Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Ketua Majelis Rakyat Papua atau MRP, Timotius Murib memaparkan catatan atas situasi demokrasi di Papua pada masa sebelum dan sesudah pemberlakuan Otonomi Khusus Papua. Ia menegaskan situasi demokrasi di Papua pada masa sebelum pemberlakuan Otonomi Khusus atau Otsus Papua buruk, dan tetap buruk setelah Otsus Papua diberlakukan.
“Pada era Orde Lama, Orde Baru, hingga zaman reformasi dan Otsus, perkembangan demokrasi di Papua tidak ada perubahan sama sekali. [Tidak ada perubahan] bagi orang Papua di tanahnya sendiri,” kata Timotius Murib selaku pembicara dalam diskusi Koalisi Kemanusiaan Papua bertajuk Rendahnya Tingkat Kebebasan Sipil di Papua pada Minggu (4/7/2021).
Murib mengatakan Otsus Papua merupakan kebijakan yang diberikan pemerintah Republik Indonesia kepada rakyat Papua untuk mengatur jalannya demokrasi yang baik, demi meningkatkan kesejahterahan di Tanah Papua.
“Semestinya proses demokrasi di Tanah Papua itu tidak berjalan buruk. Akan tetapi, [buruknya demokrasi di Papua] itu tercermin dari catatan pelanggaran Hak Asasi Manusia buruk, pembatasan ruang demokrasi, eksploitasi sumber daya alam, dan sebagainya. Hal itu semestinya tidak terjadi selama Otsus Papua,”katanya.
Baca juga: Pemerintah tolak 34 DIM RUU Otsus Papua di luar usulan
Murib mengatakan Otsus Papua gagal menyelesaikan empat akar persoalan Papua yang telah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Masalah kontroversi sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia misalnya, tidak terselesaikan. Berbagai konflik baru yang ditimbulkan kontroversi itu akhirnya dijawab dengan operasi militer yang juga menimbulkan masalah baru.
Persoalan stigma dan marjinalisasi orang asli juga tidak terselesaikan. Begitu pula dengan kegagalan pembangunan di Papua. “Empat masalah itu, sebagai mana telah dibicarakan LIPI, [harus dituntaskan] untuk mempercepat penyelesaian persoalan di Papua sejak diintegrasikan,”katanya.
Murib mengatakan 20 tahun pemberlakuan Otsus Papua juga tidak menyejahterakan orang asli Papua. Salah satu penyebabnya, berbagai kewenangan khusus yang diatur Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dibenturkan dengan otonomi daerah yang diatur Undang-undang Otonomi Daerah.
“MRP mengidentifikasi ada 26 kewenangan khusus yang diberikan [UU Otsus Papua] kepada pemerintah daerah. Dari 26 kewenangan khusus itu, hanya empat saja [yang] dilaksanakan. Yaitu, pembentukan lembaga kultural MRP, ada 14 kursi perwakilan wilayah adat di DPR Papua, Gubernur dan Wakil Gubernur harus orang asli Papua, dan [kucuran Dana Otsus Papua setara 2 persen] Dana Alokasi Umum [Nasional] yang sekarang dibicarakan. Sedangkan 22 kewenangan [khusus lainnya] teramputasi aturan sektoral,” kata Murib.
Murib menyatakan bahwa sikap resmi MRP adalah harus ada evaluasi total terhadap pelaksanaan Otsus Papua, agar semua pihak mendapatkan solusi terbaik beberapa tahun ke depan. “Yang penting ada evaluasi Otsus Papua secara menyeluruh. Kami ingin evaluasi Pasal 1 hingga Pasal 79 [UU Otsus Papua]. Itulah yang menjadi harapan MRP. Meskipun ada kelompok yang kontra dengan MRP,” kata Murib.
Murib menyatakan momentum evaluasi 20 tahun Otsus Papua harus mampu memperbaiki situasi demokrasi dan pemenuhan hak sipil warga di Papua. “Kalau kewenangan khusus di Otsus Papua dilanjutkan dengan Baca, kita evaluasi tata kelola otonomi khusus agar dalam satu atau dua tahun, atau bahkan 20 tahun ke depan, Otsus Papua bisa berjalan sesuai dengan amanat UU Otsus Papua,” kata Murib.
Baca juga: MK tunda gugatan MRP/MRPB karena COVID-19
Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), Pastor John Alberto Bunay meminta rapat dengar pendapat (RDP) yang akan digelar Majelis MRP dalam rangka evaluasi Otsus Papua dilakukan dengan cara yang bermartabat dan saling menghargai. Pastor John Bunay juga menegaskan martabat manusia harus menjadi tolok ukur dari segala macam pertimbangan evaluasi Otsus Papua, termasuk dalam menimbang revisi aturan maupun mengucurkan uang ke Papua selama 20 tahun mendatang.
Ia mengingatkan bahwa uang bisa mendukung apapun aktivitas kemanusiaan, akan tetapi uang tidak bisa menggantikan martabat manusia.“Revisi [UU Otsus Papua harus dilakukan] secara bermartabat, karena Papua menuntut martabat. Harga diri itu lebih penting daripada uang atau apapun,” tegasnya.
Ia berharap pemerintah pusat dan rakyat Papua dapat duduk bersama, saling menghargai, bicara dengan akal sehat dan otak yang dingin. Dengan pikiran jernih dan hati tulus, evaluasi Otsus Papua bisa menghasilkan kesepakatan yang dterima rakyat Papua selaku penerima manfaat Otsus Papua.
“Bicara dengan pikiran jernih dan hati penuh kasih, lalu merumuskan sesuatu sebagai manusia yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang bermartabat dan berkeadilan sosial. Itu [dialog] yang bermartabat,” kata Pastor John Bunay. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G