Papua No. 1 News Portal | Jubi
RUMAH JANGKUNG berlantai dua menyatu dengan rerimbun kemboja. Di lantai kedua, ada galeri foto yang dinamai Black Orchid.
Pemilik galeri, Agus Zeth Tanati (37), lebih dikenal dengan sapaan Gusti Tanati. Ia saat ini berprofesi sebagai pewarta foto Antara untuk Papua.
Gusti mengisahkan, galeri yang berlokasi di Perumahan Furia Kotaraja, Kota Jayapura, Provinsi Papua itu, sudah ia idam-idamkan sejak November tahun lalu.
Menurut pria asal Serui ini, ia memilih nama Black Orchid yang artinya anggrek hitam untuk mencirikan keunikan Papua. Saat mencari dan memikirkan nama galeri, ia melakukan riset-riset kecil pada 2018, pun ditambah diskusi dengan teman-temannya di Jakarta dan para fotografer senior di Papua.
“Setelah itu, pelan-pelan bikin. Kumpul-kumpul bahan Desember 2018. Ada juga bantuan dari kawan-kawan komunitas foto. Kemudian awal Januari 2019, mulai dikerjakan dan akhirnya jadi, meski belum rampung semuanya. Lokasinya tepat di samping rumah kedua orang tua saya,” katanya, saat ditemui Jubi di galerinya, Sabtu (16/3/2019).
Sebagian karya fotonya dengan berbagai tema telah ia bingkai dan pajang di dinding galeri. Selain itu, ornamen-ornamen khas Papua seperti ukiran Asmat, koteka, noken, dan beberapa selendang pemberian teman-temannya dari berbagai daerah di Indonesia, berjuntaian di ruang galeri.
Buku-buku foto yang beberapa di antaranya berisi hasil karyanya, dijajarkan rapi di salah satu pojok galeri. Termasuk karya-karyanya selama berkarir di Antara, dan saat ia mengikuti pameran foto.
“Jadi galeri ini ada, karena saya tergerak ingin menampung karya-karya saya di sini. Seperti beberapa photo story. Galeri ini juga bisa menjadi ruang diskusi foto,” kata pria yang sudah memiliki satu putra berusia 3 tahun, dari pernikahannya dengan perempuan asal Serui, pada 2005 lalu.
Awal bersentuhan dengan kamera
Gusti bertutur, ia mengenal dunia fotografi pada 2011. Kala itu, ia mulai menabung dan membeli kamera DSLR Canon EOS 1000D. Kemudian pada 2014, ia coba mengikuti pameran foto Jakarta International Photo Summit (JIPS) bertema kemaritiman, City of Waves.
“Kami dari Papua ada tujuh fotografer. Yang saya ikutkan ada sebelas foto, temanya Pinang di Gunung, Karang di Laut, Berjumpa di Serui,” kata pria yang menamatkan kuliah D3-nya, di Fakultas Teknik, Jurusan Elektronika, Universitas Negeri Manado, 2006 lalu.
Tema yang ia angkat berhasil mengundang perhatian para pengunjung. Apalagi, kata Gusti, tema tersebut mengampanyekan tentang pelestarian terumbu karang.
Masyarakat di Kampung Serui Laut, Distrik Yapen Selatan, Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua, dikenal sering membuat kapur sirih dari terumbu karang. Karena itu, banyak terumbu karang rusak dan hasil tangkapan ikan para nelayan berkurang.
“Dari foto-foto itu, saya ingin agar alam di Serui terus dijaga. Karena semua itu untuk generasi mendatang,” katanya.
Dari pameran foto itu, ia mulai terdorong untuk menyeriusi dunia fotografi. Ia coba mendaftar untuk workshop Galeri Foto Jurnalis Antara (GFJA). Setelah dinyatakan lolos lewat karya foto yang sama saat mengikuti JIPS, ia berangkat ke Jakarta.
“Saya GFJA angkatan XXIII tahun 2017,” ujarnya.
Gusti kemudian aktif sebagai pewarta foto Antara setelah workshop tersebut sampai sekarang. Setelah itu, ia mulai menabung dari honor foto, lalu membeli kamera DSLR Canon EOS 60D yang sering dipakainya saat ini.
Beberapa kali ia ditawari untuk mengikuti berbagai perlombaan foto, tapi ia mengaku belum serius dengan kompetisi. Baginya, yang prioritas adalah membuat satu buku foto berisi karya-karyanya.
“Buku foto itu penting. Rencananya saya akan buat situs web untuk galeri juga. Jadi karya-karya saya bisa dilihat lewat online di situ,” katanya.
Gusti mengatakan lebih tertarik dengan foto bertema human interest, khususnya photo story. Sebab dalam foto bertema human interest, kata dia, ada banyak kisah yang bisa diceritakan hanya dalam satu gambar.
Namun menurutnya, jalan hidup sebagai pewarta foto tak melulu mulus. Berbagai kendala di lapangan kerap ia temui. Tapi katanya semua itu menjadi pelajaran, agar bisa mengetahui bagaimana caranya mendekati objek dan membuat mereka nyaman.
“Biasa minta izin. Atau hari pertama itu pendekatan dulu, baru hari kedua bisa ambil-ambil foto,” katanya.
Kendala di lapangan lainnya, adalah menyoal medan ketika ia meliput banjir yang belum lama ini melanda Kota Jayapura. Ia harus berendam dalam banjir setinggi dadanya, agar bisa mendekati objek yang disasarnya.
“Waktu banjir di Pasar Youtefa kemarin. Saya harus basah-basahan,” katanya.
Saat ini ia mengampu komunitas foto bernama Mawampi yang terbentuk sejak 2014. Jumlah anggota Mawampi yang aktif ada 20 sedangkan simpatisan lebih dari 100.
Papua dikenal sebagai daerah yang sangat elok, dengan 300 lebih suku dan corak budaya yang beragam. Karena itu baginya, sangat disayangkan jika dunia fotografinya tidak digarap dengan baik, khususnya oleh para fotografer orang asli Papua dan mereka yang bermukim di Papua.
“Nanti setelah dari luar datang foto-foto, baru kita menyesal. Jadi mulai sekarang, mari kita bicara Papua lewat karya,” katanya.(*)
Editor: Dominggus Mampioper