-
Pemerintah Indonesia melucuti berbagai aturan perlindungan lingkungan demi melancarkan proyek “lumbung pangan” (food estate) untuk menggenjot produksi makanan.
-
Sebuah perusahaan yang dijalankan oleh para kroni Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bersiap memanen keuntungan dari proyek tersebut. Mereka berupaya menggaet investasi sekitar Rp 33 triliun.
-
Proyek lumbung pangan juga membidik hutan-hutan di Papua. Para pemerhati mengatakan rencana tersebut melanggar berbagai aturan, selain dipenuhi banyak sekali konflik kepentingan.
Penerbitan Laporan investigasi ini adalah hasil kerja kolaborasi Gecko Project, Tempo dan Jubi
Kembalinya Ksatria Jedi
Hingga Januari tahun ini, para pemain proyek food estate terpantau berburu investasi dari luar negeri untuk memodali ambisi mereka.
Berdasarkan dokumen yang ditemukan reporter kami, sebuah perusahaan yang bernama Agrinas saat itu aktif menawarkan proposal investasi proyek food estate ke pemerintah Korea Selatan. Angka yang diajukan terbilang fantastis, sekitar Rp 4,17 triliun hanya untuk perkebunan di Gunung Mas.
Di proposal itu, Agrinas memperkenalkan diri sebagai perusahaan milik Kementerian Pertahanan yang melapor langsung ke Prabowo. Agrinas juga memaparkan cita-citanya menjadi produsen tepung singkong “dari hulu-ke-hilir” terbesar di dunia, dengan 1 juta hektar perkebunan dan 34 pabrik di seluruh Indonesia.
Anehnya, Agrinas menyebut bahwa tawaran investasi itu juga dapat “meningkatkan ketahanan pangan Korea Selatan”. Padahal, proyek tersebut awalnya dicanangkan untuk memenuhi konsumsi pangan dalam negeri.
Ketika kami mengonfirmasi Agrinas dan Kementerian Pertahanan terkait kerja sama mereka, keduanya menyangkal bahwa mereka bermitra dalam proyek lumbung pangan.
Agrinas membantah bahwa mereka mengajukan proposal investasi kepada pemerintah Korea Selatan,tetapi tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan terkait dokumen yang kami temukan.
Berikut ini proposal investasi dari Agrinas.
Terlepas dari bantahan tersebut, investigasi kami menemukan bahwa Agrinas terlibat sejak awal dicanangkannya proyek lumbung pangan.
Meskipun ukuran keterlibatan itu tidak begitu jelas, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa Agrinas memegang peran kunci dalam rencana besar Kementerian Pertahanan untuk mencetak lebih dari 1 juta hektar perkebunan singkong.
Menurut perhitungan yang dibuatnya sendiri, Agrinas bisa memanen pendapatan hingga triliunan rupiah.
Dari data yang kami temukan, struktur perusahaan ini secara efektif memberikan kendali dan pengawasan kepada Prabowo dan orang-orang dekatnya. Banyak dari mereka berafiliasi dengan Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo. Sebagian juga menduduki jabatan di pemerintahan.
Muhammad Haripin, peneliti keamanan dan pertahanan dari Badan Riset Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menggambarkan tumpang-tindih posisi itu sebagai “segitiga maut”.
“Proses antara kepentingan bisnis, kepentingan privat, kepentingan publik dan kepentingan pemerintah, itu jadi blur,” katanya.
“Semuanya [ada] dalam satu pintu saja. Orang bisa berganti pakaian dengan cepat, seolah-olah [bekerja] untuk kepentingan yang baik gitu, padahal untuk kepentingan sendiri saja, kepentingan kelompoknya sendiri.”
Agrinas didirikan oleh sebuah yayasan sosial binaan Kementerian Pertahanan, Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP), yang pada awal didirikan bertujuan untuk membantu menyediakan perumahan dan pendidikan bagi purnawirawan dan tentara aktif. Tapi tujuan itu baru-baru ini berubah, tepatnya pada April 2020, ketika seorang purnawirawan jenderal TNI bernama Musa Bangun menjadi ketua pengurus yayasan, di saat yang sama Agrinas resmi berdiri. Musa Bangun juga memegang posisi tinggi di partai politik milik Prabowo.
Dokumen hukum yang kami temukan menunjukkan yayasan itu berganti nama menjadi Yayasan Pengembangan Potensi Sumber Daya Pertahanan (YPPSDP) pada awal 2021. Tujuan pendiriannya diperluas, memasukkan “menyelenggarakan kegiatan usaha” dan mendukung pemerintah “di bidang pertahanan negara”.
Sederet nama tokoh militer kemudian ikut bergabung dalam kepengurusan, termasuk Panglima TNI saat ini dan Prabowo sendiri.
Yayasan memang diperbolehkan memegang saham di perusahaan swasta tapi harus tunduk pada sejumlah aturan ketat. Aturan-aturan itu tampaknya dilanggar dalam kasus ini.
Menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, penyertaan modal sebuah yayasan dalam satu badan usaha dibatasi paling banyak 25 persen dari seluruh nilai kekayaan yayasan. Sementara itu, berdasarkan dokumen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Yayasan Pengembangan Potensi Sumber Daya Pertahanan yang kami peroleh, kepemilikan saham yayasan di Agrinas mewakili hampir setengah dari jumlah total kekayaan yayasan yang disebutkan dalam dokumen tersebut.
Ronald Rofiandri, peneliti hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia mengatakan bahwa ketentuan itu dimaksudkan untuk menegaskan garis batas antara tujuan yayasan sebagai lembaga nirlaba dan tujuan perusahaan yang berorientasi profit.
Jajaran petinggi Agrinas dipenuhi oleh nama-nama pengurus Gerindra, partai yang dipimpin Prabowo. Beberapa dari mereka juga termasuk orang dekat Prabowo.
Rauf Purnama, pengusaha berusia 70-an dan Direktur Utama Agrinas, mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI dari Partai Gerindra pada Pemilu 2019. Saat pilpres, ia juga membantu kampanye Prabowo sebagai anggota tim pakar.
Wakil Direktur Utama Agrinas, Dirgayuza Setiawan, kini berusia 30-an awal, mulai bekerja untuk Prabowo tak lama setelah lulus dari sebuah kampus di Australia. Ia pernah menjadi penyusun utama naskah pidato Prabowo. Dalam sebuah wawancara dengan The Jakarta Post pada 2014, ia mengatakan bahwa ayahnya sempat menjadi dokter pribadi Prabowo.
Saat maju di Pilpres 2014, Prabowo menyebut Dirgayuza sebagai salah satu dari tiga “Kesatria Jedi” — merujuk pada tokoh di film Star Wars: pemuda yang mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri serta memiliki kedekatan personal dengan sang purnawirawan jenderal.
Dua Ksatria Jedi lainnya, Sudaryono dan Sugiono, menduduki kursi komisaris Agrinas, yang bertugas mengawasi kinerja harian jajaran direksi.
Sugiono juga anggota Komisi I DPR RI yang bertugas mengawasi anggaran Kementerian Pertahanan. Padahal, ada aturan yang melarang politisi untuk bekerja di bidang yang berkaitan dengan tugasnya sebagai anggota dewan.
“Jelas conflict of interest nya itu sangat-sangat besar,” kata Ronald Rofiandri.
Ketika kami menanyakan hal ini kepada Agrinas, mereka mengatakan bahwa Sugiono sudah mengundurkan diri dari posisinya di Agrinas. Namun, dokumen profil perusahaan yang terdaftar di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM per 1 Oktober 2021 lalu masih mencantumkan namanya sebagai anggota Komisaris.
Agrinas diliputi kontroversi hanya dalam waktu tiga bulan sejak didirikan.
Pada Juli 2020, Majalah Tempo melaporkan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, Edhy Prabowo — seorang politisi Gerindra — membatalkan larangan ekspor benih lobster dan memberikan izin ekspor kepada empat perusahaan yang terkoneksi dengan Gerindra. Salah satunya adalah Agrinas, yang sebenarnya tidak punya pengalaman terkait industri lobster ataupun industri berorientasi ekspor.
Akibat skandal itu, Edhy harus melepas jabatannya sebagai menteri. Empat bulan kemudian, pada November 2020, Edhy ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada Juli 2021 lalu, ia didakwa menerima suap sebesar Rp 25,7 miliar terkait pembatalan larangan ekspor benih lobster, dan divonis lima tahun penjara.
Namun, tak seperti Edhy, Agrinas tidak didakwa oleh KPK. Selagi kasus korupsi ekspor benih lobster diusut, perusahaan itu justru tengah membantu Kementerian Pertahanan membuka perkebunan singkong di Gunung Mas.
Beberapa sumber kami di Gunung Mas menyebutkan bahwa Agrinas dan Kementerian Pertahanan sama-sama berada di proyek perkebunan singkong itu pada 2020. Jaya Samaya Monong, Bupati Gunung Mas, mengatakan bahwa Agrinas dan Kementerian Pertahanan saat itu merupakan “mitra”. Seorang letnan kolonel yang bekerja di proyek tersebut mendeskripsikan Agrinas sebagai “pengelola” perkebunan.
Proposal investasi yang ditujukan ke pemerintah Korea Selatan juga menyebut Agrinas sebagai pihak yang mengembangkan perkebunan di Gunung Mas.
Di halaman 4 proposal itu tertulis “Kami sedang mendirikan pabrik dan perkebunan pertama di Kalimantan Tengah dengan dukungan penuh Presiden”. Di bawahnya, terpampang peta lokasi proyek.
Informasi metadata berkas proposal itu menunjukkan bahwa penyusunnya adalah Wakil Direktur Utama Agrinas, Dirgayuza Setiawan.
Yetty Komalasari Dewi,Lektor Kepala di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mempertanyakan bagaimana bisa Agrinas mewakili Kementerian Pertahanan padahal statusnya adalah perusahaan swasta, yang berarti keuntungannya tidak otomatis mengalir ke kas negara.
“Kementerian Pertahanan kan bagian dari pemerintah. Kenapa dia tidak membuat BUMN?” katanya. “Mohon maaf, kalau saya lihat itu jadi bunuh diri.”
Ketika ditanya apa peran Agrinas dalam proyek food estate ini, dalam keterangan tertulisnya, Kementerian Pertahanan mengatakan bahwa mereka “belum pernah menunjuk perusahaan mitra untuk mengerjakan CLS,” merujuk pada Cadangan Logistik Strategis (CLS), program ketahanan pangan yang digagas Kementerian Pertahanan.
Sementara itu dalam keterangan tertulisnya Agrinas menjelaskan: “Hingga saat ini Agrinas belum pernah menjadi rekanan program Food Estate di Kementerian Pertahanan”.
Apapun bentuk hubungannya, kami menemukan bukti bahwa staf Agrinas merangkap kerja di proyek food estate milik Kementerian Pertahanan.
Salah satunya adalah Mahesa Mukhsin, yang bergabung dengan Agrinas begitu merampungkan pendidikan magister administrasi bisnis dari Universitas Oxford, Inggris. Mahesa merupakan Direktur Perencanaan Strategis dan Manajemen Risiko Agrinas sejak Januari 2020.Di profil LinkedIn-nya, dia menyebutkan pada saat yang sama dia menduduki posisi senior di Kementerian Pertahanan. Di profilnya tersebut Mahesa mengklaim berperan dalam “merencanakan, mengawasi, dan memimpin” proyek pengembangan perkebunan singkong pertama Kementerian Pertahanan.
Setelah kami mengajukan pertanyaan terkait hal ini ke Agrinas, profil LinkedIn Mahesa langsung berubah. Ia menghapus segala informasi yang berkaitan dengan Kementerian Pertahanan.
Rauf, Dirgayuza, Sugiono, dan Mahesa tidak menanggapi permintaan kami untuk wawancara. Mereka juga tidak memberikan komentar apa pun atas berbagai informasi yang kami temukan. (*)