Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Masyarakat adat di Kabupaten Keerom, Papua, merekomendasikan pemetaan wilayah adat untuk mencegah perampasan wilayah adatnya. Rekomendasi itu merupakan hasil diskusi yang dipandu Naomi Kwambre dari Konsultasi Independen Pemberdayaan Rakyat atau Kipra Papua di Arso, ibu kota Kabupaten Keerom, pada Kamis (26/8/2021).
Diskusi masyarakat adat itu digelar di aula Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Keerom, Arso Kota, Kamis. “Pemetaan wilayah adat merupakan kebutuhan, sehingga harus segera dilakukan pemetaan. Kami dorong sama-sama,” kata Direktur Kipra Papua, Irianto Jacobus, kepada Jubi di Jayapura, Sabtu (28/8/2021).
Irianto menyatakan diskusi itu juga merekomendasikan agar Dewan Adat Keerom dan pemerintah adat di tingkat kampung dan distrik segera menyelesaikan konflik internal di antara mereka. Jika persoalan internal antarlembaga adat itu tidak diselesaikan, pemetaan batas wilayah adat akan sulit dilakukan. Konflik antara Dewan Adat Keerom dan pemerintah adat di tingkat kampung dan distrik juga rentan dimanfaatkan oknum investor dan perusahaan yang ingin “bermain mata” untuk menguasai tanah-tanah adat di Keerom.
Baca juga: Kipra Papua dorong Perda Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Keerom
Diskusi pada Kamis juga merekomendasikan agar pemetaan wilayah adat mengidentifikasi kekayaan alam maupun batas hutan ulayat masing-masing marga atau keret di Keerom. Hasil pemetaan itu diharapkan akan diadopsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Keerom menjadi Peraturan Daerah Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Kipra bersama masyarakat adat akan mendorong DPRD Keerom menindaklanjuti berbagai rekomendasi untuk melindungi keberadaan masyarakat adat di sana. “Itu penting, sehingga persoalan-persoalan (ulayat) terakomodasi di dalam peraturan daerah tersebut,” ujar Irianto.
Jika pemetaan wilayah adat diadopsi menjadi peraturan daerah, peraturan daerah itu dapat menjadi acuan dalam proses penerbitan izin perusahaan kelapa sawit di tingkat pusat ataupun daerah. Penerbitan izin oleh pemerintah tidak boleh dilakukan tanpa diketahui masyarakat adat setempat.
Irianto menyebut berbagai rekomendasi diskusi pada Kamis itu memang tidak mudah ditindaklanjuti. Ia mencontohkan adanya perusahaan tertentu yang berdalih melakukan aktivitasnya di Keerom setelah bersepakat dengan pemilik ulayat. Irianto mengajak masyarakat dan dewan adat di Keerom untuk bersama-sama mengontrol aktivitas perusahaan atau oknum tak bertanggung jawab di wilayah adatnya.
Baca juga: Anak-anak berjalan kaki 5 km ke sekolah di Kabupaten Keerom
“Ada industri kayu yang berhubungan baik dalam tanda kutip, dengan pemilik wilayah adat. Itu juga harus kita cermati,” katanya.
Ketua Dewan Adat Keerom, Serfo Tuamis mengatakan lokasi yang dijadikan kawasan transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit merupakan tanah milik masyarakat adat. Jika pemerintah mengembangkan kawasan kota dengan membangun perkantoran di wilayah adat, maka masyarakat pemilik ulayat juga harus diperhatikan.
“Hukum-hukum adat itu perlu. Harus dikembangkan dalam pemetaan wilayah adat masing-masing, supaya orang lain yang datang ke wilayah itu juga bisa tahu aturan dan tata cara di masyarakat adat,” kata Tuamis.
Tuamis melanjutkan, ada dua pola transmigrasi di Keerom, yaitu, trans umum dan perkebunan. Pada tahun 1980-an lokasi trans umum seluas 18 ribu hektare, dan trans PIR 50 ribu hektare.
“Itu dianggap tanah negara. Akhirnya konflik [dengan masyarakat adat] terus terjadi. Masyarakat adat kemarin baku [panah] dengan [warga] trans umum,” katanya.
Baca juga: Arso Keerom banjir lagi, tiang listrik terbawa air
Selain itu, Hak Guna Usaha milik perusahaan perkebunan sawit juga kerap menimbulkan sengketa. Tuamis meminta pemerintah daerah melakukan sosialisasi kepada masyarakat adat dan melakukan pemetaan batas-batas wilayah adat dengan kawasan trans. “Supaya masyarakat yang datang juga tahu bahwa ada masyarakat adat,” katanya.
Tuamis meminta Pemerintah Kabupaten Keerom bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat adat untuk melakukan pemetaan dan membuat peraturan daerah tentang perlindungan masyarakat adat.
Tuamis menyatakan ada lahan seluas 50 ribu hektare di Keerom yang telah dirampas dari masyarakat adat. Pihaknya masih menyimpan dokumen pengambilalihan lahan itu, yang diterbitkan 19 Oktober 1982.
Tuamis mendesak Pemerintah Kabupaten Keerom meninjau kembali dokumen tersebut, karena dari 50 ribu hektar lahan itu, baru 20 ribu hektar yang digunakan untuk perluasan kebun kelapa sawit. Ia berharap 30 ribu lahan sisanya dikembalikan lagi kepada masyarakat adat. Tuamis menyatakan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah berakhir jangka waktunya tidak boleh diperpanjang lagi, dan lahannya harus dikembalikan kepada masyarakat adat.
Baca juga: Banjir Keerom, berulang terus dan ancaman deforestasi
Tuamis berkata, lahan yang dijadikan trans umum seluas 18 ribu hektare, di antaranya, Arso 1, Arso 2, Arso 3 sampai Arso 14, juga tidak memiliki batas wilayah yang jelas. “Kira-kira luasan Arso 1 yang 13 ribu (hektare) itu dimana? Arso 2 ada 7.500 hektare itu titiknya mana? Arso 3 dan 4 itu 6.000.000 hektare titik dimana?’ Katanya.
“Pemerintah harus turun. Kami punya dokumen itu. Pemerintah harus buka diri dengan adat. Duduk bersama. Wajarkah tanah yang diambil oleh pemerintah pada zaman rezim Soeharto tahun 1980? Kita duduk bicara lagi. Supaya saudara-saudara kita yang datang (transmigran) bersama kita membangun satu kabupaten ini.,” katanya.
Dia menyentil program sertifikat yang diberikan pemerintahan Jokowi. Menurut Tuamis, sertifikat seharusnya dikeluarkan setelah dilakukan pelepasan adat. “Perlu pemerintah dengan adat duduk bersama supaya tidak ada konflik antara masyarakat,” katanya.
Dia pun meminta Pemerintah Kabupaten dan Kota Jayapura bersama Kabupaten Keerom menindaklanjuti dokumen 19 Oktober 1982, yang menyebutkan lahan untuk dijadikan trans umum 18 ribu hektare, trans perkebunan 50 ribu hektare, dan 70 ribu hektare status tanah negara. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi konflik amtarwarga atau masyarakat adat. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G