Oleh: Dr. Socratez S.Yoman*
“Indonesia sesungguhnya kolonial modern di West Papua. Ini fakta yang sulit dibantah secara antropologis dan sejarah serta realitas hari ini.” (Dr. Veronika Kusumaryati, 10 Agustus 2018; lihat Yoman: Melawan Rasisme dan Stigma di Tanah Papua, 2020:6).
Jumlah penduduk West Papua adalah 4.392.024 (Provinsi Papua 3.322.526 jiwa dan Papua Barat 1.069.498 jiwa).
Penulis mencoba membagi secara merata dari total penduduk 4.392.024 jiwa untuk lima provinsi. Provinsi Papua akan dihuni 878.404 penduduk, Provinsi Papua Barat akan dihuni 878.404 penduduk, Provinsi “boneka” I akan dihuni 878.404 penduduk, Provinsi “boneka” II akan dihuni 878.404 penduduk, Provinsi “boneka” III akan dihuni 878.404 penduduk.
Pertanyaannya ialah apakah jumlah penduduk masing-masing provinsi 878.404 jiwa layak dan memenuhi syarat untuk menjadi sebuah provinsi?
Penulis melakukan komparasi jumlah penduduk Provinsi ; Jawa Barat (46.497.175 jiwa), Jawa Tengah (35.557.248) jiwa, dan Jawa Timur (38.828.061) jiwa.
Pertanyaannya,mengapa Pemerintah Republik Indonesia tidak melakukan pemekaran Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang jumlah penduduk terbanyak?
Konsekuensi dari kekurangan jumlah penduduk di provinsi ini, penguasa kolonial modern Indonesia akan memindahkan kelebihan penduduk orang-orang Melayu Indonesia ke provinsi-provinsi boneka ini.
Lima provinsi ini juga dengan tujuan utama untuk membangun 5 Kodam, 5 Polda, puluhan Kodim dan puluhan Polres dan berbagai kesatuan. Tanah Melanesia ini akan dijadikan rumah militer, polisi, dan orang-orang Melayu Indonesia.
Akibat-akibat akan ditimbulkan ialah orang asli Papua dari Sorong-Merauke akan kehilangan tanah. Karena tanah akan dirampok dan dijarah untuk membangun gedung-gedung kantor, markas Kodam, Polda, Kodim, Polres. Manusianya disingkirkan, dibuat miskin, tanpa tanah dan masa depan, bahkan dibantai dan dimusnahkan seperti hewan dengan cara wajar atau tidak wajar seperti yang kita alami dan saksikan selama ini.
Ada fakta proses genocide (genosida) dilakukan penguasa kolonial modern Indonesia di era peradaban tinggi ini. Kejahatan penguasa kolonial Indonesia terus terungkap di depan publik.
Tahun 1969 ketika bangsa West Papua diintegrasikan ke dalam Indonesia, populasi OAP sekitar 809.337 jiwa, sedangkan PNG berkisar 2.783.121 jiwa. Saat ini pertumbuhan penduduk asli PNG sudah mencapai 8.947.024 jiwa, sementara jumlah OAP masih berada pada angka 1, 8 juta jiwa.
Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia adalah benar-benar penguasa kolonial modern yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa West Papua.
Doktor Veronika Kusumaryati dalam disertasinya “Ethnography of Colonial Present: History, Experience, And Political Consciousness in West Papua” mengungkapkan:
“Bagi orang Papua, kolonialisme masa kini ditandai oleh pengalaman dan militerisasi kehidupan sehari-hari. Kolonialisme ini juga bisa dirasakan melalui tindak kekerasan yang secara tidak proporsional ditujukan kepada orang Papua, juga narasi kehidupan mereka. Ketika Indonesia baru datang, ribuan orang ditahan, disiksa, dan dibunuh. Kantor-kantor dijarah dan rumah-rumah dibakar. …kisah-kisah ini tidak muncul di buku-buku sejarah, tidak di Indonesia, tidak juga di Belanda. Kekerasan ini pun tidak berhenti pada tahun 1960an” (2018:25).
Pemerintah Indonesia mengulangi pengalaman penguasa kolonial Apartheid di Afrika Selatan pada 1978. Peter W. Botha menjadi Perdana Menteri dan ia menjalankan politik adu-domba dengan memecah-belah persatuan rakyat Afrika Selatan dengan mendirikan negara-negara boneka: negara Boneka Transkei, negara Boneka Bophutha Tswana, negara Boneka Venda, dan negara Boneka Ciskei (Sumber: 16 Pahlawan Perdamaian Yang Paling Berpengaruh: Sutrisno Eddy, 2002, hal. 14).
Ancaman serius dan tersingkirnya orang asli Papua di tanah leluhurnya ditunjukkan dengan fakta, bahwa di kabupaten-kabupaten sudah dirampok oleh orang-orang Melayu dan terjadi perampasan dari hak-hak dasar dalam bidang politik OAP. Contohnya, Sarmi 20 kursi (pendatang 13 orang dan OAP 7 orang), Boven Digoel 20 kursi (pendatang 16 orang dan OAP 6 orang), Asmat 25 kursi (pendatang 11 orang dan OAP 14 orang), Mimika 35 kursi (pendatang 17 orang dan OAP 18 orang), Fakfak 20 kursi (pendatang 12 orang dan OAP 8 orang), Raja Ampat 20 kursi (pendatang 11 orang dan OAP 9 orang), Kabupaten Sorong 25 kursi (pendatang 19 orang dan OAP 7 orang), Teluk Wondama 25 kursi (Pendatang 14 orang dan OAP 11 orang), Merauke 30 kursi (pendatang 27 orang dan OAP 3 orang), Kabupaten Sorong Selatan 20 kursi (pendatang 17 orang dan OAP 3 orang), Kota Jayapura 40 kursi (pendatang 27 orang dan OAP 13 orang), Keerom 23 kursi (pendatang 13 orang dan OAP 7 orang), Kabupaten Jayapura 25 kursi (pendatang 18 orang dan OAP 7 orang).
Sedangkan anggota DPR Papua dan Papua Barat adalah sebagai berikut, Papua 55 kursi (44 OAP dan 11 pendatang), Papua Barat 45 kursi (OAP 17 orang dan 28 pendatang).
Nubuatan Hermanus (Herman) Wayoi sedang tergenapi: “Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, kemudian merencanakan pemusnahan Etnis Melanesia dan menggantinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan mendatangkan transmigra[n]si dari luar daerah dalam jumlah ribuan untuk mendiami lembah-lembah yang subur di Tanah Papua. Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan lagi dari maksud dan tujuan untuk menghilangkan Ras Melanesia di tanah ini…” (Yoman, Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat: 2007, hal. 143 dalam Makalah Tanah Papua (Irian Jaya) Masih Dalam Status Tanah Jajahan: Mengungkap Hati Nurani Rakyat Tanah Papua (Bandar Numbay, medio Februari 1999).
Pemekaran kabupaten/provinsi di West Papua sebagai operasi militer itu terbukti dengan dokumen-dokumen negara sangat rahasia. Departemen Dalam Negeri, Ditjen Kesbang dan LINMAS: Konsep Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah dan Pengembangan Jaringan Komunikasi dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. ( Sumber: Nota Dinas. No.578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 tanggal 9 Juni 2000 berdasarkan radiogram Gubernur (caretaker) Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya No. BB.091/POM/060200 tanggal 2 Juni 2000 dan No.190/1671/SET/tertanggal 3 Juni 2000 yang berhubungan dengan tuntutan penentuan nasib sendiri orang Asli Papua.
Adapun data lain: “Dokumen Dewan Ketahanan Nasional Sekretariat Jenderal, Jakarta, 27 Mei 2003 dan tertanggal 28 Mei 2003 tentang: ‘Strategi Penyelesaian Konflik Berlatar Belakang Separatisme di Provinsi Papua melalui Pendekatan Politik Keamanan.”
Lembaga-lembaga yang melaksanakan operasi ini ialah Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Luar Negeri, khusus untuk operasi diplomasi, Polri, TNI, Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS TNI), Kostrad dan Kopassus.
Pemerintah Indonesia jangan menipu rakyat dan membebani rakyat Indonesia yang jumlah rakyat miskinnya hampir 85 persen, karena Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Februari 2020 dengan posisi 407,5 miliar dollar AS. Dengan begitu, utang RI tembus Rp 6.376 triliun atau kurs Rp 15.600 (Kompas.com, 15 April 2020).
Indonesia sebaiknya menyelesaikan luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia, yaitu 4 pokok akar masalah Papua.
Terlihat bahwa Pemerintah dan TNI-Polri bekerja keras dengan berbagai bentuk untuk menghilangkan 4 akar persoalan Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008).
Empat akar persoalan itu adalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia, kekerasan negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian, diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di tanah sendiri, dan kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
“Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua” (Franz Magnis Suseno: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: 2015, hlm 255).
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout, OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, 2020: 601).
Jadi, kebutuhan mendesak ialah jalan penyelesaian persoalan Papua yang manusiawi dan terhormat harus ditempuh antara Indonesia dan ULMWP duduk setara di meja perundingan damai, yang dimediasi pihak ketiga yang netral seperti GAM Aceh dengan Indonesia di Helsinki, 15 Agustus 2005. (*)
Penulis adalah Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, anggota Dewan Gereja Papua (WPCC) dan Anggota Baptist World Alliance (BWA)
Editor: Timoteus Marten