasilan ekonomi perempuan], yaitu regulasi dan program untuk memperkuat perempuan,” kata Yumame.

Risma Umar yang mewakili AKSI for gender, social and ecological justice menyampaikan harapan besar bahwa perubahan terjadi pada perempuan di Papua. Risma menyatakan Papua adalah tanah yang subur dan kaya. Namun angka statistik negara menempatkan Papua sebagai daerah miskin.

Baca juga: Herlina Suebu: Laki-laki dan perempuan Papua harus saling membantu untuk bangun Papua

Risma menyatakan pihaknya yakin bahwa kehidupan yang berkelanjutan dan kondisi perempuan akan damai dan sejahtera jika alam dan sumber daya alam di Papua dikelola dengan baik. “Ketika alam dirusak, manusia dan semua ekosistem akan rusak. Suara perempuan belum keluar semua, di tengah ketimpangan dan ketidakadilan. Padahal perempuan Papua juga punya hak bebas dari penderitaan dan bebas dari kemiskinan,” kata Risma.

Diskusi “Konsultasi Perempuan Menghadapi Ketimpangan Ekonomi dan Menguatkan Suara Komunitas” pada Kamis juga diikuti sejumlah aktivis perempuan dari Keerom dan Kabupaten Jayapura. Mereka membahas dukungan terhadap inisiatif Mama-mama Papua, serta gerakan perempuan di Papua agar terjadi perubahan.

Diskusi itu menghasilkan 12 poin usulan perubahan, di antaranya, kembalikan tanah kami, jangan batasi hak-hak kami, review kembali kebijakan kelapa sawit, illegal logging. Diskusi itu juga merekomendasikan agar Presiden Joko Widodo memperbaiki kerusakan alam di Papua. Poin diskusi itu juga mendorong perempuan Papua untuk saling mendukung dan bersuara. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Leave a Reply